BERITA LENGKAP: Pedagang Soto Buta Seusai Operasi Katarak di RS Mata Solo, Gugat Rp 10,6 M
Pedagang soto menggugat Rumah Sakit Mata Solo Rp 10,6 miliar setelah mengalami kebutaan pascaoperasi katarakan, belum lama ini.
Penulis: yayan isro roziki | Editor: Daniel Ari Purnomo
TRIBUNJATENG.COM, SOLO - Kedua mata seorang pedagang Soto Lamongan, Kastur (65), menjadi buta usai menjalani operasi katarak di Rumah Sakit (RS) Mata Solo.
Warga Desa Malangjiwan Karanganyar itu menduga terjadi malapraktik oleh seorang dokter di rumah sakit tersebut.
Ia melayangkan gugatan perdata.
Di samping itu, ia juga melaporkan dugaan malapraktik ini ke Polresta Solo.
Kastur duduk di kursi roda, mengenakan kacamata dan topi berwarna hitam.

Sesekali ia menangis, mengingat rangkaian peristiwa yang merenggut penglihatan kedua matanya tersebut.
Semula Hanya Katarak
"Semua bermula pada Oktober 2016 lalu. Kala itu, saya merasa penglihatan saya agak kabur, terutama saat melihat running text di televisi," kata Kastur, saat ditemui di ruang tunggu Pengadilan Negeri (PN) Solo, Selasa (19/11/2019).
Ia lalu berobat ke Rumah Sakit Mata Solo.
Berdasar diagnosa dokter, sambung Kastur, ia menderita katarak.
Dokter menyarankan untuk dilakukan operasi.
Yang pertama dioperasi adalah mata kanannya.
"Saya ingin kalau bisa pakai kacamata saja, biar penglihatan saya kembali jelas. Tapi kata dokter, mata kanan saya kataraknya parah, harus dioperasi," ceritanya.
• BREAKING NEWS: Kecelakaan di KM 346 Tol Batang - Semarang, Innova Tabrak Tronton, 3 Meninggal
• BREAKING NEWS: Lokalisasi GBL Resmi Ditutup, di Jawa Sudah Tak Ada Lokalisasi
Kala itu, ia ditangani oleh dokter spesialis mata, berinisial RH.
Selanjutnya, pada 26 Oktober 2016, dokter mengoperasi mata kanannya.
Sepekan usai operasi, dokter melepas perban di matanya.
"Usai dilepas perbannya, saya bisa melihat agak lebih jelas. Tapi saya diharuskan kontrol tiap minggu sekali," ujarnya.
Hingga pada Januari 2017, sambung bapak dua anak itu, dokter kembali memvonis mata kirinya juga menderita katarak.
Pun, harus dilakukan langkah serupa: operasi.
"Ya saya manut saja, wong yang ngomong dokter. Namun, ada kejanggalan pada operasi kedua ini. Rasanya sakit sekali, tidak seperti yang pertama," tuturnya.
Tak beberapa lama pascaoperasi, diakui Kastur, penglihatannya semakin jelas.
Namun, setelah itu, penglihatannya pelan-pelan kembali memburuk.
Puncaknya, sekitar empat bulan pascaoperasi, kedua matanya justru tak bisa melihat sama sekali: buta.
Ia pun kemudian kembali mendatangi RS Mata Solo. Oleh dokter, ia kemudian dirujuk ke rumah saki umum pusat (RSUP) dr Kariadi Semarang.
Di sanalah Kastur harus mendengar kenyataan pahit.
Setelah melakukan pemeriksaan, dokter memvonis kornea mata Kastur telah mengalami rusak parah.
Sehingga, tak ada harapan lagi untuk dapat dipulihkan.
"Saya kaget dan shock, langsung lemas," ucap dia.
Menurut Kastur, tim medis di RSUP dr Kariadi menyarankannya untuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, untuk operasi penggantian kornea.
Ia menyebut, operasi penggantian satu kornea menelan biaya antara Rp30 juta - Rp35 juta.
"Saya pun mendatangi RS Mata, dan mengutarakan hal itu. Namun, seperti tak ada respon dari mereka," cerita Kastur.
Gugat RS Mata Solo Rp 10,6 Miliar
Selanjutnya, ia pun berupaya melakukan gugatan, dengan permintaan ganti rugi yang totalnya mencapi Rp 10,6 miliar.
Mengetahui hal itu, menurut Kastur, pihak rumah sakit pun memanggilnya.
Mereka ingin menyelesaikan secara kekeluargan.
Dengan menawarkan 'uang damai' Rp75 juta.
"Rinciannya, Rp70 juta untuk mengganti kerugian dua kornea. Sedangkan yang Rp 5 juta untuk ganti transport," ucapnya.
Lantaran saat itu terdesak ekonomi, Kastur pun terpaksa mengambil uang yang ditawarkan.
Menurut dia, uang tersebut kemudian habis untuk membayar hutang.
Lantaran selama ini ia menjadi tulang punggung keluarga, maka selama Kastur sakit tak ada pemasukan.
Malah, yang ada pengeluaran begitu banyak.
Sehingga, keluarganya terpaksa 'gali lubang tutup lubang'.
"Saya takut, jika sewaktu-waktu saya dipanggil-Nya, saya masih menanggung hutang," katanya, sembari menangis.
Dugaan malapraktik
Kuasa hukum Kastur, Bekti Pribadi, mengatakan selain melayangkan gugatan perdata, pihaknya juga melaporkan dugaan malapraktik secara pidana ke Polresta Solo.
Lantas, mengapa ada jeda waktu cukup lama antara persitiwa dan proses melayangkan gugatan? Menurut Bekti, ini karena terdapat beberapa ganti pergantian kuasa hukum, sebelum ia menerima surat kuasa.
"Yang jelas, sejak saya tangani, ini sudah berproses," ujarnya.
Dikatakan, secara perdata pihaknya menggugat RS Mata Solo untuk membayar total ganti rugi sebesar Rp10,570 miliar.
Rinciannya, Rp10 miliar untuk ganti rugi immateriil, dan Rp 570 juta sisanya sebagai ganti rugi materiil.
"Selama sakit, pak Kastur tidak dapat bekerja. Padahal, dulu dalam sehari bisa meraup Rp600-an ribu. Nah, kerugian pendapatan per hari, dihitung selama beliau menderita kebutaan ini yang kami masukkan ke dalam gugatan materiil," terang Bekti.
Tergugat pertama dalam perkara ini adalah Direktur RS Mata Solo.
Dan tergugat kedua adalah dokter yang menangani Kastur, selama menjalani perawatan medis di rumah sakit tersebut.
"Hari ini agendanya adalah pembacaan gugatan, kemarin sempat dimediasi sama majelis hakim, tapi gagal, karena tergugat tidak hadir. Sedang untuk laporan tindak pidana, masih dalam proses penyelidikan di Polresta," tuturnya.
Sementara itu, kuasa hukum RS Mata Solo, Rikawati, tak menampik adanya gugatan terkait persoalan yang menimpa Kastur.
"Ya kita sebagai warga negara yang baik, kita ikuti proses persidangan, biarkan nanti kita buktikan semua di persidangan," tuturnya.
Terpisah, Kasat Reskrim Polresta Surakarta, AKP Arwanda, mengatakan belum mengetahui adanya laporan dugaan malapraktik tersebut.
"Saya belum mengetahui secara mendetail. Nanti saya cari informasinya dulu. Pada prinsipnya, kalau ada aduan ya akan kita proses," kata dia. (yan)