Banyak Cakades Suami Istri, Menantu Mertua hingga Saudara Kandung, Ini Tanggapan Amirudin
Amirudin, Ketua Program Studi (Prodi) Antropologi Universitas Diponegoro Semarang memberikan tanggapan terkait majunya pasangan suami-istri, menantu
Penulis: amanda rizqyana | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG.COM, UNGARAN - Amirudin, Ketua Program Studi (Prodi) Antropologi Universitas Diponegoro Semarang memberikan tanggapan terkait majunya pasangan suami-istri, menantu-mertua, kakak-adik, maupun relasi keluarga lainnya dalam kontestasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
Pelaksanaan Pilkades Serentak Kabupaten Semarang 2019 diikuti oleh 116 calon kepala desa yang memperebutkan 44 kursi kepala desa.
"Ternyata calon kepala desa nya banyak yang rivalnya berasal dari yang memiliki hubungan keluarga seperti suami atau istri, mertua atau menantu, dan atau kakak atau adik.
Kenapa bisa terjadi demikian?" ujarnya pada Tribun Jateng, Kamis (17/10/2019) sore.
Ia menjelaskan, pertama secara budaya kepala desa merupakan posisi penting di desa.
Ia bukan saja sebagai kepala pemerintahan yang menjadi wakil dari pemerintah pusat di desa, tetapi juga ia adalah tetua adat atau semacam ketua masyarakat budaya.
• Uang Tabungan Tak Kunjung Cair, Asrori Akan Laporkan Afida ke Polda Jateng
• Raharjo Ingatkan Para Cakades Agar Bijak Dalam Bersosial Media
• Polisi Temukan Sabu 1 Paket di Saku Celana Pendek Milik Sarwono
Hal tersebut menunjukkan posisi kepala desa selain menjalankan peran sebagai pemimpin administrasi bagi warganya yang tergabung dalam masyarakat politik, sekaligus sebagai tetua bagi warga yang tergabung dalam masyarakat budaya maupun adat.
"Bahkan di bagian ini, karena kepala desa adalah tetua maka berlaku prinsip 'manunggaling kawula gusti' yakni seorang pemimpin yang harus sanggup memediasi dua alam yakni alam makro dan mikrokosmos," ujarnya.
Amirudin menambahkan, inilah posisi spiritual kepala desa yang dikejar siapapun sebagai hadiah atau prize yang ingin didapatkan dan atau dipertahankan.
Maka berbagai cara dilakukan, termasuk melalui upaya memasang calon dari yang memiliki hubungan keluarga agar kepala desa tetap didapatkan oleh sesama yang memiliki hubungan klan keluarga.
Umumnya ini terjadi bagi mereka yang memiliki modal sosial kuat, yang berasal dari keluarga yang ber-klan besar.
Sistem parokial coba dilestarikan untuk mempertahankan trah kekuasaan di di jaringan sosial budayanya.
"Kedua, secara kelembagaan desa kini makin baik.
Melalui Undang-Undang Pemerintahan Desa yang baru, posisi kepala desa makin jelas dan kuat karena struktur dan penganggaran yang makin baik.
Karenannya hal ini makin menjadi faktor penarik bagi para klan di satuan desa untuk terus dikejarnya," terangnya.
Ia menduga, ketika jabatan kepala desa bukan diposisikan sebagai kepala pemerintahan saja, lengkap dengan sumberdaya keuangan yang bagus, tetapi juga sebagai jabatan yang bernilai tanda atau symbolic value yang tinggi, ini yang makin mengokohkan niatan keras untuk mendapatkannya.
Ketiga, tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran terbuka yang memang umumnya masih banyak dialami di desa desa.
Sementara beban biaya pengeluaran keluarga untuk pendidikan, kesehatan, makan dan minum, tempat tinggal, dan lain sebagainya perlu pemenuhan secara berkelanjutan.
Dan karenanya, kepala desa termasuk jabatan yang dipersepsi menjanjikan.
Maka, kepala desa selalu akan dijadikan sebagai arena pertarungan antar klan guna meraih kesejahteraan klan.
Di bagian ini, kebiasaan meraih kekuasaan karena urusan perjuangan klan memang bisa menimbulkan efek paradoks karena sesungguhnya tata kelola pemerintahan desa sekarang ini telah berubah bergeser menuju ke tata kelola yang modern.
Dalam prakteknya kelak, kepala desa harus mampu mengimplementasikan pola pemerintahan yang sekarang disebut "governance belong to people".
"Dalam konteks itu, tata kelola penyelenggaraanya harus mampu menunjukan ada akuntabilitas, karakter transparansi, sifat partisipatif dengan strong legal basis, good commitment, dan inklusif," terangnya.
Amirudin menegaskan, jika proses pemilihan kepala desa pun tidak diimbangi dengan prinsip-prinsip memilih calon kepala desa yang sesuai dengan matra dan suasana tata kelola pemerintahan yang seperti itu, maka bukan mustahil, modal ekonomi dan modal kelembagaan yang telah diberikan pemerintah pusat akan menjadi modal yang mati (the dead capital), karena gagal dikelola menjadi the liquid capital yang memajukan dan mensejahterakan desa karena kegagalan sang pemimpin dalam mengurusnya.
"Maka dalam konteks itu, selain kriteria aksebilitas dan integritas, perlu diimbangi pula tolak ukur kapasitas," pungkasnya. (arh)