Ketika Mahasiswa Undip Mengajar di Desa Terpencil Kecamatan Wanayasa Banjarnegara
Mahasiswa UNDIP yang tergabung dalam Gerakan Undip Mengajar (GUM) memulai aktifitas mengajar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Jatilawang.
Penulis: khoirul muzaki | Editor: m nur huda
Laporan Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki
TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA - Kabut pagi masih menyelimuti desa saat sejumlah mahasiswa Universitas Diponegoro (UNDIP) yang tergabung dalam Gerakan Undip Mengajar (GUM) memulai aktifitas mengajar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Jatilawang.
Hawa dingin yang menusuk tak menyurutkan semangat mereka untuk mengajar.
Semangat sama ditunjukkan para siswa belia yang antusias mengikuti pembelajaran di kelas.
Para mahasiswa ini bukan berlatarbelakang jurusan pendidikan atau keguruan.
Tetapi mereka terlihat cukup piawai dalam mengajar.
Bara semangat para mahasiswa ini nyatanya menular ke para siswa. Mereka terlihat aktif mengikuti pelajaran yang diampu guru-guru muda ini.
Jauh-jauh ke desa terpencil Kabupaten Banjarnegara, mereka tentu bukan hanya ingin menggelorakan semangat belajar para siswa.
GUM punya misi khusus untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah.
Faktanya, rendahnya kualitas pendidikan masih dijumpai dimana-mana. Masalahnya cukup pelik, dari kekurangan tenaga pendidik, minimnya fasilitas pembelajaran, hingga tingginya angka putus sekolah.
Kenyataan ini pula yang ditemui para mahasiswa saat menerjunkan diri langsung ke lapangan. Kenyataan yang membuka mata hati mereka hingga terpanggil untuk mengabdikan diri. Puluhan mahasiswa GUM diterjunkan di SD N di empat desa di Kecamatan Wanayasa, yakni Desa Legoksayem, Wanayasa, Wanaraja dan Jatilawang.
Suci, satu di antara mahasiswi Undip mengaku terpanggil menjadi relawan GUM untuk mengajar di desa terpencil. Ia memilih memanfaatkan waktu libur kuliahnya untuk mengabdikan diri ke masyarakat.
Peliknya problem pendidikan bukan sebatas diskursus di ruang diskusi perguruan tinggi. Suci dan teman-temannya kini merasakan langsung bagaimana problem itu nyata adanya.
"Selain panggilan hati, senang bisa mengajari anak-anak di daerah tertinggal. Meski saya bukan jurusan pendidikan, tapi ini wujud pengabdian sebagai mahasiswa di perguruan tinggi;"katanya
Ia dan teman-temannya menemui sejumlah anak yang duduk di kelas 3 dan 4, namun belum bisa membaca dan mengenal angka. Padahal, untuk ukuran anak-anak sekelasnya, mestinya mereka sudah memiliki kemampuan membaca maupun mengenal angka.
Mereka juga menemui sejumlah anak yang punya kebiasaan masuk sekolah pukul 09.00 Wib dengan alasan tertentu.
Kehadiran mereka tentu bukan hanya bertugas mengangkat masalah itu ke permukaan. Terpenting, mereka dituntut mampu menyelesaikan masalah tersebut sehingga kualitas pendidikan meningkat.
Mereka menyusun strategi bagaimana agar minat belajar siswa meningkat. Para mahasiswa ini memutuskan untuk jemput bola. Mereka tak segan mendatangi rumah-rumah siswa di desa dan menawarkan les privat gratis kepada orang tua.
Langkah ini dinilai efektif mempercepat peningkatan kemampuan siswa menguasai pelajaran. Sehingga mereka bisa mengejar ketertinggalan dari teman-temannya yang lain.
"Kami adakan les privat ke rumah-rumah. Sambutan orang tua positif,"katanya
Puluhan peserta GUM di Kecamatan Wanayasa bukan hanya memerhatikan sektor pendidikan. Mereka juga berusaha menyentuh isu lain dan memecahkan permasalahannya.
Pengajar GUM lain, Fadhila Berliannisa menyebut pihaknya menjumpai angka stunting atau bocah dengan tinggi badan kurang akibat kurang gizi cukup tinggi di Kecamatan Wanayasa. Ini ternyata tak lepas dari tingginya angka pernikahan dini di kecamatan itu.
Usia orang tua yang masih terlampau muda berisiko meningkatkan angka stunting. Mereka sejatinya belum siap membesarkan anak karena alasan finansial maupun kestabilan emosi yang kurang.
Adapun problem pernikahan dini itu berbanding lurus dengan tingginya angka putus sekolah di wilayah tersebut. Karenanya, pekerjaan rumah pemerintah bukan hanya memperbaiki gizi ibu dan anak untuk mencegah stunting.
Pemerintah juga wajib menekan angka putus sekolah dengan meningkatkan minat belajar siswa serta kualitas pendidikan di setiap daerah.
"Untuk masalah stunting dan pernikahan dini, kami sosialisasi ke masyarakat,"katanya
Para mahasiswa ini bukan hanya mengajar pelajaran sesuai kurikulum. Mereka membuka kelas inspirasi agar anak-anak di desa berani bermimpi dan menggapai cita-cita. Pembelajaran bukan hanya dilakukan di dalam ruang kelas, namun juga di lapangan hingga kebun pertanian warga yang disebut mereka sebagai sekolah alam.
Mentranser pengetahuan ke anak-anak bukan perkara mudah. Agar materi yang disampaikan mudah ditangkap, mereka harus bisa menyelami kehidupan anak yang penuh dengan keceriaan. Karenanya, mereka mendesain pembelajaran semenarik mungkin bagi para siswa, semisal dengan cara mendongeng, hingga mengajak bernyanyi dengan lagu anak.
Awal Agustus ini, mereka juga menggelar Lomba Cerdas Cermat (LCC) di setiap SD N dampingan GUM untuk memotivasi siswa dalam belajar. Pemenang LCC kemudian mewakili sekolahnya masing-masing untuk bertarung di LCC tingkat Kecamatan Wanayasa.
"Selain membuka kelas inspirasi, kamu juga adakan lomba mewarnai dan LCC,"katanya
Setyo Budiono, Kepala SDN 1 dan SD N 4 Jatilawang Kecamatan Wanayasa mengakui SD N 4 yang diampunya sempat terpencil sebelum akses jalan menuju sekolah itu dibangun baru-baru ini. Sekolah itu hanya terdiri dari empat kelas, mulai kelas 1 hingga kelas 4.
Setelahnya, para siswa harus pindah ke sekolah lain di SDN 1 Jatilawang untuk melanjutkan pendidikannya di kelas 5 dan 6. Padahal, jarak antara tempat tinggal siswa di kampung Karangmalang dengan SDN 1 Jatilawang cukup jauh, sekitar 4 kilometeran.
Ia pun mengapresiasi kehadiran GUM di sekolahnya yang dinilainya mampu membangkitkan semangat belajar siswa.
"Kami berharap bisa berkolaborasi dengan mereka untuk meningkatkan motivasi belajar siswa," katanya.(*)