Petani Asal Klaten Budidayakan Ulat Sutera Pemakan Daun Singkong Karet
Ditengah gencarnya serbuan bahan baku tekstil impor yang masuk ke Jateng, sejumlah pembudidaya ulat sutera di Klaten Jateng terus berinovasi.
Penulis: budi susanto | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Ditengah gencarnya serbuan bahan baku tekstil impor yang masuk ke Jateng, sejumlah pembudidaya ulat sutera di Klaten Jateng terus berinovasi.
Hal itu dilakukan untuk menekan jumlah bahan baku tekstil impor seperti kapas dan serat kain sutera, yang menurut data BPS Jateng hingga November 2019 mencapai 830 juta Dolar AS.
Inovasi yang dilakukan lewat pengembangan budidaya ulat duan singkong karet penghasil serat sutera.
Meski belum bisa memproduksi secara masal, namun sutera dari ulat daun singkong karet mulai banyak diminati.
Menurut Murkadani pembudidaya ulat sutera daun ketela karet, produksi serat sutera ulat daun singkong karet tak pernah mencukupi permintaan pasar.
• 3 Penyelam Lanal Tegal Bersihkan Kolam Retensi, dari Linggis hingga Kawat Diangkat dari Dasar
• Musim Hujan, Ganjar Minta BBPJN VII Patroli Jalan Rusak di Jalur Pantura
• Alasan Anggaran Dinkes Brebes Pesimis Target ODF 2020 Terpenuhi, Sartono : Kami Penyuluhan Saja
• TNI Polri dan Warga Lempuyang Demak Susun Karung Berisi Tanah di Tepian Sungai Doreng Cegah Luapan
"Pangsa pasar serat sutra ulat daun singkong karet diminati di berbagai daerah, seperti Bandung yang terkenal dengan tesktilnya.
Namun ketersediaan stok serat sutra dari ulat daun singkong belum bisa mencukupi permintaan pasar," jelasnya, saat ditemui Tribunjateng.com di Kota Semarang, Rabu (8/1/2020).
Pria asal Klaten yang sudah berkecimpung di dunia budidaya ulat sutra sejak tahun 2000 itu, mengaku, produk serat sutra dari ulat daun singkong belum bisa diproduksi secara masal.
"Produksi kami masih 5 kilogram sampai 10 kilogram setiap bulannya, dengan harga Rp 700 ribu per kilogram kami rasa pengembangan serat sutra dari ulat daun singkong karet sangat perspektif," jelasnya.
Menurutnya dibandingkan dengan serat sutra impor, serat sutra dari ulat daun singkong karet memiliki kualitas lebih baik.
"Meski kurang mengkilap tapi sutra dari ulat daun singkong karet lebih baik, selain halus dan lembut saat dibuat untuk material fashion.
Terkait harga, serat sutra dari ulat daun singkong karet bisa lebih murah 20 hingga 30 persen dari serat sutra impor," ucapnya.
Ia berharap, serat sutra dari ulat daun singkong bisa jadi solusi ketergantungan pada serat sutra impor yang selaku dibutuhkan industri tekstil di Jateng.
"Untuk menekan bahan fashion impor terutama serat sutra, kami mencoba melakukan kerjasama dengan sejumlah petani di Kulonprogo, Yogyakarta, Wonogiri, Kalimantan Utara, serta Malang.
Kami berikan bibit ulat sutra ke petani dan memberikan pendampingan, saat panen kepongpong ulat sutra duan singkong karet kami beli.
Semoga saja cara itu bisa mengurangi ketergantungan serat sutra impor, meski secara bertahap," tambahnya. (bud)