Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Bun Ya Ho, Tarian Khas Desa Megawon Kudus yang Sempat Punah

Ribuan warga memadati Jalan Desa Megawon, Kecamatan Jati, Kudus. Di tengah jalan terdapat karpet merah dan lengkap dengan gunungan berisi hasil bumi.

Penulis: Rifqi Gozali | Editor: galih permadi
TRIBUN JATENG/RIFQI GOZALI
Tari Bun Ya Ho Kudus 

Laporan Wartawan Tribun Jateng, Rifqi Gozali

TRIBUNJATENG.COM, KUDUS - Ribuan warga memadati Jalan Desa Megawon, Kecamatan Jati, Kudus.

Di tengah jalan terdapat karpet merah dan lengkap dengan gunungan berisi hasil bumi.

Sore itu, Jumat (3/8/2018), masyarakat Desa Megawon tengah menggelar Apitan atau sedekah bumi.

Senada dengan penyebutannya, Apitan digelar saat Bulan Apit atau bulan Zulkaidah pada penanggalan hijriah.

Iringan sholawat berlanggam khas Jawa diiringi tabuhan terbang menandai dimualinya Apitan.

Sholawat berhenti saat Kepala Desa Megawon beserta rombongan tiba di lokasi.

Puncaknya yakni saat delapan anak menampilkan seni tarian Bun Ya Ho di depan panggung kehormatan. Kontan warga melingkar menyaksikan tarian khas Megawon yang sempat hilang.

Para penari menampilkan gerakan senada. Gerakannya cukup sederhana, tak serumit tarian Jawa pada umumnya. Gunungan, payung, dan kendi menjadi pelengkap tarian.

Semula tarian itu digubah oleh tokoh agama asal Megawon bernama Abdul Jalil Tamyiz passca-kemerdekaan. Namun seiring berjalannya waktu, antara tahun 1990-an tari itu mulai hilang.

Namun beberapa tahun belakangan Pemerintah Desa Megawon kembali menampilkanjya saat momen Apitan.

"Tari Bun Ya Ho ini sempat hilang, tapi kini kembali dihadirkan untuk menghidupkan kembali kearifan budaya lokal desa," kata Kepala Desa Megawon Nurasag.

Gerakan demi gerakan Bun Ya Ho sarat akan makna. Semua itu diilhami dari gerakan dolanan anak dan seni bela diri. Lebih menarik saat para penari berlenggok diiringi terbang papat dan lantunan sholawat.

Tarian itu, kata Nurasag, merupakan bentuk penanaman nilai agama kepada anak-anak. Makanya gerakannya disesuaikan dengan dolanan anak.

"Dalam tradisi Apitan ini selain sebagai bentuk rasa syukur warga dan berharap berkah dari Sang Maha Pencipta, sekalian mempertahankan budaya asli Megawon berupa tarian Bun Ya Ho," tutur Nurasag.

Dalam Apitan itu juga tersedia sejumlah gunungan dari masing-masing rukun warga (RW). Gunungan dijajarkan di sepanjang jalan. Sesuai prosesi purna, isi gunungan berupa hasil bumi menjadi rebutan.

"Kami berharap mendapat berkah dari Tuhan. Semoga warga desa semakin makmur," tutur Miftah seraya menikmati isi gunungan berupa nasi yang dibungkus daun jati.(*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved