Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Paling Banyak Terjadi di Kota Semarang

Berdasarkan catatan akhir tahun Komnas Perempuan, di tahun 2017 sebanyak 348.446 perempuan menjadi korban kekerasan.

Penulis: faisal affan | Editor: galih permadi
TRIBUN JATENG/FAIZAL M AFFAN
Witi Muntari saat memaparkan data temuannya tentang kekerasan terhadap perempuan di resto eatboss, selasa (18/12) siang 

Laporan Wartawan Tribun Jateng, Faizal M Affan

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Berdasarkan catatan akhir tahun Komnas Perempuan, di tahun 2017 sebanyak 348.446 perempuan menjadi korban kekerasan.

Menurut Witi Muntari, Pendamping di LRC-KJHAM (Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia), di Jawa Tengah sejak tahun 2013 hingga 2017 terdapat 2.116 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 4.116 perempuan yang menjadi korban.

"Dari berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual masih menjadi ancaman bagi perempuan. Ada 2.222 kasus atau 50% nya adalah kekerasan seksual," terangnya di Resto Eatboss, Selasa (18/12) siang.

Sedangkan pada tahun 2018, sebanyak 311 perempuan mengalami kekerasan. 246 di antaranya dikarenakan kekerasan seksual.

Tetapi hanya 63 perempuan saja yang mengadu dan didampingi LRC-KJHAM.

Kasus kekerasan tertinggi ada di Kota Semarang, disusul Kabupaten Demak, Kabupaten Kendal, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Rembang.

"Ironisnya, kekerasan seksual dilakukan oleh orang-orang yang dikenal bahkan dekat dengan korban. Seperti ayah kandung atau tiri, paman, kakek, guru (termasuk guru mengaji), pacar, tetangga, dan sebagainya," ucapnya.

Di bandingkan tahun sebelumnya, tahun 2018 angka kekerasan yang diterima LRC-KJHAM berdasarkan laporan turun. Namun kenyataan di lapangan bisa saja berbeda atau lebih tinggi melihat masih kurangnya fasilitas pendampingan terhadap perempuan di daerah.

"Pelayanan untuk perempuan korban kekerasan di kota memang lebih baik dibandingkan di kabupaten. Karena kurangnya mendapat informasi pelayanan dan terbatasnya fasilitas yang ada," tegasnya.

Langkah yang bisa dilakuan LRC-KJHAM atau lembaga serupa untuk melayani kebutuhan korban kekerasan perempuan yakni dengan mengidentifikasi kebutuhan korban.

Korban ingin kekerasan yang dialaminya diteruskan ke jalur hukum atau hanya sekadar ingin konseling supaya terhindari menjadi korban.

"Tapi jika diteruskan ke jalur hukum kendalanya banyak sekali. Ada sanak saudara korban yang menganggap hal tersebut adalah aib. Ada yang sampai ke pemeriksaan dihentikan karena kurang bukti dan saksi, dan ada pula yang akhirnya dinikahkan padahal itu bukan solusi yang tepat," tegasnya.

Sudah ada beberapa peraturan UU yang melindungi hak perempuan korban kekerasan seksual. Di antaranya UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU no. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, dan UU perlindungan aksi korban.

"Tapi dari peraturan tersebut, belum ada yang cukup melindungi dan menghormati hak perempuan korban kekerasan seksual. Modus nikah mut'ah juga digunakan pelaku untuk melakukan kekerasan seksual terhadap korban," jelasnya.

Faktor budaya patriarki dan poligami juga berpengaruh untuk terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Baik secara fisik maupun psikologis. Witi menilai poligami justru banyak merugikan pihak perempuan.

"Perempuan punya hak untuk memilih pasangan. Jika perempuan sadar akan poligami itu tidak masalah. Tapi bila tidak, tentu itu sudah masuk kategori kekerasan," pungkasnya.(*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved