FOCUS
Pilkada dan Ajang Pencitraan
Politik dinasti macam itu, kecenderungannya, ujung-ujung akan menciptakan pemimpin kepala daerah yang koruptif.
Penulis: rustam aji | Editor: abduh imanulhaq
Tajuk Ditulis oleh Wartawan Tribun Jateng, Rustam Aji
TRIBUNJATENG.COM - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) mestinya bisa menjadi bahan introspeksi dan evaluasi terhadap pemimpin sebelumnya, apakah kemudian layak untuk mencalonkan lagi atau tidak. Tetapi pada kenyataannya, banyak calon kepala daerah (incumbent) yang tetap nekat mencalonkan kembali meski dengan modal minim prestasi saat memimpin.
Secara kasat mata, sejatinya mereka sadar bahwa prestasi selama kepemimpinannya biasa-biasa saja. Namun, karena itu merupakan jabatan politik dan (mungkin) menguntungkan secara financial, apapun yang terjadi, dengan segala upaya akan dipertahankannya. Termasuk, dengan “politik dinasti”, seperti yang terjadi di banyak daerah. Di mana, kepala daerah dipimpin bergantian oleh bapak, anak ataupun kerabatnya.
Politik dinasti macam itu, kecenderungannya, ujung-ujung akan menciptakan pemimpin kepala daerah yang koruptif. Masyarakat bukannya tidak tahu, tetapi mereka tidak punya pilihan lain. Sebab, calon seperti itu biasanya telah mempersiapkan modal finanasial yang besar.
Tak berlebihan kiranya bila kemudian banyak calon kepala daerah incumbent yang akhirnya “menghalalkan” segala cara untuk bisa menarik simpatik pemilih. Salah satunya dengan money politics. Meski di awalnya biasanya masing-masing calon ada komitmen anti money politics, pada kenyataannya itu hanyalah lips service aja. Selebihnya, praktik money politics tetap jalan.
Karena itu, tak mengherankan bila kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada “tahun politik” ini, banyak menangkap calon kepala daerah dalam operasi tangkap tangan (OTT). Termasuk pula yang ada di Jawa Tengah. Rata-rata, mereka yang ditangkap merupakan calon incumbent, yang telah menggunakan “kekuasaanya” untuk mencari duit untuk modal kampanye dalam Pilkada.
Meski sudah banyak calon incumbent yang sudah terkena OTT KPK, tetapi hal itu ternyata tak menyurutkan para calon lain untuk melakukan hal serupa. Hal itu dibuktikan dengan pernyataan ketua KPK Agus Rahardjo, yang akan mengumumkan 90 persen calon kepala daerah berpotensi menjadi tersangka. Apakah ada pula di antara mereka yang berasal dari sejumlah daerah di Jawa Tengah yang melaksanakan Pilkada serentak? Waallahualam!
Terlepas dari kenyataan bahwa kemudian pernyataan ketua KPK itu tak kunjung diumumkan, namun masyarakat telah meyakini bahwa pernyataan itu benar adanya. Sebab, apa yang dilakukan oleh KPK berdasar standar kajian dan penyelidikan yang tak asal-asalan.
Karena itu, jika itu benar adanya, maka Pilkada serentak tak lebig hanya sebagai ajang pencitraan, bukan untuk memperbaiki daerah kearah yang lebuh baik. Tak lebih, Pilkada seolah hanya sekadar ajang ambisi pribadi dari seorang calon dan (mungkin) partai pengusungnya.
Kalaulah mereka maju karena ingin memperbaiki daerah di mana mereka mencalonkan, tentu tidak akan ada utang negara berjumlah ribuan triliunan rupiah. Sebab, masing-masing daerah akan mampu menyumbangkan pendapatan asli daerah (PAD)-nya untuk kemakmuran negara dan rakyatnya. Bukan sebaliknya, selalu defisit meski sudah diguyur anggaran besar, sehingga membuat utang negara membengkak tiap tahun.
Itulah yang terjadi bila mereka yang akhirnya terpilih menjadi pemimpin hanya karena modal pencitraan, daerah pastinya tidak ada prestasi. Karena pembangunan yang dilakukan, tak ubahnya hanya sekadar untuk pencitraan diri. Hasil pembangunannya tak tahan lama, dan hanya menghabiskan anggaran saja.
Bagi rakyat, sadarlah dan tidak usah tergiur iming-iming calon yang hanya pandai mengobral janji. Pilihlah sesuai hati nurani, karena memang calon tersebut mumpuni. (*)