Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Surat Terbuka Wahyu Setiawan dalam Secarik Kertas Setelah Resmi Ditahan KPK

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (10/1/2020) dini hari.

Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
Komisioner KPU Wahyu Setiawan resmi ditahan KPK 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (10/1/2020) dini hari.

Wahyu Setiawan keluar dari dalam Gedung Merah Putih KPK Jakarta pukul 01.24 WIB.

Wahyu Setiawan mengenakan rompi oranye serta borgol di tangan.

Namun borgol yang ia kenakan agak tertutup tas ransel yang ditentengnya.

Begitu menjumpai awak media di pintu keluar gedung lembaga antirasuah, Wahyu Setiawan memberikan secarik kertas.

Berikut isi secarik kertas yang diterima awak media:

Surat Terbuka Wahyu Setiawan

Saya menyampaikan permohonan maaf kepada ketua, anggota dan sekjen KPU RI atas peristiwa yang saya alami

Saya juga mohon maaf kepada seluruh jajaran KPU se-Indonesia

Kejadian ini murni masalah pribadi saya dan saya menghormati proses hukum yang sedang dilakukan oleh KPK

Dengan saya telah ditetapkan sebagai tersangka, maka dalam waktu segera saya akan mengundurkan diri sebagai anggota KPU

Mohon doa semoga saya diberi kesehatan dan kesabaran

Wahyu juga tak lupa memberikan pernyataan.

Ia menyatakan bersikap kooperatif saat menjalani pemeriksaan di KPK.

"Sangat kooperatif," ucap Wahyu Setiawan.

Inilah Daftar Lengkap Pelatih Timnas Indonesia, Indra Sjafri Dapat Dua Jabatan

Diperiksa Selama 5 Jam: Inilah Jawaban Putri Sule dan Keterangan Polisi

Iran Terkini : Alasan Amerika tak Balas Serangan Rudal Iran ke Pangkalan Militer As di Irak

Blair Witch : Film Bergenre Film Horor Supernatural, Ini Sinopsisnya

Dalam perkara yang menjerat Wahyu, diketahui nama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ikut terseret.

Ketika dikonfirmasi awak media adakah uang suap yang berasal dari Hasto, Wahyu menepisnya.

"Oh tanya penyidik itu, terima kasih," ucapnya sebelum memasuki mobil tahanan KPK.

Sebelumnya, mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sekaligus orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina, telah lebih dulu ditahan KPK.

Agustina keluar dari gedung KPK pukul 00.43 WIB.

Namun ia memilih menutupi wajahnya dengan map merah dan bungkam.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, Wahyu ditahan di Rutan Pomdam Jaya Guntur.

Sementara Agustina ditahan di Rutan K4 KPK.

"Para tersangka ditahan selama 20 hari pertama," kata Ali ketika dikonfirmasi.

Kini awak media tinggal menunggu satu tersangka yang akan ditahan.

Dia adalah Saeful selaku pihak swasta.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerimaan suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024.

KPK juga turut menetapkan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, caleg DPR dari PDIP Harun Masiku, serta seorang swasta bernama Saeful. 

Dalam perkara ini, KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina diduga menerima suap dari Harun dan Saeful.

Suap dengan total sebesar Rp900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.

Atas perbuatannya, Wahyu dan Agustiani disangka melanggar pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara Harun dan Saeful dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dua orang diduga utusan PDIP

Dalam konferensi pers penetapan tersangka, KPK membuka identitas kedua inisial itu, yakni Saeful yang disebut sebagai pihak swasta dan Doni, advokat yang juga caleg PDIP.

Baca: Kunjungi Natuna, Jokowi Dinilai Tunjukkan Keseriusan Pemerintah Jaga Kedaulatan Negara

Saeful pun telah menjadi tersangka dalam kasus ini.

Sedangkan, Doni hanya menjadi terperiksa setelah giat OTT dilakukan.

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menyatakan Doni bukannya lolos dari status tersangka.

Ia menyebut tahapan penyidikan terus dikembangkan.

Bisa saja, kata Lili, tersangka bakal bertambah.

"Belum tentu kata-kata lolos atau jangan-jangan lagi ada bertambah. Tinggal di penyidikan nanti dikembangkan," kata Lili di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2020).

Lili mengatakan, Doni berperan mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 peraturan KPU 3 2019 tentang Pemungutan Perhitungan Suara ke Mahkamah Agung.

Pengajuan ini terkait dengan meninggalnya caleg PDIP dari Sumatera Selatan, Nazarudin Kiemas, pada Maret 2019.

PDIP ingin suara Nazarudin, sebagai pemenang pemilu legislatif, masuk kepada Harun Masiku.

Gugatan ini dikabulkan MA pada Juli 2019.

Dalam putusannya, MA menetapkan partai menjadi penentu suara pada pergantian antar waktu.

Putusan MA ini menjadi dasar bagi PDIP mengirim surat ke KPU untuk menetapkan Harun Masiku.

Tapi, KPU tetap menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin.

Pada 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa ke MA.

Kemudian, partai juga mengirim surat penetapan caleg ke KPU pada 23 September 2019.

Untuk memuluskan jalan Harun, Saefulah, seorang swasta, kemudian menghubungi Agustiani Tio Fridelina, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu.

Agustiani kemudian melobi Wahyu Setiawan agar mengabulkan Harun Masiku sebagai anggota DPR terpilih.

Agustiani mengirim dokumen dan fatwa MA kepada Wahyu.

Wahyu menyanggupi dengan menjawab, “Siap, Mainkan!”

Lili mengatakan, untuk membantu penetapan Harun, Wahyu meminta dana operasional Rp900 juta.

Menurut Lili, ada dua kali pemberian uang.

Pertama pada medio Desember 2019, ada seorang seseorang yang memberikan uang Rp400 juta kepada Agustiani, Doni, dan Saefulah.

Kemudian, Agustiani memberikan Rp200 juta kepada Wahyu.

Pada Desember 2019, Harun memberikan uang kepada Saefulah sebesar Rp850 juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP.

Kemudian, Saefulah memberikan uang kepada Doni Rp150 juta.

Sisanya Rp700 juta masih di tangan Saefullah.

Ia membagi menjadi dua, Rp450 juta diberikan kepada Agustiani dan Rp 250 juta untuk operasional.

Pada Selasa, 7 Januari 2020 berdasarkan hasil rapat pleno, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun Masiku sebagai PAW.

Setelah gagal di rapat pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi Doni menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi anggota DPR melalui PAW.

Pada Rabu (8/1/2020), Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh Agustiani.

Setelah penyerahan uang ini, KPK menangkap Wahyu dan Agustiani di tempat berbeda.

KPK Tetapkan Wahyu Setiawan sebagai Tersangka Suap

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, sebagai tersangka kasus suap terkait penetapan anggota DPR 2019-2024.

Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar mengatakan, Wahyu ditetapkan sebagai tersangka setelah KPK memulai penyidikan seusai operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat Wahyu, Selasa (7/1) lalu.

"Sejalan dengan penyidikan tersebut, KPK menetapkan 4 orang tersangka. Sebagai penerima, WSE (Wahyu Setiawan) Komisioner Komisi Pemilihan Umum," kata Lili dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (9/1).

Sebelumnya diberitakan, Komisioner KPU Wahyu Setiawan ditangkap KPK dalam OTT, Rabu kemarin. Penangkapan Wahyu diduga terkait transaksi suap. "Kami melakukan penangkapan terhadap para pelaku yang sedang melakukan tindak pidana korupsi berupa suap," kata Ketua KPK, Firli Bahuri.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, selain Wahyu, tim penindakan juga menangkap seorang politikus dan calon anggota legislatif (caleg) dari PDIP, Harun Masiku. Mereka diduga terlibat tindak pidana suap berkaitan dengan Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR RI.

Harun merupakan caleg PDIP untuk DPR RI pada Pemilu Legislatif 2019 dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I nomor urut 6. Dapil tersebut meliputi Kota Palembang, Kota Lubuklinggau, Musi Banyuasin, Banyuasin, Musi Rawas, dan Musi Rawas Utara. Namun dalam Pileg 2019, Harun tak terpilih menjadi anggota DPR.

KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. PDIP dalam rapat pleno KPU 31 Agustus 2019 sempat meminta KPU mencoret Riezky dari daftar anggota DPR terpilih dan mengajukan nama Harun. Namun, KPU menolaknya. Harun diduga melobi Wahyu supaya dapat duduk di DPR RI.

Tak halangi

Sementara itu, Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat membenarkan, OTT yang menjerat Wahyu ikut melibatkan kadernya. Hal itu disampaikan Djarot saat ditanya apakah OTT Wahyu Setiawan melibatkan anggota legislatif PDIP.

"Informasinya seperti itu ya. Makanya, kami lihat dulu seperti apa. Yang jelas berikan kesempatan aparat penegak hukum untuk mengurai kasusnya," kata Djarot di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Kamis.

Djarot sekaligus membenarkan bahwa kantor DPP PDIP sempat akan digeledah KPK, Kamis kemarin. Namun KPK batal menggeledah karena dinilai kurang memiliki dasar hukum yang kuat. Saat ditanya apakah PDIP menghalang-halangi penggeledahan itu, Djarot membantah.

"Enggak, informasi yang saya terima bahwa yang bersangkutan tidak ada bukti-bukti yang kuat, surat terus dan sebagainya. Mereka informasinya tidak dilengkapi dengan bukti-bukti yang kuat," lanjut dia.

Senada, Sekretaris PDIP Hasto Kristiyanto membantah ada penyegelan dan penggeledahan oleh KPK terkait OTT Wahyu Setiawan di Kantor DPP PDIP. "Jadi informasi terhadap penggeledahan terhadap adanya penyegelan itu tidak benar. Tetapi kami tahu bahwa KPK terus mengembangkan upaya melalui kegiatan penyelidikan pasca-OTT tersebut. Sikap partai adalah memberikan dukungan terhadap hal itu," kata Hasto.

Ia memastikan, PDIP tak akan menghalang-halangi upaya proses hukum yang dilakukan KPK untuk mengembangkan OTT tersebut. Hasto menambahkan, PDIP tak segan memberi sanksi berat kepada kadernya jika terbukti terlibat dalam kasus korupsi.

"Sejak awal sikap PDIP sangat tegas kami tidak kompromi terhadap berbagai tindak pidana korupsi. Itu adalah kejahatan kemanusiaan partai terus melakukan edukasi partai memberikan sanksi yang berat," ujar dia. (kps/Tribunnews)

Momentum Bersih-bersih KPU

TERTANGKAPNYA Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan dalam Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) bisa dijadikan momentum bagi institusi penyelenggara Pemilu itu untuk bersih-bersih secara internal. Setelah ini, KPU bisa melakukan reformasi total, baik secara internal maupun pola hubungan eksternal

Pada saat yang sama, KPU harus membangun mekansime pengawasan internal yang lebih baik dan efektif dalam mencegah tindakan menyimpang dan koruptif dari jajarannya. Apalagi banyak godaan menjelang Pemiluhan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. KPU juga perlu bekerja sama dan meminta dukungan KPK untuk membangun strategi pencegahan perilaku koruptif di internal kelembagaan.

KPU juga harus mewanti-wanti jajarannya di daerah untuk tidak "main mata" dan melakukan praktik ilegal dalam menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada. Sebab, selain akan ada ancaman hukuman yang berat, itu juga berpotensi semakin meruntuhkan kredibilitas KPU sebagai institusi demokrasi.

Terakhir, KPU didorong untuk memperketat pengawasan internal mereka, serta membangun mekanisme hubungan dengan eksternal secara lebih akuntabel dan berintegritas. KPU juga harus bisa meyakinkan publik bahwa tindakan Wahyu, bila terbukti, adalah perilaku oknum atau individu yang sama sekali tidak mencerminkan sikap kelembagaan KPU secara keseluruhan. (kps/Tribunnews)

Setahu Saya Wahyu Orang yang Tanggung Jawab

PENANGKAPAN Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, oleh KPK mengejutkan banyak pihak. Keluarga adalah pihak paling terpukul atas kejadian ini. Orangtua Wahyu di Banjarnegara bahkan sempat syok sesaat setelah menerima kabar buruk tentang putranya itu.

Sebelum menjadi anggota KPU RI, Wahyu lebih dulu mengawali karir sebagai penyelenggara Pemilu sejak tahun 2003. Ia pernah menjabat sebagai ketua KPUD Kabupaten Banjarnegara periode tahun 2003-2008. Selesai masa jabatan, Wahyu kembali terpilih sebagai ketua KPUD Banjarnegara periode tahun 2008-2013.

Karier Wahyu tak berhenti di tingkat kabupaten. Ia berhasil naik level menjadi anggota KPU Provinsi Jawa Tengah. Karier Wahyu cukup cemerlang memang. Belum selesai masa jabatan di KPU Jateng, ia terpilih sebagai anggota KPU RI. Sayang, di puncak kariernya sebagai penyelenggara Pemilu itu, ia harus berurusan dengan KPK karena dugaan tindak pidana korupsi.

Selama dua periode atau sepuluh tahun bertugas di KPUD Banjarnegara, tak banyak dokumentasi tentang Wahyu yang tertinggal di bekas kantornya itu. Hanya ada papan struktur organisasi yang juga memajang fotonya semasa tugasnya di KPUD Banjarnegara.

Orang-orang yang mengisi kantor KPUD Banjarnegara pun banyak yang telah berganti. Ada Cahyani Budi Rahmawati, rekan kerja Wahyu yang masih berkarier di KPUD Banjarnegara hingga saat ini sebagai komisioner. Namun, Cahyani menolak berkomentar banyak, perihal sosok yang sempat menjadi rekan kerjanya itu. Ia hanya mengenang Wahyu sebagai sosok yang baik dan bertanggung jawab.

"Dia baik, setahu saya itu. Tanggung jawab. Selain itu normallah, seperti lainnya," kata Cahyani, Kamis (9/1).
Ketua KPUD Banjarnegara, Bambang Puji Prasetya, pun mengaku tak mengetahui persis sosok Wahyu Setiawan. Saat Wahyu memimpin KPUD Banjarnegara, Bambang kala itu masih bertugas di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). "Orangnya grapyak, biasa bareng-bareng, nggak membeda-bedakan," katanya. (aqy/tribun network)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved