Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Sekjen PDIP Akui Tandatangani Surat PAW ke KPU dan Siap Jika Dipanggil KPK

Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengakui dirinya menandatangani surat dari DPP PDI Perjuangan

Tribun Jateng/Akbar Hari Mukti
Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto memberikan materi Pancasila di kuliah umum Unika Soegijapranata, Selasa (19/11/2019). 

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA – Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengakui dirinya menandatangani surat dari DPP PDI Perjuangan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pergantian antar waktu (PAW) Harun Masiku untuk menggantikan caleg terpilih yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas.

”Kalau tanda tangannya, betul. Karena itu sudah dilakukan secara legal,” kata Hasto saat ditemui di arena Rakernas PDIP di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Minggu (12/1).

Sebagai Sekjen partai, kata Hasto, wajar bila dirinya meneken surat pengajuan PAW anggota DPR. Menurut dia, hal itu sah atau legal berdasarkan peraturan yang berlaku.

Sebab partai politik memiliki kedaulatan mengajukan PAW dan tak ada yang salah dengan keputusan PDIP mengajukan Harun Masiku.

Hasto berpegang pada tafsir putusan MA bahwa partai berhak menentukan pengganti caleg meninggal di DPR.

Meski kemudian oleh KPU permintaan itu ditolak karena tak sesuai UU Pemilu.

BERITA LENGKAP : Ribuan Peserta BPJS Kesehatan Cabang Semarang Turun Kelas

Real Madrid Juara Final Piala Super Spanyol, Thibaut Courtois Jadi Penentu Kemenangan

Hasil Liga Italia Tadi Malam: Kalahkan Roma 2-0 dan Geser Inter, Ronaldo Sejajar Legenda Juventus

PDIP pun akhirnya menghormati putusan KPU dalam rapat pleno pada 7 Januari 2020 tersebut.

”Itu bagian dari (hak) kedaulatan partai politik (mengajukan surat). Ketika tanggal 7 Januari 2020 KPU menolak hal tersebut, kami juga menghormati.

Kami ini taat pada hukum. Kami dididik untuk setia kepada jalan hukum tersebut. Ketika kantor kami diserang pun kami juga menempuh jalur hukum,” lanjutnya.

Hasto menyebut, PAW merupakan hal biasa di dalam parpol. Sebab, PAW merupakan hak parpol, meski mengklaim tak mengabaikan peraturan perundang-undangan.

Sementara soal Harun Masiku yang ternyata menyuap komisioner KPU untuk memuluskan ambisi tersebut, Hasto menyebut hal itu di luar tanggung jawab partai.

”Maka pihak yang melakukan komersialisasi menggunakan penyalahgunaan kekuasaan itu, seharusnya menjadi fokus.

Mengapa hal itu terjadi. Jadi persoalan PAW ada pihak-pihak yang melakukan negoisasi, itu di luar tanggung jawab PDI Perjuangan,” ujarnya.

Hasto sempat meluruskan pertanyaan seorang wartawan yang mempertanyakan alasan PDIP mengajukan PAW terhadap Harun Masiku sebanyak tiga kali.

Kata Hasto, keputusannya hanyalah sekali.

”Jadi keputusan hanya satu kali. Keputusan PAW diputuskan satu kali. Surat menyurat itu legal formalnya memang seperti itu," ujarnya.

Hasto mengaku dirinya siap jika dirinya dipanggil KPK untuk pemeriksaan.

”Kami beberapa kali berdialog. Ketika kami mengundang KPK, KPK datang di dalam membahas bagaimana membangun sebuah keuangan yang transparan, yang baik. Ketika KPK undang kami pun, saya akan datang. Itu merupakan bagian dari tanggung jawab warga negara,” kata Hasto.

Dia juga mengaku telah menyiapkan diri dan akan bertanggung jawab akibat kasus yang menjerat Harun Masiku itu. "Tanggung jawab sebagai warga negara itu harus menjunjung hukum tanpa terkecuali," katanya.

Soal keberadaan Harun yang kini belum diketahui dan permintaan KPK agar dia menyerahkan diri, Hasto mengatakan PDIP mendukung sikap KPK itu.

"KPK sudah menyatakan, kami berikan dukungan dalam hal tersebut. Dan saya sebagai warga negara, setiap warga negara punya tanggung jawab membangun ketaatan terhadap hal tersebut. Dorongan KPK kami dukung, karena itu bagian dari kewenangan KPK," ujarnya.

Pengakuan Hasto ini berbeda dengan pernyataan Ketua KPU, Arief Budiman yang mengatakan bahwa ada tiga surat yang dikirimkan PDI Perjuangan terkait permohonan permintaan Harun Masiku sebagai PAW untuk Nazarudin Kiemas.

”Jadi KPU menerima surat dari DPP PDI Perjuangan sebanyak tiga kali. Surat pertama, terkait putusan atau permohonan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA), (surat ini) tertanggal 26 Agustus 2019,” ujar Arief saat jumpa pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1).

Putusan MA tersebut, kata Arief, berdasarkan pengajuan uji materi yang diajukan pihak PDI Perjuangan pada 24 Juni 2019. Putusan atas uji materi ini dikeluarkan pada 18 Juli 2019.

”Jadi prosesnya (uji materi) tidak sampai satu bulan ya,” lanjut Arief.

Menurut Arief, atas surat pertama ini KPU sudah menjawab dengan menyatakan tidak dapat menjalankan putusan MA itu.

"Kedua, kami menerima surat tembusan dari DPP PDI Perjuangan yang meminta fatwa terhadap MA. Itu permintaan ditembuskan kepada KPU tembusannya tertanggal 13 September (2019) dan disampaikan ke kita pada 27 September 2019," jelas Arief.

Namun, karena surat itu berupa tembusan, KPU memutuskan tidak membalas surat tersebut

"Kemudian MA mengeluarkan surat atau fatwa tertanggal 23 September 2019. Nah, berdasarkan surat atau fatwa MA ini, DPP PDI Perjuangan mengirimkan permohonan lagi kepada KPU dengan surat tertanggal 6 Desember 2019 yang diterima oleh KPU pada 18 Desember 2019," ungkap Arief.

Surat inilah yang disebut KPU sebagai surat ketiga dari DPP PDI Perjuangan. Karena surat ketiga ditujukan ke KPU, maka KPU menjawab pada 7 Januari 2020. "Yang isinya (surat balasan) kurang lebih sama dengan balasan untuk surat pertama," tegas Arief.

Terkait alasan PDIP ingin menjadikan Harun Masiku anggota DPR, padahal hasil Pilegnya urutan 5 di dapil Sumsel I, Hasto tak merinci. Namun dia pernah menyebut Harun sosok yang bersih.

Dalam kasus ini, Komisioner KPU Wahyu Setiawan diduga meminta uang Rp 900 juta untuk memperjuangkan Harun Masiku di kursi dapil 1 Sumatera Selatan.

Padahal, pengganti Nazarudin seharusnya Riezky Aprilia, caleg yang mendapat suara terbanyak setelah Nazarudin. Wahyu diduga menerima Rp 200 juta dan dijanjikan Rp 400 juta lagi. Namun, upaya Wahyu gagal lantaran KPU menolak mengganti Riezky dengan Harun pada 6 Januari.

KPK telah menetapkan Wahyu sebagai tersangka. Selain Wahyu, KPK juga menetapkan status tersangka untuk orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina, dan Harun Masiku. Namun hingga kini, Harun masih menjadi buron. (tribun network/mam/dod)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved