Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Kisah Prajurit Kopassus Injakkan Kaki di Puncak Everest pada 1997, Ekspedisi Gagasan Prabowo

Dalam Ekspedisi Indonesia Everest '97, prajurit Kopassus Asmujiono berhasil menginjakkan kaki di puncak tertinggi di dunia tersebut.

Editor: abduh imanulhaq
IST
Tiga serangkai pendaki yang sukses dalam Ekspedisi Indonesia Everest '97, yakni Lettu Iwan, Sertu Misirin, dan Pratu Muji. Nampak Muji nekat melepas masker dan kacamata salju. 

TRIBUNJATENG.COM - Dalam Ekspedisi Indonesia Everest '97, prajurit Kopassus Asmujiono yang berhasil menginjakkan kaki di puncak tertinggi di dunia tersebut.

Keberhasilan Muji (pangggilan Asmujiono) tidak terlepas dari Prabowo.

Prabowo saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus.

Dia merupakan sosok yang menggagas ide mengirim rombongan untuk menjadi orang Asia Tenggara pertama yang menaklukkan Everest. 

Soal klaim sebagai orang pertama yang menaklukkan Everest dari Indonesia dan Asia Tenggara memang masih kontroversial.

Sebab, ada nama Clara Sumarwati yang dianggap sebagai orang Indonesia dan Asia Tenggara pertama yang menginjakkan kaki di Puncak Everest.

Kisah Jasad 2 Pendaki Himalaya Muncul di Permukaan Setelah 30 Tahun, Ini Pesan Sebelum Hilang

Fakta-fakta Gunung Everest yang Jarang Diketahui, Penghuni Tetapnya Laba-laba Himalaya

Foto-foto Jenazah Lima Pendaki Gunung Everest yang Mengisahkan Tekad Baja Manusia

Terlepas dari kontroversi tersebut, rasanya kita patut menyimak kembali kisah keberhasilan tim Ekspedisi Indonesia Everest '97, khususnya Asmujiono, menggapai puncak dunia.

Kisahnya tertulis dalam artikel berjudul "Sang Saka Akhirnya Berkibar di Puncak Dunia" yang ditulis A. Asianto dan Kurniasih TJ di tabloid Nova edisi 483/X 25 Mei 1997.

Berikut ini isi artikel tersebut:

ATAP Dunia, begitu julukan untuk Puncak Everest di Pegunungan Himalaya di perbatasan Nepal-Cina.

Nama itu diberikan 1 karena gunung ini memang tertinggi di dunia, 8.848 meter.

Masyarakat setempat menyebutnya Chomolungma (Ibunda Dewi Bumi) atau Sagarmatha (Alis Mata Samudera) karena keagungannya.

Status "tertinggi" inilah yang agaknya mendorong banyak pendaki gunung terbaik di dunia berusaha menundukkan Everest, kendati harus melalui perjuangan hidup-mati karena kondisi alam dan cuaca yang teramat ganas. 

Indonesia pun tak ketinggalan.

Sudah sekian kali berlangsung usaha pendakian Everest, termasuk ekspedisi Indonesia Everest 1997 yang dibentuk atas prakarsa Danjen Kopassus Mayjen (TNI) Prabowo Subianto, Juli 96 silam, untuk menyambut HUT ke-45 Kopassus, sekaligus mendahului negara-negara Asia Tenggara lain yang berencana menaklukkan Everest.

Tim pendaki beranggotakan 16 personel dari Kopassus, Wanadri, Mapala UI, FPOK IKIP Jakarta, dan FPTI.

Mereka terbagi" dalam dua tim, yakni tim jalur utara dan tim jalur selatan.

Tim jalur Utara terdiri dari Letda Sudarto, Serda Sunardi, Praka Daryowantoro, Praka Tarmudi, Rudi "Becak" Nurcahyo, dan Gunawan "Ogun" Achmad.

Sedangkan tim jalur Selatan adalah Lettu Iwan Setiawan, Sertu Suparno, Sertu Misirin, Praka Edy Waluyu, Pratu Asmujiono, Pratu Darlin, Galih Donikara, Iwan Irawan, Ripto Mulyono, Sugiarto AR.

Mereka dibantu 10 orang tim pendukung.

Hasilnya, Sabtu (26/4/1997), Lettu Iwan Setiawan (29), Sertu Misirin (31), dan Pratu Asmujiono (26), ketiganya dari tim Selatan, berhasil menancapkan Sang Saka Merah Putin di Puncak Everest.

Tak kurang dari Presiden Soeharto menyampaikan ucapan selamat melalu Pangab Jendral (TNI) Faisal Tanjung yang menjemput para pendaki ke Kathmandu, Nepal.

Kepulangan mereka ke Tanah Air, Selasa (13/5/1997) lalu juga disambut langsung oleh Mayjen Prabowo.

"Saya namai anakmu Arya Everest Setiawan. Artinya kurang lebih, seorang satria yang lahir saat ayahnya membuktikan kesetiaan dalam tugas di Everest."

Begitu diucapkan Mayjen Prabowo pada Lettu Iwan Setiawan, saat menyambut kedatangan tim pendaki.

Istri Iwan, Betty Sri Supartini (27) memang tengah mengandung 8 bulan.

Bagaimana kalau bayinya perempuan?

"Tinggal diubah saja jadi Aryati Everest Setiawati," jawab Iwan bahagia.

Betty pun tak kalah senang.

Ia bertutur, selama Iwan bertugas, selalu ada kontak batin antara dirinya dengan Iwan.

"Kalau Mas Iwan dapat masalah di lapangan, saya dapat mimpi. Terus, si kecil di dalam perut ikut gerak-gerak. Biasanya saya langsung berdoa. Alhamdulillah, Mas Iwan kini bisa kembali dengan selamat," kisah Betty.

Dituturkan Iwan, keberhasilannya semata-mata berkat disiplin, kerja keras, dan doa bangsa Indonesia.

"Bayangkan saja, khusus tahun 97 ini baru tim dari Indonesia yang mencapai puncak Everest. Padahal dari sisi Selatan ada 14 negara yang juga melakukan pendakian. Dan sepengetahuan saya sudah 10 pendaki mereka tewas."

Iwan juga percaya, berkat doa pula ia mampu bertahan 4 jam tanpa kacamata salju yang hilang saat ia terjatuh.

Padahal, umumnya, "Kalau lebih dari 4 menit menatap salju tanpa kacamata, kita bakal kena snow blind (kebutaan karena pantulan cahaya matahari yang sangat kuat dari lapisan salju, Red.)."

Mungkin karena itu pula, Iwan nyaris tak percaya bahwa dirinya sudah tiba dengan selamat di Tanah Air.

"Saya langsung menyantap makanan kegemaran saya, ayam bakar. Di sana ada juga, tapi rasanya lain. Jauh lebih enak di sini," ujar Iwan sambil tertawa.

Adalah Pratu Asmujiono anggota tim yang pertama berhasil mengibarkan Sang Merah Putih di puncak Everest.

Dituturkan Muji (panggilan akrabnya), beberapa meter menjelang puncak ia sudah disarankan pelatih dari Moskow untuk mundur karena kondisinya amat payah.

Sebelumnya, Iwan dan Misirin sudah lebih dulu berhenti.

Bukannya menuruti saran, Muji malah nekat maju.

Apalagi ia tahu, lokasi untuk menancapkan bendera sudah tak jauh.

"Saya bukan pengecut, mati pun saya rela!" teriak Muji saat itu, sambil berlari ke atas.

Bayangan kematian sempat melintas di hadapan Muji ketika tak sengaja ia menginjak beberapa mayat pendaki yang tewas dalam sejumlah ekspedisi sebelumnya.

"Saya menangis. Tapi begitu teringat tugas negara, saya maju lagi sambil tetap berdoa," kisahnya.

Sedikit demi sedikit, Muji mulai mendekati titik tripod tempat bendera ditancapkan.

Hanya satu meter sebelumnya, "Mendadak pinggang saya nyeri karena kurang minum. Tapi syukurlah, saya masih punya kekuatan menancapkan bendera," cerita Muji yang langsung menangis terharu.

Kenekatan Muji berikutnya, membuka masker oksigen, kacamata, dan sarung tangan serta mengenakan baret merah.

Tindakan itu sebetulnya amat berbahaya karena oksigen amat tipis dan suhu yang jauh di bawah titik beku.

Alasan Muji, "Saya ingin punya bukti dokumentasi gambar jelas. Jangan sampai sudah mempertaruhkan nyawa, nanti buktinya disangsikan. Pokoknya, saya ingin tampang saya jelas saat difoto atau direkam video."

Menurut Muji, dirinya terpilih sebagai anggota tim karena kondisi fisiknya yang prima.

Bujangan asal Malang (Jatim) ini juga kerap menjuarai lomba lari araton, nasional maupun internasional.

"Sebagai anak petani di desa, naik turun gunung sudah biasa saya lakukan waktu kecil. Bahkan saya berangkat ke sekolah dengan berlari," kenang Muji yang bercita-cita mengulang pendakian dari jalur Utara.

Sedianya, Sertu Misirin-lah yang direncanakan mengibarkan bendera.

Namun, pada ketinggian 8.823 meter, Misirin sudah setengah sadar.

"Pandangan saya gelap, enggak melihat apa-apa. Samar-samar cuma saya dengar suara Muji yang mendahului saya," kisah pria asal Ponorogo (Jatim) ini.

Oleh pelatih pun, Misirin diminta turun.

"Tapi saya teringat kata-kata Lettu Iwan, 'Mati pun, kita siap. Ingat kejayaan bangsamu saat naik, dan ingat keluargamu saat turun'," lanjutnya.

Semangat Misirin kembali terpacu.

Setelah istirahat sejenak dan makan permen untuk memasok energi, "Saya pelan-pelan maju lagi sambil terus berdoa. Malu rasanya kalau saya pulang gagal."

Setelah Muji, Misirin pun tiba di puncak, disusul Iwan.

"Kami semua tak henti menyebut asma Allah. Sayang, kami tak sempat menyanyikan Padamu Negeri karena kabut dan angin kencang mulai datang. Kami harus segera turun," ungkapnya.

Berada di puncak tertinggi dunia tak pernah terbayangkan oleh Misirin sebelumnya.

"Cita-cita saya dulu cuma masuk ABRI. Makanya, begitu diterima jadi tamtama tahun 87, saya sudah senang.

Apalagi setelah masuk Kopassus. Di sinilah saya terpilih sebagai tim pendaki gunung karena dinilai mampu. Sebelum ini, saya pernah mencapai puncak Mandala di Irian Jaya," paparnya.

Sekalipun berpengalaman mendaki, banyak kendala baru dialami Misirin dalam ekspedisi Everest ini.

Misalnya, di ketinggian 6.000 meter, saat oksigen menipis dan suhu anjlok drastis, ia mendadak kehilangan nafsu makan.

Apa saja yang ditelannya selalu dimuntahkan.

Kelainan itu juga dialami Muji dan Iwan.

"Selain lemas, kepala rasanya kayak dibor," kata Misirin yang kemudian banyak-banyak minum teh manis hangat agar suplai tenaga tetap terjaga.

Saat mencapai ketinggian 7.000 meter, "Berat badan saya sudah turun dari 70 kilo jadi 63 kilo karena tiga hari enggak makan apa-apa. Akhimya, saya paksakan makan buah leci hangat sampai tiga malam berikutnya."

Selain menyantap leci, "Kami juga makan vitamin dalam dosis ringan."

Perjalanan pulang pun tak kalah berbahayanya.

"Di ketinggian 8.500 meter, kami terpaksa bermalam karena terhadang badai salju. Sementara persediaan oksigen tinggal dua tabung. Terpaksalah kami sibuk membagi rata oksigen," cerita Misirin.

Di situlah, Misirin nyaris tewas kehabisan oksigen.

"Rasanya saya sudah di ambang hidup dan mati," ujarnya.

Saat itulah, Misirin mengaku melihat wajah dan mendengar suara istri dan anaknya, Andayati (27) dan Jojo Irwantoro (4).

Semangat hidup Misirin mendadak bangkit.

Saat itu, nun jauh di seberang samudera, Andayati tengah memanjatkan doa bagi keselamatan suaminya.

Selain doa, Andayati juga mengirim faks dan surat.

Hanya saja, Misirin mengaku tak sempat-sempat membalas surat istrinya.

"Sudah saya jelaskan padanya, informasi dari teve dan koran, kan, jalan terus. Dan dia bisa ngerti". ujarnya.

Andayati sendiri mengaku bisa memahami alasan suaminya.

Ia juga ikut bangga karena suaminya mencapai prestasi yang tak bisa diraih sembarang orang.

"Sebagai istri prajurit, saya siap jika suami saya ditugaskan kapan pun dan di mana pun. Sebelum menikah risiko ini sudah saya sadari, kok," ungkap Andayati sambil tersenyum bahagia.

Keberhasilan Indonesia Everest 97 memang terasa lebih sempurna jika tim Utara dan Selatan dapat bertemu di puncak.

Namun, menurut Komandan Tim Utara, Letda Sudarto, prestasi yang dicapai tim Selatan pun sudah' amat luar biasa.

"Pers asing yang meliput pendakian ini sampai terkagum-kagum mengetahui latihan kita cuma enam bulan, sementara kita dari negara tropis. Biasanya, sih, para pendaki perlu minimal setahun untuk berlatih," jelas Sudarto.

Menurut Sudarto, tim dari Utara "hanya" mencapai ketinggian 8.600 meter.

Karena cuaca terlalu buruk, serta pertimbangan pelatih dan dokter, Mayjen Prabowo selaku penanggung jawab ekspedisi akhimya memerintahkan mundur karena tak mau sampai jatuh korban.

"Saya yakin, kalau kami ngotot, pasti bisa sampai puncak. Tapi saya enggak yakin, apakah setelah itu masih ada yang bisa bertahan hidup karena selain datangnya badai, suhu sudah mencapai minus 40 derajat celsius."

Dan bila sampai ada anggota tim yang tewas atau hilang, "Itu berarti, kan, ekspedisi kita gagal. Sekalipun tim Selatan ada yang sampai ke puncak," tandasnya. (tabloidnova)

Ketika Jokowi Kunjungi Ponpes yang Didirikan Senapati Pangeran Diponegoro di Watucongol Magelang

Tabrakan Bus dan Truk di Ampel Boyolali Jalan Raya Solo-Semarang, Sopir Truk dan Penumpang Tewas

Ariel dan Luna Maya Kepergok Ngobrol di Ultah BCL, Tagar #teambalikan Jadi Viral

Ulasan Singkat Munculnya ISIS hingga Akhirnya Kekhalifahannya Jatuh Hari Ini

Sumber: Nova
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved