Ramadhan 2020
Benarkah Itikaf Bisa Dilakukan di Rumah dan Pahala Tidak Berkurang?
Pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, biasanya warga mendatangi masjid untuk melaksanakan itikaf.
TRIBUNJATENG.COM -- Pada 10 malam terakhir bulan Ramadan, biasanya warga mendatangi masjid untuk melaksanakan itikaf.
Itikaf sangat dianjurkan, karena untuk mencari keutamaan malam Lailatul Qadar.
Namun bagaimana itikaf dengan kondisi di tengah pandemi Covid-19 seperti saat ini?
Ketua Majelis Ulama Indoneska (MUI) DKI Jakarta KH Munahar Muchtar mengatakan, melihat kondisi saat ini memang diharuskan beribadah di rumah.
Bagi yang terbiasa itikaf di masjid, tak masalah jika itikaf di rumah.
"Pada dasarnya kalau kita biasa itikaf di masjid, lantas kita niat aja itikaf di rumah.
• Prostitusi Online Terbongkar, Ibu-Ibu Muda Pasang Tarif Rp 500 Ribu Sekali Kencan
• 4 Tahun Hidup dalam Pelarian Bersama Penculiknya, Bocah Ini Akhirnya Kembali ke Pelukan Orangtua
• Putri Matt Damon Terpapar Virus Corona
Insyaallah pahala tidak akan berkurang. Allah tahu kok. Sama kayak kita jamaah di masjid, karena kondisi begini akhirnya di rumah," katanya ketika dihubungi, Rabu (13/5/2020).
KH Munahar Muchtar menyampaikan jika memang dalam kondisi seperti ini, kegiatan ibadah di masjid tidak memungkinkan, sehingga dengan begitu tetap melakukan ibadah seperti di masjid, namun dilakukan di rumah.
Kendati demikian, menurutnya, yang terpenting saat melakukan i'tikaf di rumah yaitu harus niat. Niatnya sama ketika melakukan i'tikaf di masjid.
"Insyaallah tidak mengurangi nilai pahala kok. Yang penting niatnya saja," katanya.
Menurutnya i'tikaf hukumnya sunah dan tidak harus pada bulan Ramadan. Boleh dilakukan pada bulan apa saja, yang penting orang yang melakukannya memahami apa itu i'tikaf.
"Kalo i'tikaf itu kan tidak pakai tata cara, niat aja. Seperti seumpamanya kita sekadar masuk mkita niat i'tikaf boleh, walaupun kita tidak duduk. Sambil duduk juga boleh, apalagi waktu lama dengan zikir dan lain sebagainya," ujarnya.
Bahkan i'tikaf bisa dilakukan dalam waktu yang cukup singkat ketika di masjid. Hal ini sesuai gambaran i'tikaf yang disampaikan para ulama.
"Ulama juga memberikan gambaran i'tikaf itu boleh aja walaupun hanya masuk dalam masjid sebentar, terus keluar lagi, tidak masalah. Yang terpenting niatnya saja," ujarnya.
Meski begitu, dikatakan KH Munahar, hingga saat ini para ulama termasuk MUI DKI Jakarta tengah mencari hukum melakukan i'tikaf di rumah selama pandemi Covid-19.
"Kita juga memang dari MUI DKI sedang mencari hukum i'tikaf di rumah. Itu sedang kita cari rujukan kitab-kitab dari komisi fatwa kita," ucapnya.
Salat Idul Fitri
Sementara itu Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi mengimbau umat Islam untuk melaksanakan ibadah salat Idul Fitri 1 Syawal 1441 Hijriah di rumah masing-masing.
Imbauan itu disampaikan Menag mengingat pandemi virus corona (Covid-19) belum ada tanda-tanda mereda.
"Memang boleh tidak salat, karena hukumnya sunah. Tapi saya imbau umat Islam untuk menjalankan salat Id di rumah bersama keluarga inti. Ini bagian dari empati dan komitmen kita sebagai umat beragama dalam penanganan Covid-19," kata Fachrul dalam keterangannya, Rabu (13/5).
Mantan Wakil Panglima TNI itu lantas mengingatkan kisah Nabi Muhammad SAW yang tidak pernah meninggalkan Salat Id.
Bahkan, kata Fachrul, Nabi Muhammad SAW memerintahkan perempuan dan anak muda untuk salat Id. Fachrul pun berharap umat Islam bisa meniru kisah tersebut.
"Usahakan salat Id jangan ditinggalkan, tapi diselenggarakan bersama keluarga di rumah. Sesuai teladan Rasulullah SAW yang tidak pernah meninggalkan salat Id," lanjutnya.
"Salat di rumah bisa seperti salat dua rakaat biasa, bisa dengan tujuh takbir rakaat pertama dan lima takbir rakaat kedua, bisa juga ditambah khutbah," ucapnya.
Fachrul berharap para ulama termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) terus memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait hukum fikih Islam dan tata cara salat id, yakni salat id merupakan sunnah muakkadah atau sangat dianjurkan.
Ia juga berpesan kepada seluruh umat muslim untuk tetap menyambut Idul Fitri 1441 Hijriah ini dengan suka cita dan bahagia di tengah pandemi COVID-19.
Fachrul juga meminta agar saling berbagi kepedulian, sehingga semua bisa merayakannya.
"Pandemi Covid-19 tidak boleh mengurangi kebahagiaan dan kegembiraan kita dalam menyambut Idul Fitri 1441 H. Taqobalallahu Minna Waminkum, semoga Allah menerima amal kita semua," kata Fachrul. (jos/tribun network/fhd/dod)
Tata Cara Itikaf di 10 Hari Terakhir Bulan Ramadan: Syarat, Rukun serta Doa yang Dibaca
Itikaf sunnah dilakukan setiap waktu, tetapi yang paling utama (afdhal) jika dilakukan di bulan Ramadhan.
Arti dari itikaf ialah berhenti (diam) di dalam masjid dengan syarat-syarat tertentu, semata- mata niat beribadah kepada Allah.
Lalu, bagaimanakah tata cara itikaf?
I’tikaf pada bulan Ramadhan bisa dikatakan sebagai ruang perawatan khusus untuk menghilangkan kanker dosa dari dalam hati.
I’tikaf merupakan lingkungan khusus yang jauh dari noda dan kotoran dunia.
Konon Rasulullah selalu melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Kemudian pada tahun di mana beliau meninggal dunia, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.
Ketika beliau tidak bisa i’tikaf, beliau kemudian menggantinya dengan i’tikaf sepuluh hari pertama di bulan Syawal.
Tindakan Rasulullah itu merupakan bukti pentingnya ibadah i’tikaf.
Kesungguhan Rasulullah untuk mengerjakan ibadah yang satu ini juga bisa menjadi motivasi untukmu melakukan hal yang sama.
Syarat dan Rukun I’tikaf
Sebelum melakukan i’tikaf, penting untuk memperhatikan syarat dan rukunnya, antara lain sebagai berikut:
Pertama, niat, dalam i’tikaf harus ada niat sehingga orang yang melakukannya paham apa yang harus dilakukan.
Bahkan jangan sampai melamun, dan pikiran kosong.
Kedua, diam di dalam masjid dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang beri’tikaf.
Sebagaimana firman Allah SWT “…Tetapi, jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS Al-Baqarah: 187).
Orang yang melakukan i’tikaf harus muslim, berakal, suci dari hadas besar (ada pendapat yang mengatakan bahwa hadas kecil juga membatalkan i’tikaf), dan harus di masjid.
Sunnahan i’tikaf terdapat dalam beberapa hadis, di antaranya:
Pertama, Abdullah bin Umar berkata bahwa Rasulullah SAW i’tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”
(HR Bukhari).
Kedua, ‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW melakukan i’tikaf sesudah tanggal dua puluh Ramadhan hingga beliau meninggal dunia.
(HR Bukhari dan Muslim).
Ketiga, Ubay bin Ka’ab dan Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, hinggal Allah menjemputnya (wafat).
(HR. Bukhari Muslim).
Maksud dari beberapa hadis di atas bahwa tiap bulan Ramadhan akan berakhir, terutama sepuluh hari menjelang Ramadhan berakhir, Rasulullah SAW selalu i’tikaf di masjid.
I’tikaf ini hukumnya sunah dan tidak harus pada bulan Ramadhan, boleh dilakukan pada bulan apa saja, yang penting orang yang melakukannya memahami apa itu i’tikaf.
Bolehkan Perempuan Itikaf di Masjid?
I’tikaf sangatlah dianjurkan dilakukan pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, karena dimaksudkan untuk mencari malam lailatul qadar, malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
Hal ini pun telah diajarkan oleh Nabi Saw. sebagaimana yang pernah disampaikan oleh istrinya, Aisyah ra:
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله عز وجلّ ، ثمّ اعتكف أوزاجه من بعده متفق عليه.
“Bahwasannya Nabi saw. selalu beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan sampai Allah memanggilnya, kemudian istri-istrinya meneruskan i’tikafnya setelah itu.” Muttafaqun ‘alaih.
Di dalam hadis tersebut, juga mengindikasikan dibolehkannya bagi perempuan untuk beriktikaf.
Karena digambarkan bahwa para istri Nabi Saw. melakukan i’tikaf sepeninggal Nabi Saw.
Namun, di dalam kitab Ibanatul Ahkam syarh Bulughil Maram karya Sulaiman An Nuri dan Alawi Abbas al Maliki disebutkan bahwa dibolehkannya i’tikaf bagi perempuan di dalam masjid dengan syarat telah mendapatkan izin dari suami dan jika terhindar dari fitnah.
Di dalam Shahih al Bukhari pun terdapat bab iktikafnya para perempuan.
Di dalam bab tersebut beliau mengemukakan hadis riwayat Aisyah ra, sebagaimana berikut:
كان النبي صلى الله يعتكف في العشر الأواخر من رمضان، فكنت أضرب له خباء فيصلي الصبح ثم يدخله، فاستأذنت حفصة عائشة أن تضرب خباء، فأذنت لها فضربت خباء فلما رأته زينب بنت جحش ضربت خباء آخر، فلما أصبح النبي صلى الله عليه وسلم رأى الأخبية فقال: ماهذا؟ فأخبر، فقال النبي صلى الله عليه وسلم ألبر ترون بهن؟ فترك الاعتكاف ذلك الشهر، ثم اعتكف عشرا من شوال.
“Nabi Saw. biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan shalat Shubuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada Aisyah untuk mendirikan tenda, Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihatnya, ia pun mendirikan tenda lain.
Ketika di subuh hari lagi Nabi saw, melihat banyak tenda, lantas diberitahukan dan beliau bersabda: “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?” Beliaupun meninggalkan i’tikaf pada bulan ini dan beliau mengganti dengan i’tikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal.”
Ibnu Mundzir dan ulama’ lainnya sebagaimana yang telah dikutip oleh imam Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari ketika mensyarahi hadis tersebut mengatakan bahwa perempuan tidak boleh i’tikaf sampai meminta izin kepada suaminya.
Jika perempuan tersebut beri’tikaf tanpa meminta izin, maka suaminya boleh menyuruhnya keluar dari i’tikaf. (Tribunnews.com/Bunga)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Ketua MUI Jakarta: Itikaf di Rumah Insyaallah Pahala Tidak Berkurang
• Jawaban Soal Perjuangan Jenderal Soedirman Kelas 4-6 SD Belajar dari Rumah TVRI Kamis 14 Mei 2020
• Lubang Hitam, Seperti Apa dan Bagaimana Terbentuknya di Ruang Angkasa?