Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Cerita Tatik Guru Honorer Cantik Terus Mengajar Meski Honor Rp 175 Ribu, Sekolah Diserang Monyet

SEBUAH ruangan dengan penyangga atap dan meja-kursi yang sudah dimakan rayap biasanya merupakan gambaran sebuah bangunan tua atau kosong,

Editor: galih permadi
(KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA)
Tatik Kusyani, Guru MIS Guppi Legundi Gunungkidul dengan gaji hanya Rp 175.000 per bulan. 

TRIBUNJATENG.COM, GUNUNGKIDUL - SEBUAH ruangan dengan penyangga atap dan meja-kursi yang sudah dimakan rayap biasanya merupakan gambaran sebuah bangunan tua atau kosong, serta tak terawat.

Namun, tidak demikian dengan yang terjadi di sebuah desa, tepatnya di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.

Ruang dengan kondisi seperti itu adalah salah satu kelas, di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Guppi Legundi, Gunungkidul, Yogyakarta.

Aktivitas belajar-mengajar hingga kini masih berjalan di lembaga pendidikan setingkat sekolah dasar (SD) yang berdiri sejak 1986 silam itu.

Adalah seorang guru honorer bernama Tatik Kusyani (33) yang mengajar di sebuah kelas dengan kondisi demikian. Ia merupakan guru kelas 3 MIS Guppi Legundi yang kini berisikan tiga orang murid saja.

Memang peserta didik di sekolah tersebut cukup minim, yakni hanya 18 siswa. Kelas lima bahkan hanya dihuni satu murid saja.

Perjuangan Tatik mencerdaskan generasi penerus bangsa pun tidaklah mudah.

Ruang tempat ia mengajar digunakan untuk tiga kelas, yakni kelas 3, 4, dan 5 yang dipisahkan sekat tripleks.

“Saya sudah mengajar di sini, tepatnya sejak Juli tahun 2014,” ujar perempuan kelahiran 1 Januari 1986 itu saat ditemui Kompas.com, Kamis (19/12/2019).

Tatik melanjutkan, tantangan untuk mengajar tidak hanya dari kondisi ruangan yang ala kadarnya.

Perjuangannya makin berat karena honor yang ia terima sangat rendah, yakni Rp 175.000 per bulan.

“Dulu awal-awal, honornya malah hanya Rp 100.000 saja. Lalu naik jadi Rp 150.000 sampai jumlahnya seperti sekarang ini,” ujar dia.

Jumlah tersebut menurut dia dikarenakan sumber pendapatan sekolah yang hanya berasal dari dana BOS Rp 7 juta per semester.

Dana BOS itu selain untuk membayar gaji guru, juga untuk operasional sekolah seperti pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan listrik.

“Jujur saja gaji segitu ya tidak cukup. Untuk bensin transportasi pulang-pergi saja masih kurang,” kata perempuan lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta (STAIYO) Wonosari itu.

Sehari-harinya, ia memang harus menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari rumahnya yang ada di Desa Kepek, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul dengan jarak sekitar lima kilometer (km).

Perjalanannya dengan sepeda motor pun harus melewati kondisi jalan naik-turun khas perbukitan kapur Gunungkidul yang menguras bahan bakar.

“Apalagi kalau pas hujan disertai angin kencang. Selama perjalanan rasanya was-was tertimpa pohon tumbang,” imbuh Tatik.

Hujan dengan angin kencang tidak hanya menjadi ancaman saat di jalan. Kondisi bangunan yang sudah rapuh pun seolah tak mampu mengusir kekhawatiran akan keselamatan begitu sampai.

“Kalau hujan sama angin kencang, kondisinya mengkhawatirkan. Para murid langsung memeluk saya di tengah kondisi kelas yang bocor karena takut,” kata Tatik.

Siswa di gedung ini (kelas 3, 4, dan 5), imbuh dia, lalu dipindah semua ke kelas 6 yang gedungnya masih lumayan bagus. Di sana, mereka mengaji bersama-sama.

Seolah belum cukup dengan berbagai ujian tersebut, MIS Guppi Legundi juga terancam oleh gangguan monyet dari kawasan hutan di sekitar dusun.

Monyet-monyet itu biasanya akan datang ketika puncak musim kemarau karena air dan makanan di hutan sudah habis.

“Kalau mereka datang, jumlahnya sampai puluhan, banyak sekali. Mereka lalu melempari sekolah dengan batu lalu naik ke atap dan mengobrak-abrik genting,” ujar Tatik.

Gangguan monyet itu juga menjadi masalah dusun Legundi yang membuat warga tidak bisa berkebun karena tanamannya akan dirusak.

“Uniknya, monyet-monyet tidak takut dengan wanita. Kalau kami (guru wanita) yang mengusir, mereka malah seperti mengejek. Mereka baru pergi kalau ada warga laki-laki yang mengusir,” imbuh Tatik.

Meski harus menghadapi berbagai kesulitan, Tatik masih bertahan untuk terus berjuang mencerdaskan siswa MIS Legundi.

“Ya bagaimana lagi, saya sudah terlanjur menyatu dengan rasa tanggung jawab mengajar anak-anak. Kalau berhenti nanti kasihan mereka, di sini pun gurunya juga kurang,” imbuh dia.

Selain itu, dirinya merasa di MIS Guppi Legundi inilah ilmu pengetahuannya semasa kuliah di jurusan agama Islam bisa berguna.

Tatik pun takjub dengan semangat para guru dan siswa di sekolah tempatnya mengajar.

Baik guru atau murid, semua tetap berangkat ke sekolah, meski hujan petir melanda.

Namun demikian, ia tetap berharap bantuan berbagai pihak agar ada kesejahteraan guru dan siswa di sekolah tempatnya mengajar.

“Semoga kami bisa dibantu untuk kesejahteraan guru dan perbaikan sarana pendidikan. Juga untuk murid, mulai dari penyediaan buku pelajaran sampai perbaikan gizi,” ujar Tatik.

Harapan yang Tatik gantung sejak lama agar ada pihak yang memberi perhatian ke MIS Guppi Legundi pun akhirnya terwujud.

Bantuan tersebut datang dari CSR KFC yang salah satunya berfokus pada perbaikan nutrisi anak di wilayah pedalaman.

Untuk mewujudkannya, KFC bekerja sama dengan Yayasan 1.000 Guru melalui program Smart Center.

Yayasan 1.000 Guru sendiri merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus melakukan aksi sosial untuk membantu pendidikan anak-anak pedalaman negeri.

MIS Guppi Legundi menjadi salah satu sekolah yang mendapat bantuan dari CSR tersebut.

Bantuan dilakukan dengan memenuhi kebutuhan nutrisi para siswa melalui makanan bergizi yang mulai dilakukan pertengahan Mei tahun ini. (kompas.com)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved