Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Pemecatan 13 Taruna Akpol Sudah Dilaporkan ke Kapolri

Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri buka-bukaan soal pemecatan 13 taruna Akpol, dan sudah lapor Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.

Editor: m nur huda
KompasTV
Ilustrasi, Akademi Kepolisian (Akpol) 

TRIBUNJATENG.COM - Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto buka-bukaan soal pemecatan 13 taruna Akademi Kepolisian (Akpol).

Ia menyebut, pemberhentian dengan tidak hormat atau biasa dikenal PDTH terhadap 13 taruna terlebih dahulu dilaporkan ke Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.

Hal ini menyusul putusan kasasi Mahkamah Agung yang juga menguatkan 13 taruna itu terbukti bersalah melakukan tindak pidana.

"Saya melapor ke Kapolri saat rapim setelah dua hari menjabat Kalemdiklat," ujar Arief Sulistyanto saat wawancara eksklusif dengan Tribun di ruang kerjanya, Jakarta, Rabu (13/2).

Blak-blakan Arief Sulistyanto terkait 13 taruna ini juga disaksikan Analisa Kebijakan Lemdiklat, Brigjen Benny Setiawan dan mantan Kapolda Sumatera Utara Irjen Paulus Waterpauw.

Polri Pecat Dua Anak Jenderal dan Tujuh Anak Kombes dari Taruna Akpol

KH Hanief Ismail: Takmir Keberatan Rencana Prabowo Jumatan di Masjid Kauman Semarang

Jubir BPN Jateng Jamin Rencana Prabowo Jumatan di Masjid Kauman Semarang Murni Ibadah

Aksi Bripda F yang Bubarkan Balapan Liar di Sragen Malah Berujung Disidang Propam

Menurutnya, sikap kepolisian atas masalah 13 taruna itu mesti dilakukan demi memberi kepastian hukum.

"Kita berpedoman pada putusan hukum," kata Arief seraya berharap semua pihak bisa memahami keputusan tersebut.

"Namun bila ada keberatan dan ada keinginan keluarga mencari keadilan, bisa melakukan upaya hukum," papar Arief Sulistyanto.

Ia menjelaskan, upaya hukum yang bisa dilakukan keluarga adalah dengan melakukan peninjauan kembali (PK).

Arief menegaskan, PK ini bisa memungkinkan 13 taruna akpol kembali ke korps Bhayangkara. "Kalau menang di PK, mereka bisa kembali menjadi taruna Akpol," imbuh Arief Sulistyanto.

Arief Sulistyanto mengemukakan, kasus serupa pernah terjadi sebelumnya. Saat itu, rekan mereka yang terlibat kasus pun dipecat.

Setelah menjalani sejumlah upaya hukum, lanjut Arief, taruna akpol ini kembali menjadi polisi. "Walaupun mesti tertinggal dua semester," paparnya.

Untuk diketahui, 13 taruna dinilai Mahkamah Agung bertanggung jawab atas penganiyaan yang menewaskan taruna tingkat II bernama Muhammad Adam pada 18 Mei 2017 silam.

Muhammad Adam tewas seusai dianiaya di sebuah gudang. Ia meninggal karena ada luka di dada yang menyebabkan sesak nafas dan akhirnya tidak mendapat oksigen.

Satu pelaku yang diduga melakukan pemukulan langsung dipecat. Sementara 13 pelaku lainnya menjalani sejumlah persidangan hingga akhirnya muncul putusan kasasi Mahkamah Agung.

Setelah ada putusan kasasi Mahkamah Agung, Gubernur Akpol Inspektur Jenderal Rycko Amelza Dahniel menggelar Sidang Dewan Akademik pada Senin (11/2). Sidang berlangsung mulai pukul 13.00 WIB hingga 23.30 WIB.

Hasilnya, MB, GJN, GCM, RLW, JEDP, RAP, IZPR, PDS, AKU, CAEW, RK, EA, dan HA diberhentikan secara tidak hormat.

Sebelumnya, mereka semua sudah dikenakan tindak pidana dengan variasi hukuman yang berbeda sesuai peran masing-masing.

Sebelumnya diberitakan, sembilan dari 14 terdakwa penganiayaan taruna Akpol mengajukan nota pembelaan dalam sidang di Pengadilan Negeri Semarang, Senin (6/11/2019).

Dalam pledoinya, mereka meminta agar hakim membebaskan dari dakwaan dan tuntutan hukum.

Kuasa hukum terdakwa Junaedi mengatakan, kliennya tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan pasal 170 ayat 1 KUHP.

Seluruh unsur dalam pasal yang didakwakan jaksa dinilai tidak cukup kuat untuk terjadinya perbuatan pidana.

Menurut dia, para terdakwa diproses di muka hukum atas laporan polisi tertanggal 17 Mei 2017.

Pihak pelapor yaitu pembina taruna. Ia melaporkan adanya sebuah tindak pidana berupa kekerasan yang menyebabkan kematian Brigdatar Muhammad Adam, dengan terlapor salah satu taruna tingkat III dalam berkas terpisah.

Namun dalam perkara a quo, tidak ada korban yang meninggal.

"Antara para terdakwa juga tidak ada kerja sama, sehingga tidak ada unsur kekerasan dengan tenaga bersama," ujar Junaedi.

Junaedi membantah unsur kesengajaan dan dengan tenaga bersama dalam pasal tersebut.

Menurut dia, terdakwa tidak melakukan pemukulan secara serentak, dan tidak pula dilakukan secara bersama-sama.

Kegiatan pembinaan dilakukan face to face atau tidak dilakukan dengan tenaga bersama. Pembinaan yang dilakukan, dengan cara terukur dan tidak menyakiti.

"Kalau iya (masuk pidana) itu tidak pidana ringan atau tipiring. Penganiayaan ringan, tapi berdasar asas ultrapetita terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas tindak pidana yang tidak dilakukannya," tambahnya.

Selain itu, 21 taruna tingkat II yang diposisikan sebagai korban juga tidak melaporkan kekerasan ke pihak kepolisian.

Karena itu, penasehat hukum mempertanyakan dasar pengusutan atas kliennya.

"Lalu atas dasar apa dilaporkan. 21 taruna itu mengaku bukan sebagai korban, tapi kegiatan itu bermanfaat sebagai bekal di kemudian hari menjadi polisi," tambahnya seperti ditulis Kompas.com. (Tribunjakarta/TRIBUN JAteng/CETAK)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved