Masjid Besar Suruh masih Gagah Dibangun 1816 Masa Kejayaan Mataram
Masjid Besar Suruh masih Gagah Dibangun 1816 Masa Kejayaan Mataram. Lokasi di Desa Suruh, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Masjid Besar Suruh di Desa Suruh, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang masih tampak kokoh berdiri, meski telah berumur lebih dari 200 tahun. Tempat ibadah umat Muslim itu menjadi bagian dari geliat dakwah Islam di tanah Jawa.
Berdasarkan tarikh (sejarah) yang terdapat di sebuah piagam yang terpasang pada dinding masjid, Masjid Besar Suruh diresmikan pada Hari Ahad (Minggu) delapan belas hari, bulan Muharam tahun Bi Hijratan Nabi Shollahhu Alaihi Wasallam 1232 H, atau bertepatan tahun 1816 Masehi.
Piagam beraksara Arab Pegon dan aksara Jawa itu 'ditandatangani' oleh Kiai Mas Ngabehi AstraWijaya, seorang adipati Semarang di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
"Kiai Mas Ngabehi Astrawijaya dikenal oleh warga dengan nama Kiai Domo. Sesuai dalam piagam, masjid ini berdiri pada 1816," kata Ketua Takmir Masjid Besar Suruh, Achmad Ma'mun (72), Rabu (23/5).

Yah, keberadaan masjid itu menjadi bukti pecahnya Kesultanan Mataram menjadi dua wilayah, yakni Surakarta dan Yogyakarta, tidak memengaruhi geliat dakwah Islam di tanah Jawa kala itu.
Sejumlah bupati di bawah Kasunanan Surakarta kala itu masih bisa menginisiasi berdirinya masjid-masjid, bahkan di masa-masa menjelang pecahnya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro.
Kemegahan dan keindahan arsitektur Masjid Besar Suruh hingga kini masih bisa disaksikan dan dirasakan pengunjung, meski telah berusia lebih dari dua abad.
Hal ini antara lain lantaran takmir dan masyarakat setempat sadar pentingnya melestarikan bangunan bersejarah. "Semua bangunan ini masih asli, hanya di serambil yang baru," ujar Achmad.
Keberadaan Masjid Besar Suruh, menurut dia, saat ini telah masuk sebagai bangunan cagar budaya dan sudah diregistrasi oleh badan yang berwenang, sehingga keaslian bangunan masjid hingga kini masih dipertahankan.

Jika diperhatikan, ciri khas masjid kuno itu bisa dilihat mulai dari atap berundak khas Masjid Agung Demak peninggalan Wali Songo. Kemudian umpak (alas) soko atau tiang utama masjid, mimbar, hingga ornamen-ornamen kayu jati penghias pintu dan jendela.
"Untuk mimbar yang masih asli sekarang sudah tidak dipakai, karena dimakan usia dan faktor keselamatan. Sekarang masih ada di dalam masjid," jelasnya.
Selain bangunan masjid, Achmad menuturkan, peninggalan lain berupa beduk besar dan sebuah kentongan. Terdapat tarikh pada kentongan besar yang digantung dekat beduk tersebut tertera angka tahun 1889.
"Informasi yang kami terima, beduk di sini ini kedua yang terbesar setelah yang di Purworejo," imbuhnya.
Benda purbakala
Konon, di kompleks Masjid Besar Suruh ini juga terdapat benda-benda purbakala lain. Antara lain sebuah Yoni, umpak, dan sebuah tempayan tembaga besar.
Benda-benda itu menunjukkan bahwa kompleks di Masjid Besar Suruh itu dahulu adalah tempat pemujaan Agama Hindu. Sayang, benda-benda tersebut seperti umpak dan tempayan tembaga besar telah raib.
Hanya Yoni yang masih bisa dilihat hingga sekarang, tetapi telah berubah fungsi menjadi jam bencet, atau jam matahari sebagai penentu waktu shalat, sejak awal masjid berdiri.
Seorang warga Suruh, M Farhan (40) mengaku bangga dengan keberadaan Masjid Besar Suruh. Ia mengapresiasi para tokoh masyarakat, para pengurus masjid, dan seluruh warga yang nguri-uri (melestarikan) atau mempertahankan keaslian arsitektur masjid tersebut.

Sebab, menurut dia, keberadaan Masjid Besar Suruh merupakan bagian penting dari sejarah perkembangan Islam di Suruh dan sekitarnya.
"Bahkan, prasasti maupun penanda pendirian masjid masih terjaga. Ornamen di dalam masjid juga dipertahankan hingga saat ini, meskipun ada beberapa tambahan fasilitas," tuturnya.
Farhan berharap, masjid yang megah dan cantik itu bisa terus dijaga, dipelihara, dan diramaikan masyarakat dengan kegiatan ibadah.
Meski demikian, sisi orisinilitas Masjid Besar Suruh itu juga diharapkan tetap terjaga dan terwariskan hingga ke anak cucu generasi berikutnya.
"Tidak hanya itu, sejarah masjid besar Suruh juga jangan lupa untuk diceritakan kepada generasi muda agar tidak kehilangan sejarah," harapnya. (tribunjateng/cetak/kompas.com/Syahrul Munir)