Ngopi Pagi
FOKUS : Budak di Atas Kapal
HEBOH atas dibuangnya jenazah anak buah kapal warga negara Indonesia ke laut dikhawatirkan hanya terhenti di masalah itu
Penulis: abduh imanulhaq | Editor: Catur waskito Edy
Oleh Abduh Imanulhaq
Wartawan Tribun Jateng
HEBOH atas dibuangnya jenazah anak buah kapal warga negara Indonesia ke laut dikhawatirkan hanya terhenti di masalah itu. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan.
Setiap kali terungkap kasus yang menyangkut nasib tenaga kerja Indonesia, muncul kehebohan di dalam negeri. Terdengar suara-suara lantang, terutama di dunia maya, penuh kemarahan atau keprihatinan.
Kegaduhan demikian jarang bertahan lama. Lebih buruk lagi, kehebohan itu tidak sampai menggerakkan kehendak membela langsung kepentingan TKI dan citra bangsa di panggung dunia.
Pada Desember 2019 dan Maret 2020, terjadi kematian tiga WNI yang merupakan ABK kapal ikan Long Xin 629 dan Long Xin 604. Jasad mereka kemudian dilarung di tengah laut.
Kabar ini diketahui setelah dua kapal berbendera China itu merapat di Korea Selatan. Video tentang dibuangnya mayat TKI itu viral setelah televisi Korea memberitakannya.
Diketahui pula seorang ABK asal Indonesia juga meninggal di rumah sakit. TKI ini menderita pneumonia.
Kapten kapal menyatakan larung jenazah sudah sesuai prosedur. Kematian disebabkan penyakit menular dan disetujui ABK lain.
Memang Organisasi Buruh Internasional telah mengatur prosedur larung jenazah.
Aturan ILO menyebutkan kapten kapal dapat memutuskan melarung jasad dalam kondisi antara lain penyebabnya penyakit menular atau tak punya fasilitas penyimpanan jenazah.
Jelas pelarungan jasad dari kapal yang tak punya fasilitas demikian itu beralasan. Kalau ini yang menjadi fokus perhatian kita, masalah sudah selesai.
Namun, negara harus hadir ketika ABK lain memberi kesaksian mencengangkan. Mereka bekerja di kapal penangkap ikan itu tak ubahnya sandera perbudakan modern.
ABK yang meninggal sudah menderita sakit selama sebulan. Kapten kapal ternyata menolak kembali ke darat agar mereka bisa menjalani pengobatan.
Jam kerja para TKI itu juga tak berperikemanusiaan. Mereka dipaksa bekerja 18 jam sehari, tak jarang 30 jam tanpa henti.
Dari sisi upah, bayaran yang diterima kecil. Jauh meleset dibandingkan kontrak yang mereka teken.
Masih banyak perlakuan buruk lain yang diterima para TKI itu. Semua informasi ini disampaikan kepada publik melalui televisi Korea.
Di Indonesia, beberapa mantan ABK kapal nelayan asing kemudian memberi kesaksian mengenai eksploitasi ketika mereka masih bekerja di laut.
Dapat diketahui, risiko perbudakan sangat tinggi meski ada pula yang memang bekerja sesuai kontrak.
Sering menjadi pertanyaan, mengapa TKI tetap berangkat meski sudah tahu keamanan dan keselamatan tak terlalu terjamin. Jawabannya sangat jelas, mereka pergi karena terpaksa untuk mengadu nasib.
Mereka tak mungkin bersusah-susah ke mancanegara kalau lapangan kerja tersedia di dalam negeri. Sehingga perlindungan pemerintah terhadap TKI mesti terus ditingkatkan karena jumlahnya luar biasa.
Perwakilan Indonesia di negara tujuan TKI harus responsif menjalankan fungsi ini. Mereka tak boleh kalah cepat daripada organisasi nonpemerintah yang aktif mengadvokasi perlindungan bagi pekerja migran. (*)
• Stres Kelelahan, Nia Ramadhani Sulap Gudang Jadi Tempat Me Time, Kunci Pintu saat Ingin Sendiri
• Abaikan Klakson, Pemotor Tertabrak Kereta Api Terseret 600 Meter, Bagian Tubuh Berceceran di Rel
• Ada Uang Enggak sih? Kalimat Itu Bikin Konong Emosi dan Sarangkan 12 Tusukan di Tubuh Teman Kencan