Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Asal Usul Nama Desa Gajahmati di Pati, Berawal dari Orang yang Benci Suara Azan dan Beduk

Gajahmati merupakan desa di Kecamatan Pati. Letaknya tak jauh dari alun-alun, sekitar dua kilometer ke arah selatan.

Tribun Jateng/Mazka Hauzan Naufal
Kantor Pemerintah Desa Gajahmati di Kecamatan/Kabupaten Pati, Jawa Tengah 

TRIBUNJATENG.COM, PATI - Gajah mati meninggalkan gading, Gajahmati meninggalkan sego gandul.

Pelesetan dari sebuah peribahasa tersebut merupakan lelucon sangat dimafhumi warga Kabupaten Pati.

Gajahmati merupakan desa di Kecamatan Pati.

Letaknya tak jauh dari alun-alun, sekitar dua kilometer ke arah selatan.

Desa ini dipercaya sebagai tempat kelahiran sego gandul alias nasi gandul, kuliner legendaris andalan Kabupaten Pati.

Jika nasi gandul dipercaya sebagai peninggalan berharga leluhur Desa Gajahmati bagi khazanah kuliner Pati, Desa Gajahmati diyakini merupakan peninggalan dari Saridin alias Syekh Jangkung.

Banyak orang yang percaya jika Saridin adalah wali.

Ia dikenal orang saleh dan sakti dan dipercaya sebagai anak kandung Sunan Muria dan anak angkat Ki Ageng Kiringan (ada pula yang menulis Ki Ageng Keringan).

Ia hidup pada sekitar abad ke-16 atau 17 masehi.

Jamak dipercaya, Saridin yang memberi nama Desa Gajahmati.

"Ada beberapa versi cerita."

"Saya kurang begitu paham karena bukan asli orang sini," ujar Sekretaris Desa Gajahmati Prihatiningsih kepada Tribunjateng.com ketika ditemui di kantornya, Rabu (10/7/2019).

Prihatiningsih kemudian menyampaikan, satu versi cerita dimuat di situsweb resmi Pemerintah Kabupaten Pati.

Cerita itu tertuang dalam sebuah tulisan berjudul "Jejak Nama Desa Peninggalan Saridin".

"Kalau yang dimuat di website Pemkab Pati, nama Gajahmati diberikan karena di sinilah tempat Saridin membunuh Gajah Manggolo," ujarnya.

Alkisah, karena suatu permasalahan, Saridin dikejar oleh Gajah Manggolo dan prajurit Kadipaten Pati.

Dalam pelariannya, ia hampir tertangkap. Gajah Manggolo kemudian dibantingnya hingga tewas.

Bahkan antara tubuh dan kepala Gajah Manggolo terpisah.

Tempat kematian Gajah Manggolo pun diberi nama Gajahmati, sedangkan tempat kepalanya jatuh diberi nama Mustoko (sekarang Mustokoharjo).

Prihatiningsih kemudian menyarankan kami untuk menemui Legiman (78), sesepuh desa.

Ketika ditemui di kediamannya, Mbah Giman, begitu sapaan akrabnya, meminta kami untuk menunggu saja di Punden Nyai Serati.

Punden, menurut KBBI, ialah tempat di mana terdapat makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat desa.

Bagi masyarakat Gajahmati, Nyai Serati adalah sosok cikal bakal itu.

Sementara Mbah Giman adalah juru kunci yang merawat makam Nyai Serati.

Makam Nyai Serati berada di RT 1 RW 2, bersebelahan dengan Masjid Baiturrahim Desa Gajahmati.

Nisan makam Nyai Serati diapit dua pohon serut (streblus asper) setinggi kira-kira 10 meter.

Tepat di sebelah timurnya, terdapat bangunan serupa pendopo yang disangga banyak tiang.

Sekilas pandang, bangunan itu seperti bekas rumah joglo yang dindingnya dihilangkan.

"Dua pohon itu dulu pernah ditebang sampai tinggal 2 meteran."

"Yang menebang kemudian meninggal dunia."

"Setelah itu tidak pernah ditebang lagi."

"Setelah ditebang masih bisa tumbuh hingga setinggi ini," ujar Mbah Giman setelah tiba di punden.

Sebelumnya, ia memasang sebuah spanduk di tembok sebelah barat punden.

Spanduk bergambar seekor gajah dan bertuliskan "Punden Nyai Serati Gajahmati-Pati" itu ia bawa dari rumahnya.

Mbah Giman mengatakan, sebelum dipugar pada 2001, makam Nyai Serati belum berkijing.

Bahkan tertutup oleh akar pohon serut yang malang melintang.

"Makam kemudian dibersihkan dari oyot (akar) sebelum akhirnya dipugar."

"Tapi yang membersihkannya lalu meninggal," ucap Mbah Giman.

Mengenai pendopo di samping punden, Mbah Giman menerangkan, dahulunya memang berupa rumah.

Pada 2002, atas inisiatifnya, rumah itu dipugar menjadi pendopo (Mbah Giman menyebutnya "aula") yang dimanfaatkan untuk kegiatan warga.

Kembali ke soal asal-usul nama Desa Gajahmati, Mbah Giman mulanya tak berani memberi keterangan.

"Saya takut keliru. Saya bukan ahli sejarah."

"Para sesepuh desa sebelumnya juga tidak pernah meninggalkan keterangan tertulis."

"Jika mau tanya sebaiknya ke sutradara ketoprak."

"Sebab cerita-cerita tentang asal-usul desa didapat dari lakon ketoprak," ungkapnya.

Berdasarkan lakon ketoprak yang ia tahu, lanjut Mbah Giman, nama Gajahmati diberikan, sebab Nyai Serati yang merupakan leluhur warga Gajahmati merupakan pemelihara gajah milik Saridin.

"Gajah itu yang membantu Saridin mengalahkan Ondo Rante dan mengatasi ontran-ontran (huru-hara) yang ditimbulkan Ondo Rante," ucapnya.

Alkisah, lanjut Mbah Giman, Ondo Rante merupakan orang sakti yang membenci bunyi-bunyian keras.

Pria yang menganut kepercayaan warisan leluhurnya ini merasa hatinya panas jika mendengar suara terlalu lantang.

Karena itu, ia sangat membenci suara azan dan suara beduk menjelang azan.

Bahkan, dikisahkan, karena bencinya pada suara keras azan, ia memelesetkan lafal "Allahu Akbar" menjadi "Lowo Bubar".

Tak hanya itu, ia juga kerap membubarkan orang-orang yang hendak salat di masjid.

Di tengah masyarakat Pati yang ketika itu mayoritas telah memeluk Islam, perilaku Ondo Rante tentu saja menimbulkan huru-hara.

Banyak masyarakat yang melawannya, namun ia terlalu sakti untuk dikalahkan.

Mangun Oneng, adipati yang berkuasa di Pati ketika itu, juga tak mampu mengalahkannya.

Bahkan, utusan dari Kesultanan Mataram juga belum bisa menghentikan Ondo Rante.

Singkat cerita, Saridin kemudian diutus untuk mengalahkannya.

Mengetahui kegemaran Ondo Rante "bermain-main" bersama ledek tayub sambil mabuk-mabukan, Saridin bersiasat.

Ia meminta Nyai Serati berpura-pura menjadi ledek tayub untuk mengorek kelemahan Ondo Rante.

"Siasat itu berhasil. Ondo Rante membocorkan rahasianya."

"Ia hanya bisa dikalahkan jika kedua kakinya diikat rantai emas dan ditarik oleh dua gajah sampai tubuhnya terbelah," ucap Mbah Giman.

Singkat cerita, didatangkanlah dua gajah.

Mbah Giman tidak tahu kedua gajah itu didatangkan dari mana.

Namun, ada yang berkata, gajah itu didatangkan dari Mataram.

Matilah Ondo Rante dengan cara itu.

Gajah-gajah tersebut kemudian dirawat oleh Nyai Serati.

"Karena itu desa ini dinamakan Gajahmati," tutur Mbah Giman.

Menurut Mbah Giman, makam Ondo Rante kini berada tepat di samping GITJ Pesantenan Jalan Kembangjoyo.

"Tapi semua cerita tadi hanya berdasarkan lakon ketoprak yang saya tonton."

"Jika mau yang lebih meyakinkan, saya punya buku tentang Saridin," jelas Mbah Giman.

Keesokan harinya, Kamis (11/7/2019), kami kembali mengunjungi kediaman Mbah Giman. Mbah Giman menunjukkan buku yang ia maksud.

"Buku" yang ia maksud ialah lembar-lembar kertas buram yang dijilid dengan sampul berwarna merah muda.

Sampul ini tampak telah lapuk termakan usia.

Tertulis di sana: Saridin (Syeh Jangkung) Seri I. Diterjemahkan dan Dialihbahasakan oleh Drs W Darmanto, Penilik Kebudayaan Kecamatan Kayen.

Tak ada keterangan kapan terjemahan ini disusun.

Namun, ada keterangan sumber asli buku ini ditulis dengan huruf jawa (yang sudah tidak jelas cetakannya) dalam bentuk tembang Macapat.

Di dalamnya, ada versi lain tentang asal-usul Desa Gajahmati. (mazka hauzan naufal)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved