Petani Tembakau Temanggung Kembali Tolak Simplifikasi Cukai: Bila Diterapkan Kiamat Ekonomi Petani
Para petani tembakau di Kabupaten Temanggung secara bulat kembali menyuarakan penolakannya terhadap simplifikasi atau penyerdehanaan cukai rokok.
Penulis: yayan isro roziki | Editor: suharno
TRIBUNJATENG.COM, TEMANGGUNG - Para petani tembakau di Kabupaten Temanggung kembali menyuarakan penolakannya terhadap rencana pemerintah untuk melakukan simplifikasi atau penyerdehanaan cukai rokok.
Ketua DPP Asosiasi Petani Tembakau (APTI), Agus Parmuji mengatakan bila simplifikasi cukai diterapkan, itu bisa menjadi kiamat ekonomi bagi para petani.
"Dengan simplifikasi, tentu yang diuntungkan adalah perusahaan rokok dengan brand internasional, di mana produk-produknya sangat-sangat sedikit menggunakan tembakau lokal hasil panen petani. Bila itu diterapkan, bisa menjadi kiamat ekonomi bagi petani tembakau," tuturnya, dalam forum diskusi di Kampoeng Sawah, Temanggung, Senin (2/9/2019).
Hadir dalam diskusi terbatas tersebut, Pengamat Kebijakan terkait Pertanian cum Guru Besar Fakultas Pertanian Insitut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dwi Andreas Santosa dan Sekretaris II DPP APTI, Agus Setiawan.
Hadir pula perwakilan para petani tembakau di Temanggung.
Dituturkan, usulan simplifikasi cukai berdasar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/2018, memang sudah seyogyanya dihapuskan pemerintah.
Menurutnya, simplifikasi cukai, pula akan merugikan perusahaan-perusahaan rokok yang menjual produk-produk kretek.
Selama ini, kretek dikenal merupakan produk rokok asli Indonesia.
"Pabrik-pabrik rokok yang masih merah-putih, NKRI, akan digerus oleh perusahaan rokok asing atau yang telah dikuasai asing," tegasnya.
Alih-alih simplifikasi, APTI justru mendorong pemerintah untuk menerapkan disparitas cukai rokok, berdasarkan komponen muatan tembakau lokal dan impor.
Menurutnya, rokok berkonten lokal minim sudah selayaknya dikenakan cukai lebih tinggi.
"Ini demi kedaulatan tembakau nasional," ujarnya.
Parmuji menambahkan, saat ini saja posisi petani tembakau sudah tidak diuntungkan dalam hal pembatasan kuota import tembaku.
Dituturkan, pihak-pihak berwenang tak segera mengekskusi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 23/2019 tentang rekomendasi teknis impor tembakau, dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 84/2017 tentang ketentuan impor tembakau.
"Rekomendasi izin teknis impor tembakau (Permentan 23/2019) dan Permendag 84/2017 itu harus segera dilaksanakan, karena ini sudah musim panen tembakau. Kalau tak dilaksanakan, maka yang paling berdosa atas hancurnya ekonomi petani tembakau ini adalah kementrian pertanian dan kementrian perdagangan," tuturnya.
Ia mendesak pemerintah agar segera menerapkan Permentan 23/2019, guna melindungi petani tembakau.
"Di situ kan diatur, untuk bisa impor, harus serap tembakau lokal dua kali lipat dari kuota impor," katanya.
Sementara itu, Andreas, mengatakan sejatinya potensi ekonomi pertembakauan sangat menjanjikan.
Hanya, dalam beberapa waktu belakangan, pergeseran kebijakan membuat potensi ini sedikit bergeser.
"Dan yang paling tak diuntungkan dalam pergeseran ini adalah para petani," ujarnya.
Dituturkan, saat ini kebutuhan bahan baku untuk industri hasil tembakau (IHT) sekitar 330.000 ton tembakau kering.
Menurutnya, dari kebutuhan itu sekitar 30 - 50 persennya dipenuhi oleh impor.
Di sisi lain, produksi tembakau lokal di kisaran 200.000 ton tembakau kering.
"Indonesia merupakan penghasil tembakau terbesar kelima di dunia. Nomor satu China, lalu India, Brasil, dan Amerika," ujarnya.
Lebih jauh, ia mengatakan, yang perlu diwaspadai adalah politik dagang internasional.
Menurutnya, politik dagang internasional akan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan petani.
"Perlu diingat, tak ada satupun kebijakan impor yang menguntungkan petani," urai Andreas.
Belakangan ini, tuturnya, Indonesia bekerjasama dengan India, soal ekspor hasil sawit.
Sebagai imbalan, Indonesia akan mengimpor daging kerbau dari India.
"Kalau tidak diproteksi, bisa-bisa nanti ke depan tembakau India juga akan membanjiri pasar Indonesia," ujarnya.
Andreas memandang pemerintah harus berani memberikan perlindungan atau proteksi maksimal kepada para petani, termasuk soal tembakau.
Meski, diakui, hal itu nanti berpotensi menghadapi gugatan oleh pihak atau negara lain.
"Pasal nanti akan ribut-ribut dengan WTO (World Trade Organization, red), itu soal lain. Yang jelas, kita harus bermain cantik, untuk tetap memberi perlindungan kepada petani," katanya.
Diketahui, pemerintah berencana menerapkan simplifikasi cukai pada akhir 2019 ini.
Rencana ini mendapat penentangan dari berbagai pihak, termasuk dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). (yan)