Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Ito Pemuda Purbalingga Jadi Doktor di Usia 26 Tahun, Terinspirasi Gelar Prof DR Ing BJ Habibie

GELAR ilmuwan Presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf Habibie, menginspirasi banyak orang.

Editor: galih permadi
ISTIMEWA
Hutomo Suryo Wasisto saat bertemu BJ Habibie. 

TRIBUNJATENG.COM - GELAR ilmuwan Presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf Habibie, menginspirasi banyak orang.

BJ Habibie yang punya gelar keilmuwan Prof Dr Ing sangat lekat dengan namanya, karena memang jarang orang punya gelar itu.

Prof Dr Ing BJ Habibie baru saja wafat (11/9) di usia 83 tahun.

Ilmuwan, teknokrat dan birokrat itu terkenal di dunia berkat kehebatannya membuat pesawat terbang.

Semasa hidupnya Habibie tercatat pernah beberapa kali menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Karena keahliannya di bidang teknik, terutama teknologi dirgantara, Habibie dikagumi banyak negara, termasuk Jerman tempat Habibie menimba ilmu.

Gelar Prof Dr Ing juga menginspirasi pemuda asal Purbalingga bernama Hutomo Suryo Wasisto.

Hutomo yang biasa dipangil Ito itu sangat ingin punya gelar DR Ing yaitu gelar teknik yang hanya ada di Jerman.

Ito satu di antara diaspora Indonesia yang bermukim di Jerman. Dia kini kerja di Technische Universitat Braunschweig, Jerman.

Sejak kecil Hutomo bercita-cita bisa memiliki gelar seperti Prof Dr Ing BJ Habibie, ilmuwan sekaligus menteri yang populer pada era Orde Baru.

"Saya lihat di televisi dan koran, ingin ke Jerman dan punya gelar seperti BJ Habibie. Waktu itu mimpinya sudah tinggi sekali. Teman-teman bilang enggak usah mimpi tinggi-tinggi, susah, bahasa Inggris juga pas-pasan," ujar Ito, Jumat (23/8) di Jakarta.

Saat duduk di bangku SD dan SMP di Purbalingga, dia selalu juara pertama.

"Didikan orang tua menanamkan bahwa jangan lihat kita di mana. Meski di daerah, tapi lakukan yang terbaik. Belajar keras," ucapnya.

Kemudian, masuk ke SMA di Yogyakarta. Ito berhasil terpilih menjadi siswa kelas akselerasi. Cukup dua tahun bisa lulus dari SMA Negeri 3 Yogyakarta.

"Dari ratusan siswa, yang diterima cuma tiga orang dan sekolahnya cuma dua tahun," kata pria kelahiran 7 September 1987 itu. Setelah lulus SMA, dia pun melanjutkan studi di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro UGM.

Dia lulus dari UGM 3,5 tahun dengan IPK 3,81 sekaligus sebagai lulusan S1 tercepat, terbaik dan termuda karena lulus pada usia 20 tahun.

Lulus dari UGM kemudian Ito mendaftar ke RWTH Aachen University, Jerman. Ini merupakan universitas untuk pengembangan teknologi melalui riset dan aplikasinya dalam dunia industri.

Perguruan tinggi tersebut juga almamater BJ Habibie.

Namun, dia tidak diterima di kampus itu karena harus menyerahkan ijazah S1 sebagai syarat administratif, padahal ijazah dari UGM belum jadi.

Dia harus menunggu satu semester.

Lalu Ito mendapat tawaran dari seorang profesor dari Taiwan untuk program kuliah master melalui pembiayaan dari perusahaan semikonduktor di sana. Dia akhirnya menempuh studi di Asia University, Taiwan.

Ito berhasil lulus dengan gelar Master of Engineering in Computer Science and Information Engineering.

Dia pun tampil sebagai lulusan terbaik dengan meraih GPA 92 dan menyandang predikat Outstanding scholar of semiconductor engineering industry R and D master degree.

"Saya jadi lulusan terbaik, dapat master degree award. Itu kelas spesial yang menggabungkan industri dengan universitas. Masalah yang dihadapi di industri dilempar ke universitas," tuturnya.

Kemudian Ito diterima sebagai scientific student sekaligus research assistant di Jerman.

Ito bisa menempuh studi dan bekerja di Technische Universitat Braunschweig.

Banyak journal dan penghargaan dihasilkan Ito, ntara lain Best Young Scientist Poster Award pada 2012 di Krakow, Polandia, dari Eurosensors.

Tercatat sebanyak 45 journal paper berhasil diterbitkan sejak 2011 sampai 2019.

Berbagai pencapaian itu membuat orang-orang Jerman di kampus merasa bingung bagaimana cara dia bisa melakukannya.

"Tadinya saya diremehin, dibilang itu susah, enggak berhasil. Tapi, semakin diremehin dan ditantang, saya semakin ingin membuktikan bahwa saya bisa," tegas Ito.

Setelah menjalani studi S-3 bidang nanoteknologi di Technische Universitat Braunschweig sejak 2010, Ito dinyatakan lulus pada 24 Juni 2014. Dia bergelar Doktor-Ingenieur (Dr Ing) in Electrical Engineering, Information, and Physics dengan status Summa Cum Laude with distinction/honor.

"Waktu wisuda saya diumumkan jadi Phd terbaik. Umur saya waktu itu 26 tahun dan akhirnya saya meraih gelar DR Ing seperti Habibie. Itu doktor teknik yang cuma ada di Jerman," imbuh Ito.

Atas prestasinya selama ini, akhirnya dia menyandang status German permanent residency for high-qualified person.

Saat ini, Dr Ing Hutomo Suryo Wasisto menduduki posisi sebagai Research Group Leader.

Dia bertanggung jawab di Laboratory for Emerging Nanometrology (LENA) dan Institute of Semiconductor Technology (IHT), di Technische Universitat Braunschweig, Jerman.

Tak terasa, sudah sekitar 9 tahun dia tinggal di Jerman.

Status ilmuwan diaspora yang disandangnya sekarang membuatnya tidak bisa melupakan Indonesia sebagai tanah airnya. (kompas.com/wid)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved