Forum Mahasiswa
OPINI : Mengajarkan Siswa Berempati Atas Bencana
Gempa dan tsunami di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah yang terjadi pada Jumat (29/9/2018) menjadi cerminan
Oleh Usman Roin
Guru Ekskul Jurnalistik SMP IT PAPB Semarang dan Pengurus Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jawa Tengah
TRIBUNJATENG.COM -- Gempa dan tsunami di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah yang terjadi pada Jumat (29/9/2018) menjadi cerminan untuk bersama-sama menumbuh empati sosial. Ada rasa kesedihan sosial yang perlu kita bangun agar rasa bencana itu juga bisa kita rasakan walaupun hakekatnya tidak terjadi pada kita. Rasa empati tersebut bila kita lihat mulai dari bertebarannya meme save di sosmed, kemudian video untaian belasungkawa baik dari ormas, partai, para tokoh baik dalam maupun luar negeri mengalir deras, sebagai bukti simpatik atas duka yang terjadi.
Kehadiran empati (merasakan perasaan orang lain yang disertai ungkapan dan tindakan) atas musibah yang terjadi sudah seharusnya juga bisa mengalir dari insan pendidikan. Lembaga pendidikan yang tengah menggelorakan program karakter harus menjadi yang terdepan. Bahkan menurut Daniel Golman (1997:89) manfaat empatik itu selain mengurangi atau menghilangkan penderitaan orang lain, tetapi juga ketidaknyamanan perasaan melihat penderitaan orang lain. Jika demikian adanya, siswa sebagai calon generasi masa depan yang perlu kita perlihatkan cara untuk mengajarkan empati atas berbagai musibah yang terjadi. Karena, bila empati tidak sering dipraktekkan, melainkan hanya disampaikan lewat teori, maka bisa dipastikan siswa tidak akan mengenal bagaimana menghayati keadaan perasaan orang lain. Bahkan yang terjadi hanyalah sikap acuh tak acuh dengan berbagai fenomena human interes yang ada disekeliling kita.
Guna mengajarkan sikap empati kepada siswa, bagi penulis ada hal-hal yang bisa dilakukan. Pertama, memvisualisasikan musibah yang terjadi. Artinya, guna memberikan rasa empati yang mendalam kepada anak, memutarkan tragedi musibah yang terjadi bagi penulis adalah hal yang patut dilakukan. Karena selain secara kasat mata memperlihatkan bagaimana awal mula musibah itu terjadi, juga seberapa dahsat gelombang musibah (gempat, tsunami dan lainnya) mampu menumbangkan segalanya. Hingga yang tak kalah adalah tumbuhnya understanding others atas korban bergelimpangan yang sangat membutuhkan uluran tangan dari sesama.
Guna mewujudkan hal tersebut, maka guru geografi dan Agama layak menjadi pelopor untuk melaksanakan hal ini. Tujuannya, selain bermanfaat untuk memberikan gambaran utuh sebuah proses kejadian alamiah dari kacamata keilmuan, secara spiritual akan menekankan kesadaran akan kuasa Allah SWT (Tuhan semesta alam) atas alam. Sehingga kesadaran untuk mendekatkan diri kepada-Nya, kemudian berbuat baik kepada lingkungan, hingga kasih sayang kepada sesama bisa dilakukan. Dan yang lebih penting, siswa bisa mengambil hikmah bahwa fenomena kehidupan itu perlu kebijakan yang ending-nya akan menumbuhkan karakter pribadi yang responsif dan ramah terhadap alam sekita dimanapun siswa berada.
Kedua, mendoakan. Pada porsi ini, membangun empati sosial para siswa terhadap musibah yang terjadi juga bisa dilakukan dengan kegiatan doa bersama. Terlebih bila kemudian disambung dengan salat ghoib (atas korban meninggal). Tentu selain mengajarkan praktek salat pasca teori kelas, juga akan menguatkan spiritualitas anak bahwa hal yang perlu dilakukan kala terjadi dimusibah (baik disekitar atau yang jauh disana) adalah dengan mendoakan. Dengan begitu, tidak terjadi kontradiksi bahwa pelajaran di kelas hanya untuk diketahui, melainkan juga perlu diimplementasikan hingga menjadi karakter. Oleh karena itu, doa (pribadi atau berjamaah) adalah cara arif orang beragama untuk mendidik siswa trampil mengimplementasikannya.
Ketiga, menggalang donasi. Untuk membangun empatik siswa terhadap musibah yang terjadi, maka menggalang dana adalah hal tepat untuk dilakukan. Karena selain siswa diajarkan untuk tahu terhadap musibah yang terjadi, secara materi mereka dididik untuk berbagi dengan menyisihkan uang saku untuk didonasikan kepada saudara yang terkena musibah. Mungkin secara matematis, nominalnya bila dilihat kecil. Namun bila kemudian sudah terkumpul seluruh warga sekolah, jumlahnya pun bisa banyak. Hingga bila kemudian diakumulasi dalam satu daerah maupun wilayah dari seluruh lembaga pendidikan, tentu jumlahnya akan banyak secara kuantitas.
Oleh karena itu, bagi penulis lembaga pendidikan adalah sarana tepat untuk mengajarkan empati secara masif. Terlebih jika kemudian dihubungkan dengan kesadaran agama, bahwa berderma dengan cara jamaah adalah pembelajaran yang sangat efektif untuk mendidik kebiasan berderma sejak dini menjadi pribadi penderma sepanjang masa.
Akhirnya, atas musibahyang terjadi, mari kita gerakkan rasa empatik lembaga pendidikan kita, Negeri, Swasta, informal maupun norformal. Dan untuk saudara kita yang terkena musibah, semoga Allah SWT memberi ketabahan dan bangkit dari kesedihan. Amin ya rabbal ‘alamin. (*)