Liputan Khusus
ANALISIS: SPG Bispak Dampak Komodifikasi Hasrat
Kisah Ferin Diah Anjani (21 tahun), gadis cantik yang berprofesi sebagai SPG event ditemukan dalam keadaan tewas
Oleh Amirudin
Dosen Antropologi FIB Undip
TRIBUNJATENG.COM - Kisah Ferin Diah Anjani (21 tahun), gadis cantik yang berprofesi sebagai SPG event ditemukan dalam keadaan tewas, hangus terbakar di hutan jati Desa Sendang, Kunduran, Blora pada 1 Agustus lalu adalah contoh bagaimana seorang gadis menjadi korban ketika ia masuk dalam dunia kerja yang tengah berada dalam peradaban ekonomi libidinal.
Gadis yang jenazahnya sempat sulit diidentifikasi itu dibunuh pria berusia 31 tahun yang tidak lain adalah teman kencan korban.
Istilah ekonomi libidinal sebenarnya merujuk pada pemikiran freud tentang libido sebagai unsur kepribadian dalam tubuh yang lebih berkenaan dengan kesenangan dan kebebasan.
Sistem ini punya logika menawarkan bentuk-bentuk transaksi metaforis yang lebih bebas yang sangat toleran terhadap bentuk-bentuk kesenangan dan kebebasan dalam kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi.
Sistem ini menjadikan gairah sebagai inti yang menggerakan kegiatan ekonomi. Secara metaforis, ia diibaratkan sebagai bentuk-bentuk pertukaran, investasi, atau divestasi dari gairah-gairah yang dimiliki produsen dan konsumen.
Semua gairah itu merupakan kapital yang dapat dikomodifikasi dan dipertukarkan menjadi uang.
Dalam sistem kapitalisme, ekonomi libidinal bisa disebut sebagai perkembangan terbaru periode passionate capitalism (kapitalisme gairah) yang makin menguat di abad 21.
Sistem ini punya tugas menggali setiap gairah berupa rangsangan, getaran, dan hasrat ekonomi, serta memperhalus dan meningkatkan daya tarik dan daya pesona produk. Hal itu dilakukan dengan cara meningkatkan mutu layanan, kemasan, dan pengiriman.
Selain itu juga dengan cara meningkatkan daya rangsang produk melalui pemanfataan cover-girls yang menjadi bintang iklan dan daya erotisme sales-girl yang bertugas menawarkan produk.
Konsekuensinya, dalam sistem ekonomi demikian, pasar memerlukan perempuan cantik yang cocok untuk kegiatan produksi dan distribusi produk. Mereka harus berpenampilan menarik dengan polesan wajah, pilihan pakaian dan asesoris yang mampu memikat pembeli kaum laki-laki.
Bagian-bagian tubuh tertentu perlu diperlihatkan agar memberikan kesan seksi dan merangsang. Mereka dituntut mau berpakaian mini, misal dengan rok 10 sentimeter di atas lutut agar bagian pahanya kelihatan, dan memakai sepatu berhak tinggi (high heels) agar kakinya terlihat indah.
Karenanya, untuk menjadi SPG dalam sistem seperti itu tidak mensyaratkan pendidikan yang tinggi, tetapi yang penting adalah penampilan menarik, memiliki tubuh indah, bisa berias, bisa berbusana yang menonjolkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya, dan komunikatif.
Dalam kegiatan ekonomi libidinal, hal-hal semacam itu seakan telah menjadi konvensi lentur yang bisa diterima di ruang publik. Fungsi tubuh menjadi bergeser dari fungsi biologis dan reproduksi ke arah fungsi ekonomi, khususnya fungsi ’tanda’.
Tubuh diposisikan sebagai titik sentral komodifikasi yang memperjualbelikan tanda, makna, dan hasratnya untuk tujuan komersil.
Sehingga, tak jarang SPG dalam menjalani profesinya mendapatkan stigmatisasi beragam. Misalnya tak sedikit perempuan berprofesi SPG dicitrakan sebagai 'bispak' (bisa dipakai) karena penampilannya.
Selain itu, banyak pula yang sering mendapat pelecehan dari para pembeli baik secara verbal dalam bentuk siulan, joke bernada cabul, maupun berupa tindakan fisik seperti colekan, rabaan, atau bahkan kekerasan.
Dalam konteks itu, apa yang dialami Ferin merupakan akibat dari apa yang disebut sebagai ekonomi libidinal yang mengakomodifikasi hasrat.
Dalam situasi di mana perlindungan perusahaan terhadap profesi SPG belum kokoh, begitupun perlindungan hukum lain, kaum perempuan mesti waspada. Dalam melaksanakan tugas, mereka harus memiliki strategi untuk meminimalisir hadirnya kondisi tersebut.
Hal itu terutama dalam memilih calon pembeli, menggunakan waktu bekerja, dan dalam menghalau rayuan laki-laki. (tim)