Pengakuan Mantan Kombatan ISIS Ingin Pulang dan Tobat: Aku Pengin Pulang ke Tanah Air dan Tobat
Bule, bukan nama sebenarnya. Ia mengaku senang mendengar pemerintah berencana memulangkan 600 Warga Negara Indonesia eks ISIS.
TRIBUNJATENG.COM -- Bule, bukan nama sebenarnya. Ia mengaku senang mendengar pemerintah berencana memulangkan 600 Warga Negara Indonesia eks ISIS.
Apa yang ia rasakan, bukan tanpa alasan, salah satu keluarganya, DF (31) terpaksa ikut suaminya, yang merupakan komplotan Bahrun Naim ke Suriah.
"Dia ikut suami, bersama dua anaknya ke Suriah sekitar tahun 2015-2016," ujar Bule saat diwawancarai khusus, Kamis (6/2).
Bule kemudian bercerita, setelah melalui banyak pertempuran di Suriah, suami dari DF tak ada lagi kabar.
Kini, DF bersama kedua anaknya, berada di kamp Rojava, Suriah sejak akhir 2017 setelah ISIS digempur habis-habisan.
"Suaminya sudah tidak ada kabar lagi," tutur Bule.
• Polemik Pemulangan WNI Kombatan ISIS, Begini Tanggapan FKPT Jateng dan Komnas Perempuan
• Viral Istri Mengantar Suami Menikah Lagi, Dari Siapkan Mas Kawin hingga Bela Suami dari Bully
• Fokus : Butuh Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi
• Jadwal Bola Liga Inggris di Mola TV dan TVRI Pekan Ini, Chelsea Vs MU, Liverpool Vs Norwich
Bule menerangkan DF kerap kali berkomunikasi dengan keluarga, terutama mengenai keinginannya bisa pulang ke Indonesia.
Saat itu, DF mengira harus bersabar selama beberapa bulan lantaran ada satu rombongan yang sudah dijemput pemerintah.
"Beberapa kali menyampaikan keinginan untuk pulang," ungkap Bule.
Karena itu, kata dia, keluarga menyambut baik rencana pemerintah ingin memulangkan WNI dari pengungsian.
"Ya tidak apa-apa kalau peraturannya seperti apa, misal harus ikut program deradikalisasi," harapnya.
DF, cerita Bule kerap meminjam telepon seluler milik sesama mantan simpatisan ISIS yang berada di kamp pengungsian.
Dengan cara sembunyi-sembunyi, cerita Bule, saudaranya yang dimaksud menceritakan kisah pilu selama di Suriah.
"Januari kemarin sempat kontak. Kemudian minta pulang dan janji akan tobat.
Kadang keluarganya kerap kirim uang juga untuknya agar bisa bertahan hidup di pengungsian.
Ia selalu bilang, aku pengin pulang ke tanah air dan tobat kepada orangtuanya," cerita Bule.
Mantan Panglima Negara Islam Indonesia (NII) Ken Setiawan memberikan saran kepada pemerintah.
Menurutnya, perlu ada standar operasional prosedur yang jelas. 600 WNI eks ISIS yang akan dipulangkan juga perlu diobservasi di pulau tertentu.
"Bagaimana kesiapan Pemerintah ini untuk mengevakuasi, mengisolasi, supaya mereka ada SOP," ujar Ken.
Pemerintah juga harus mengajak mereka untuk ikut serta dalam melawan paham radikal.
Menurut Ken, hal itu demi mencegah 600 WNI eks ISIS ini malah menyebarkan ideologi radikal di Indonesia.
"Diajak melawan paham radikal, melalui baik tulisan, kegiatan, sebagai bukti mereka sudah mengakui bahwa ternyata Pancasila adalah final," tutur Ken.
Ken yang merupakan pendiri NII Crisis Center ini, mengatakan bukan tidak mungkin mereka malah menyebarkan ideologi radikal dengan mendirikan organisasi masyarakat, yayasan, bahkan lembaga swadaya masyarakat di Indonesia.
"Kemudian menyebarkan lagi. Mereka mungkin bikin grup-grup tertutup di media sosial kan' siapa yang tahu," ucapnya.
Mantan narapidana kasus terorisme Sofyan Tsauri mengatakan pemerintah jangan gegabah dengan mengembalikan 600 WNI eks-ISIS ke Indonesia.
Ia dengan tegas menyatakan tidak setuju wacana tersebut.
"Nanti bawa paham baru lagi. Jadi penyakit di sini. Nanti bahaya.
Saya tidak setuju, walaupun saya mantan teroris ya. Tidak usah balik lah, nanti jadi masalah baru," kata Sofyan.
Sofyan menyontohkan kasus Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani Saleh, yang merupakan pelaku bom bunuh diri di Filipina.
Keduanya, warga negara Indonesia yang di deportasi dari Turkey. Kemudian, melancarkan aksinya di Filipina.
Sementara itu, Pengamat Intelijen, Stanislaus Riyanta, mengatakan, beberapa hal yang perlu diperhatikan Pemerintah Indonesia sebelum memulangkan 600 Warga Negara Indonesia (WNI) pendukung ISIS dari Suriah ke Tanah Air.
"Bahwa saat ini di Indonesia pun belum ada aturan atau prosedur yang jelas untuk menangani kasus pemulangan WNI pendukung kelompok teroris seperti ini," jelasnya.
Menurutnya, jika pemerintah bisa melakukan pencabutan kewarganegaraan karena seseorang meninggalkan Tanah Air, dengan sengaja menghilangkan dokumen kewarganegaraan, dan bergabung dengan organisasi terlarang, tentu akan disambut baik oleh masyarakat.
Hal tersebut menjadi bukti bahwa negara tidak memberikan toleransi terhadap warga negaranya yang terlibat dalam organisasi teroris trans nasional seperti ISIS.
Namun, jika status pencabutan kewarganegaraan ini bisa dilakukan, maka pemerintah tidak perlu repot untuk memulangkan eks ISIS yang kini berada di Suriah.
"Yang juga perlu diperhatikan, mengingat tekad kuatnya eks ISIS bergabung hingga rela meninggalkan tanah airnya, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang telah menjual harta bendanya di tanah air, belum tentu WNI pendukung ISIS tersebut mau untuk dipulangkan ke Indonesia," tandasnya.
Karena itu, dia menilai pemerintah perlu bersikap tegas dengan tidak memulangkan WNI pendukung ISIS dari Suriah karena kewarganegaraan telah dicabut.
"Hal ini perlu dilakukan agar sumber ancaman radikalisme dan terorisme di Indonesia tidak semakin bertambah dan berkembang," sarannya. (tribun network/denis)