Sepi Pembeli, Penjual Terompet Berharap Malam Tahun Baru di Semarang Membawa Berkah
Mendekati malam Tahun Baru 2019, sejumlah pedagang terompet mulai bermunculan di sepanjang Jalan Ahmad Yani, Kota Semarang.
Laporan Wartawan Tribun Jateng, M Nafiul Haris
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Mendekati malam Tahun Baru 2019, sejumlah pedagang terompet mulai bermunculan di sepanjang Jalan Ahmad Yani, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Setidaknya lima penjual terompet berjejer dari arah Simpanglima menuju ke arah Purwodadi atau sebaliknya.
Kebanyakan mereka menjual beraneka jenis terompet yang hampir sama bentuk dan jenisnya.
Seorang pedagang, Sumarsi (55), mengatakan sudah berjualan hampir dua minggu di lokasi tersebut.
" Tahun ini sepi, beda dari tahun sebelumnya," terangnya kepada Tribunjateng.com, Senin (31/12/2018).
Sumarsi warga Desa Ngaglik, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri.
Ia sudah berjualan terompet selama 15 tahun.
Terompet yang ia jual adalah hasil buatan suaminya.
"Dua minggu jualan di Jalan Ahmad Yani, baru laku sekitar 50 terompet," paparnya.
Sumarsi berangkat dari Wonogiri pada awal Desember memakai bus.
Jarak tempuh sampai Semarang sekitar lima jam.
Tahun ini, dagangan yang dia bawa tidak banyak.
Padahal tahun lalu mencapai 500 terompet.
Selain terkendala bahan baku, peminat terompet terus menurun sehingga Sumarsi dan suami tak mau berjudi.
"Ini masih banyak, masih ada hampir 200 terompet. Mulai jenis dot, oncor, dan naga," jelasnya
Selama di Semarang, Sumarni tinggal di rumah adiknya yang tidak jauh dari lokasi berjualan.
Terompet yang dia jual harganya bervariasi, mulai dari Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu.
"Yang jenis oncor dan dot harganya Rp 5 ribu per buah. Kalau motif naga Rp 10 ribu," ungkap dia.
Sumarsi menjelaskan, terompet oncor yang paling banyak dijual.
Pengalaman tahun sebelumnya jenis tersebut lebih disukai pembeli dibanding dua jenis lain.
Di lapaknya, dia juga menyediakan topi yang dihargai Rp 2.500.
Meski sepi, dia tetap berharap perayaan malam Tahun Baru 2019 membawa berkah.
Minimal seluruh dagangannya laku terjual.
"Biasanya mulai ramai dua atau tiga hari jelang pergantian tahun. Tapi ini masih sepi, topi saja belum laku," paparnya
Kondisi sepi juga dirasakan Paimo (52).
Ia berjualan tidak jauh dari Sumarsi.
Mereka masih memiliki hubungan kerabat dan sama-sama berasal Wonogiri.
"Sepine nemen (sepi banget). Sadean mboten angsal di pinggir jalan (jualan tidak boleh di trotoar jalan) ," ungkapnya.
Tahun ini, dia menjual sisa terompet tahun sebelumnya karena khawatir merugi kalau membuat yang baru.
Sebagian stok lain berasal dari pengrajin di desanya.
"Tahun sebelumnya bisa menjual 600 buah. Tahun ini yang saya jual sisa tahun baru 2018. Jumlahnya sama 600, ini masih banyak," tuturnya.
Pada hari biasa, Paimo bekerja sebagai penjual mainan dan bertani.
Dia sesekali menjadi kuli bangunan atau buruh mencari pakan ternak.
Paimo mengaku sudah berjualan terompet di Semarang selama seminggu.
Di antara jenis terompet yang dia jual, proses pembuatan bentuk naga paling lama.
Bisa memakan waktu tiga sampai empat bulan.
Selain minat pembeli berkurang, buatan pabrik berbahan plastik sekarang lebih disukai pembeli.
"Malas mau bikin, soalnya ya sepi. Kalau dulu, saya bisa bikin 5.000 biji per tahun. Sejak tahun 2000-an berkurang terus hingga sekarang," paparnya. (*)