Berita Kendal
Kisah Nyata : Nelayan Kendal Putar Otak Hadapi Musim Paceklik Akibat Gelombang Tinggi
Sururi (50), nelayan di Pantai Bandengan, Kabupaten Kendal, terpaksa utang beras ke pemilik toko kelontong langganan untuk makan sehari-hari.
Penulis: Saiful Ma sum | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, KENDAL -- Sururi (50), nelayan di Pantai Bandengan, Kabupaten Kendal, terpaksa utang beras ke pemilik toko kelontong langganan untuk makan sehari-hari.
Musim paceklik akibat gelombang tinggi seperti sekarang ini membuat dia dan ribuan nelayan lain di wilayah tersebut tak bisa sering melaut sehingga harus memutar otak mencukupi kebutuhan hidup.
"Kalau tidak melaut, kadang cari kepiting saat cuaca cerah. Tapi, kadang juga di rumah, mengandalkan utangan. Nanti dibayar lagi kalau ada uang," ungkapnya di Pantai Bandengan, Jumat (7/2).
Sementara Khafidin, nelayan lain di Bandengan, mengatakan, musim paceklik kali ini tergolong lama.
Katanya, sejak Oktober hingga Februari ini, nelayan kesulitan mendapat ikan. Bahkan, tak jarang pulang dengan tangan kosong lantaran cuaca yang tak bersahabat.
Laki-laki yang biasanya minimal membawa pulang uang Rp 50 ribu per hari itu harus memutar otak mencukupi kebutuhan keluarga.
• Kabar Terbaru: Tanggapan Grab terhadap Perampokan Sopir Grab di Jepara
• Inilah 10 Pasangan Selebriti yang Sudah Dikaruniai Anak Tapi Belum Menikah
• Video Viral : Pengemudi Agya Cekik Polisi Karena Hendak Ditilang di Tol Angke
• Li Wenliang Penemu Virus Corona Meninggal Dunia
Dengan usia dan kesehatan yang kurang baik, beberapa pekan ini, dia terpaksa berutang kepada tetangga yang mempunyai rizki lebih.
"Saya gak punya keterampilan jadi gak kerja samben (sampingan). Ada beberapa (nelayan) yang bisa nukang bangunan, ya kerja jadi tukang batu. Tapi, jumlahnya beberapa saja," terangnya.
Kebiasaan berutang saat musim sulit, kata Khafidzin, sudah biasa bagi nelayan. Mereka akan buka lubang tutup lubang, dan melunasi saat musim panen atau musim ramai tiba.
Sebagian dari nelayan lain, dikatakannya, memilih menggadaikan barang-barang elektronik, perhiasan, atau sepeda motor. "Yang gadai dengan jangka waktu, biasanya ditebus saat ada uang saat musim panen ikan," terangnya.
Sulitnya mendapat ikan di musim ini juga dirasakan Wasro (62) bersama sekitar 20 kru lain kapal. Menurut Wasro, musim paceklik biasa terjadi November-Maret. Biasanya, gelombang tinggi membuat ikan yang ditangkap tak berkualitas baik.
"Pendapatan sepi, gelombang barat tinggi. Saat musim baik, biasanya satu hari bisa dapat satu ton. Ini hanya dapat lima blung, lima kuintal.
Dapatnya juga ikan Ninis yang kalau dijual, harganya murah banget," keluh Wasro, nelayan Korowelang Kulon, saat ditemui di Pantai Bandengan Kendal, Kamis (6/2).
Ikan Ninis sering pula disebut nelayan sebagai anakan ikan Juwi. Di pasaran, ikan ini dihargai Rp 1.500 per kilogram.
Supardi, rekan Wasro, mengatakan, harga lima kuintal ikan Ninis berkisar Rp 700 ribuan. Dikurangi biaya operasional untuk membeli solar Rp 400 ribu, setiap nelayan di kapal itu hanya mengantongi penghasilan Rp 20 ribu-Rp 30 ribu.