Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Jejak Islam Tegal: Murid Syekh Siti Jenar Ini Dibakar Tak Mempan dan Dakwah Ditemani 2 Anjing

Menelusuri perkembangan Islam di Kota Tegal, maka tidak akan lepas dari seorang wali yang disebut Mbah Panggung.

Fajar BA
Makam Mbah Panggung (kanan) dan makam muridnya (kiri). 

TRIBUNJATENG.COM, TEGAL - Menelusuri perkembangan Islam di Kota Tegal, maka tidak akan lepas dari seorang wali yang disebut Mbah Panggung.

Mbah Panggung dikenal sebagai wali yang konon menyebarkan Islam di pesisir pantai utara (Pantura), khususnya di Kota Tegal.

Hal itu dibuktikan dari adanya makam Mbah Panggung di Jalan KH Mukhlas No 5, Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal.

Batu bata yang menjadi pagar di sekeliling makam Mbah Panggung disebut memiliki usia sama dengan batu bata makam Amangkurat 1 di Tegal Arum, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal.

Ia bernama asli Sayyid Syarif Abdurrahman.

Para ahli sejarah memperkirakan Mbah Panggung hidup di masa para Wali Sanga.

Ia disebut sebagai murid dari Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.

Sejawaran Wijanarto mengatakan, jejak perkembangan Islam yang paling tua di Kota Tegal disyiarkan oleh Mbah Panggung.

Masyarakat pun menyakini hal itu.

Namun menurut Wijan ada dua versi kisah Mbah Panggung.

Versi pertama, masyarakat percaya Syekh Abdurrahman merupakan seorang ulama yang berasal dari Timur Tengah.

Ia datang ke bumi Nusantara untuk menyebarkan Islam di Kota Tegal.

Sedangkan versi kedua, Mbah Panggung merupakan keturunan raja Majapahit dan hidup di masa Kerajaan Demak.

“Jika dilihat dari sejarah genologisnya, silsilah Mbah Panggung masih berhubungan dengan Raja Brawijaya V dan istrinya Putri Campa Dewi Murdaningrum.

Keduanya dianugrahi anak bernama Raden Joko Jaduk yang bergelar Pangeran Malang Sumirang,” kata Wijan saat ditemui tribunjateng.com, Minggu (19/5/2019).

Gang masuk area makam Mbah Panggung di Jalan KH Mukhlas No 5, Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal.
Gang masuk area makam Mbah Panggung di Jalan KH Mukhlas No 5, Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal. (Fajar BA)

Menurut Wijan, masa hidup Mbah Panggung antara abad ke- 15 atau 16.

Ia mulanya seorang wali yang tinggal di Rembang, Kudus dan sekitarnya.

Setelah adanya hukuman dari dewan wali untuk Mbah Panggung, namun tidak mempan.

Syekh Abdurrahman pergi menyiarkan Islam dan berhenti di Kota Tegal.

Ia mengatakan, Mbah Panggung merupakan pengejewantahan dari ajaran Syekh Siti Jenar.

Ada ajaran dan perilaku Mbah Panggung yang di masa itu dianggap melenceng oleh dewan wali.

Banyak yang menafsirkan Suluk Malang Sumirang merupakan ajaran jalan kegilaan Mbah Panggung kepada Tuhan.

Kemudian dibuatlah pula Dhandang Gula yang merupakan substansi dari ajaran Mbah Panggung.

Itu disebut-sebut sebagai jalan gila menuju Tuhan atau thariq majnun rabbani.

Pintu memak ke makam Mbah Panggung.
Pintu memak ke makam Mbah Panggung. (Fajar BA)

Apalagi di masa itu, ia memelihara dua ekor anjing yang diberi nama iman dan tokid (asal kata tauhid).

“Mbah Panggung pun dituding berada di jalan yang salah dalam menyiarkan Islam. Terlebih karena dua anjing itu. Melalui otoritas dewan wali, ia pun dipanggil ke Demak untuk dihukum,” jelasnya.

Wijan mengatakan, substansi ajaran Mbah Panggung menafsirkan dua anjing itu sebagai jelmaan nafsu manusia yang berbentuk hewan.

Manusia dan anjing menjadi makhluk yang sama-sama diciptakan oleh Tuhan.

Sehingga dalam paham Mbah Panggung, antara manusia dan anjing tidak punya kehendak di luar kehendak pencipta-Nya.

Mbah Panggung juga disebut Sunan Geseng.

Karena akibat ajarannya yang mengandung kontroversi. Ketika ia menghadap dewan wali, ia dijatuhi hukuman di bakar hidup-hidup.

Masa hukuman itu setalah gurunya Syekh Siti Jenar dihukum.

“Mbah Panggung dibakar, namun tidak mempan. Dalam kobaran api itulah, tercipta Suluk Malang Sumirang. Setelah dihukum, kemudian Mbah Panggung berkelana dan menempat di wilayah Tegal,” katanya.

Makam Mbah Panggung (kanan) dan makam muridnya (kiri).
Makam Mbah Panggung (kanan) dan makam muridnya (kiri). (Fajar BA)

Namun Wijan menyayangkan, data tentang sejarah Islam di Indonesia di masa transisi Hindhu Budha tidak begitu banyak.

Sejarah Islam baru ditulis setelah masa Kerajaan Mataram dengan adanya Babad Tanah Jawi.

Sekalipun demikian, bukti kebaradaan Mbah Panggung bisa dilihat dari pagar di area makan.

Keberadaannya pun menjadi keselarasan makam-makam wali di sepanjang Pantura, dari Tuban, Lasem, hingga Tegal dan Brebes.

Wijan menilai pagar di area pemakaman Mbah Panggung sudah banyak yang rusak .

Perlu ada rekontruksi untuk menjaga peninggalan yang ada.

“Perlu direkontruksi. Karena bagaimana pun bata bata itu menjadi bukti bahwa bangunan itu punya nilai sejarah,” katanya.

Adapun Syekh Abdurrahman dijuluki sebagai Sunan Panggung , disebutkan panggung berarti pepohonan yang rimbun.

Selain itu Sunan Panggung bergelar sinuhun yang dijunjung.

Sedangkan versi yang berkembang di masyarakat, penyebutan panggung karena pada saat itu wilayah Tegal merupakan pulau kecil yang berbentuk seperti panggung.

Saat Mbah Panggung sampai ke Tegal, wilayah Tegal merupakan pulau kecil yang dikelilingi oleh lautan.

“Ada yang mengatakan daratan saat itu ada di wilayah kabupaten Tegal. Setiap habis berdakwah, Mbah Panggung kembali ke pulau kecil itu. Pulau kecil itu yang sekarang menjadi area pemakaman Mbah Panggung,” jelasnya. (Tribun Jateng Fajar Bahruddin Achmad)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved