Berita Banjarnegara
Mengintip Sentra Konveksi di Desa Pelosok Banjarnegara, Tak Ada Pemuda Menganggur
Kisah pengusaha konveksi di Banjarnegara yang memberdayakan para pemuda di sekitarnya. Dampaknya, sulit menemukan poemuda menganggur di desa ini.
Penulis: khoirul muzaki | Editor: m nur huda
TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA - Kisah pengusaha konveksi di Banjarnegara yang memberdayakan para pemuda di sekitarnya. Dampaknya, sulit menemukan poemuda menganggur di desa ini.
Industri garmen selama ini identik hanya berkembang di perkotaan, Jakarta jelas pusatnya.
Terlebih didukung keberadaan pasar besar semisal pasar Tanah Abang yang menjadi rujukan pedagang dari berbagai daerah untuk kulakan.
Banyak warga daerah, terutama berpendidikan rendah merantau ke Jakarta untuk menjadi buruh konveksi.
Selain buruh bangunan bagi sebagian warga lain yang tak punya keahlian khusus.
• Harga Sepeda Lipat United Berbagai Tipe, Dibanderol Rp 2 Jutaan
• Bendungan Penyuplai Ibukota Baru Mulai Dibangun, Inilah Permintaan Pengamat
• Korea Utara Peringatkan AS, Jika Ingin Pilpres Lancar Jangan Campuri Urusan Negara Orang Lain
• Ganjar Minta Penerapan Protokol Kesehatan di Pasar Jangan Tunggu Ada Kasus Positif Corona
Tetapi dalam perkembangannya, industri garmen ternyata melebar dan menyebar ke daerah.
Sebagian pengusaha memilih memindah usahanya ke daerah dengan bermacam pertimbangan.
Ada pula eks buruh konveksi di kota yang memilih merintis usaha di daerah asal. Tentunya dengan bekal keahlian dan jaringan pemasaran yang dimiliki.
Seperti halnya Nikmatul Supoyo, warga Desa Kebutuhduwur Kecamatan Pagedongan.
Poyo dulunya bukanlah siapa-siapa. Ia terpaksa merantau ke Jakarta sejak umur 13 tahun.
Ia putus sekolah karena faktor ekonomi. Hingga ia memutuskan bekerja di konveksi di usia yang masih dini.
"Karena ekonomi, saya umur 13 tahun merantau ke Jakarta," katanya.
Cukup lama menjalani pekerjaan berupah murah itu, Poyo 'naik pangkat' menjadi buruh jahit di tempat kerjanya.
Pekerjaan yang dia tekuni selama 20 tahunan itu sampai mengakar baginya.
Hingga kejenuhan menyambanginya. Ia ingin kembali ke daerah asal agar bisa berkumpul dengan keluarga.
Konsekuensinya, ia harus melepas pekerjaannya.
Poyo tentu tak ingin jadi pengangguran sekembali ke desa.
Karenanya, ia harus berpikir keras agar bisa tetap menafkahi keluarga.
Hingga muncul ide untuk merintis usaha konveksi di desa. Kenapa tidak, soal keahlian tak perlu ditanyakan.
Ia cukup berpengalaman memproduksi pakaian jadi. Beruntung ada pengusaha yang percaya dan mau bermitra dengannya.
Tinggal ia menyiapkan mesin produksi dan tenaga untuk menjahit bahan.
Poyo pun rela meminjam uang di Bank puluhan juta untuk membeli beberapa mesin jahit.
"Pertama mesinnya 6, terus nambah. Saya pinjam bank," katanya.
Siapa sangka, usahanya terus berkembang. Ia mendapat banyak orderan yang memaksanya meningkatkan kapasitas produksi. Poyo pun terus menambah mesin jahit hingga memperbanyak tenaga kerja.
Dari beberapa mesin jahit dan sejumlah pekerja, kini ia telah memerkerjakan 70 lebih karyawan dengan 60 an mesin produksi.
Ada yang bertugas menjahit bahan, mengobras, hingga buruh potong benang dan pengemasan (finishing).
Saat ini usahanya fokus memproduksi baju tidur (piyama) sesuai pesanan.
Setiap minggu, ia bisa mengirim ribuan pcs pakaian jadi ke pengusaha di Jakarta yang bermitra dengannya.
"Dulu saya orang sulit. Sekarang Alhamdulillah, rumah mobil ada," katanya.
Poyo bukan hanya berhasil menyejahterakan keluarga berkat usahanya.
Ia pun berhasil membuka lapangan pekerjaan bagi warga di sekitar tempat tinggalnya.
Penghasilan mereka bervariasi dengan sistem borongan.
Setiap minggu, sebagian karyawan di tempatnya bahkan bisa meraup Rp 800 ribu dari hasil pekerjaannya.
Dengan demikian, setiap bulan, penghasilan mereka sudah juah melebihi UMK Kabupaten Banjarnegara.
Usaha Poyo hanyalah satu di antara ratusan usaha konveksi yang menjamur di Desa Kebutuhduwur Pagedongan Banjarnegara.
Mereka kebanyakan hanya menyediakan jasa memproduksi pakaian jadi yang bermitra dengan pengusaha di Jakarta.
Dari usaha itu, ribuan tenaga kerja dari desa Kebutuhduwur dan sekitarnya berhasil terserap.
Warga bekerja di konveksi untuk memeroleh penghasilan pokok, atau alternatif di luar usaha pertanian.
Keberadaan ratusan konveksi itu pun menggeiatkan perekonomian desa.
Poyo mengatakan, sulit menemukan warga yang menganggur di desanya.
Rata-rata warga yang tak bekerja di sektor lain, terserap di konveksi.
"Yang merantau juga jarang. Karena penghasilannya sama saja di Jakarta dengan di sini," katanya.
Suhud satu di antara karyawan Poyo mengaku bersyukur, di usianya yang lanjut, ia masih diterima bekerja di bagian finishing sebagai buruh potong benang.
Pekerjaan ini menyelamatkan perekonomian keluarganya.
Terlebih, usaha pertanian salak yang ia tekuni selama ini sedang lesu karena harga hasil panen anjlok.
Selain pemuda maupun dewasa, ada sejumlah lansia rupanya yang juga terserap bekerja di konveksi.
"Saya hanya berdua di rumah, jadi cukup dari penghasilan ini," katanya.(*)
• Landcruiser Prado Terguling di di Jalan Tol dalam Kecelakaan Tunggal, Pengemudinya Mantan Pejabat
• Tim Debutan Liga Champions Ini Yakin Bertemu Barcelona di Final
• Hari Ini Emas Antam Melonjak Rp 12.000 dan Menjadi Rp 893.000 Per Gram
• Pemilik Warteg Dinyatakan Positif Corona, Pulang Ke Tegal Naik Travel