Puisi
10 Puisi Ajip Rosidi: Bayangan, Lagu Kerinduan hingga Pantai Laut Utara
kumpulan puisi Ajip Rosidi: Bayangan, Wayang, Lagu Kerinduan, hingga Pantai Laut Utara
Penulis: Awaliyah P | Editor: abduh imanulhaq
10 Puisi Ajip Rosidi: Bayangan, Lagu Kerinduan hingga Pantai Laut Utara
TRIBUNJATENG.COM - Sastrawan Ajip Rosidi meninggal dunia, Rabu, (29/7/2020) sekitar pukul 22.30 WIB.
Ajip Rosidi, suami aktris senior Nani Wijaya meninggal dunia pada usia 82 tahun.
Ajip Rosidi menghembuskan napas terakhir di RSUD Tidar Kota Magelang, Jawa Tengah.
Dilansir dari Kompas.com, Ajip Rosidi terjatuh saat berada di rumah anaknya di Pabelan, Mungkid, Kabupaten Magelang.
Sastrawan kelahiran Jatiwangi, Majalengka tersebut mengalami pendarahan di otak dan harus menjalani operasi.
Semasa hidup, Ajip Rosidi banyak menghasilkan puisi-puisi terkenal.
Berikut kumpulan puisi Ajip Rosidi:
1. Ingat Aku Dalam Doamu
Ingat aku dalam do'amu: di depan makam Ibrahim
akan dikabulkan Yang Maha Rahim
Hidupku di dunia ini, di alam akhir nanti
lindungi dengan rahmat, limpahi dengan kurnia Gusti
Ingat aku dalam do'amu: di depan makam Ibrahim
di dalam solatmu, dalam sadarmu, dalam mimpimu
Setiap tarikan nafasku, pun waktu menghembuskannya
jadilah berkah, semata limpahan rido Illahi
Ya Robbi!
Biarkan kasih-Mu mengalir abadi
Ingat aku dalam do'a-Mu
Ingat aku dalam firman-Mu
Ingat aku dalam diam-Mu
Ingat aku
Ingat
Amin
2. Hamlet
Yang was-was selalu, itulah aku
Yang gamang selalu, akulah itu
Ya Hamlet kusuka : Dialah gambaran jiwaku
Yang selalu was-was dalam ragu. Membiarkan kau
Mengembara dalam mimpi yang risau
Kutemukan pada Oliver, kegamangan falsafi
Dunia yang muram dan masa depan yang suram
Tapi kulihat kecerahan intelegensi
Seorang muda yang terlalu dekat kepada alam
Hamlet. Hamletku, ia datang kepadamu
Menatap fana atas segala yang kujamah: Tahu
Bahwa hidup melangkah atas ketidak pastian
Yang terkadang menentukan Kepastian
Aku pasrah
3. Lagu Kerinduan
wajahmu antara batang kelapa langsing
menebar senyum dan matamu menjadikan daku burung piaraan
semua hanya bayangan kerinduan: kau yang nun entah di mana
mengikuti setiap langkahku, biarpun ke mana
kujalani kelengangan hari
sepanjang pagar bayangan: wajahmu menanti
langkah kuhentikan dan kulihat
hanya senyummu memenuhi jagat
4. Dukaku yang Risau
berjalan, berjalan selagi di diri duka
bernapas lega menemu perempuan
kami berpandangan: lantas tahu
segalanya tinggal masa kenangan
kami berjalan memutar danau
namun kutahu: dukaku yang risau
takkan mendapatkan pelabuhan aman
kecuali dalam pelukan penghabisan
kupandang matanya:
tak kukenal siapa pun juga
didindingi kabut samar
5. Penyair
1
adapun penyair lahir
membangkitkan kematian para penyihir
lalu dengan mantra kata-kata
menjelmakan kehidupan manusia
menyanyikan kelahiran cinta
atau menangisi kematian bunda
melagukan kesia-siaan rindu, kau pun tahu
segala yang beralamat duka
2
siapa menjelajahi pagi
mendapat pertama sinar mentari
lagu kunyanyikan kini
akan dimengerti nanti
lagu kusajakkan kini
suara lubuk hati
yang selalu sunyi
semuanya nanar
6. Pantai Laut Utara
Menjelang Tengah Malam
Angin dingin naik ke puncak bukit
menyisir rambutmu yang meriap nakal
Dengan tanganmu lentik, kaususuri langit
Sia-sia mencari bintang yang kaukenal
Kepada langit khatulistiwa yang biru
Dahulu kaubisikkan madu cinta pertama
Dan angan-angan yang jauh, penuh rindu
akan negeri-negeri asing yang entah di mana
Tapi di sini langit kelam. Lautpun kelam
Hanya riak ungu yang kadang-kadang sejenak bersinar
Perlambang keajaiban yang dalam
dari takdir yang tak mungkin terhindar
Kausimakkan lampu-lampu kota, kapal yang bertolak
Memahatkan arti hakiki pertemuan ini
Dan dalam keheningan, telah kaumaklumi dengan bijak
Segala kata yang tak perlu kauucapkan lagi
7. Jarak
Berapa jauh jarak terentang
antara engkau dan aku
Berapa jauh terentang
antara engkau dengan urat leherku?
Tak pun sepatah kata
memisahkan kita
8. Wayang
Bayang-bayang yang digerakkan sang dalang
datang dan hilang, hanya jejaknya terkenang
9. Hanya Dalam Puisi
Dalam kereta api
Kubaca puisi: Willy dan Mayakowsky
Namun kata-katamu kudengar
Mengatasi derak-derik deresi
Kulempar pandang ke luar:
Sawah-sawah dan gunung-gunung
Lalu sajak-sajak tumbuh
Dari setiap bulir peluh
Para petani yang terbungkuk sejak pagi
Melalui hari-hari keras dan sunyi
Kutahu kau pun tahu:
Hidup terumbang-ambing antara langit dan bumi
Adam terlempar dari surga
Lalu kian kemari mencari Hawa.
Tidakkah telah menjadi takdir penyair
Mengetuk pintu demi pintu
Dan tak juga ditemuinya: Ragi hati
Yang tak mau
Menyerah pada situasi?
Dalam lembah menataplah wajahmu yang sabar
Dari lembah mengulurlah tanganmu yang gemetar
Dalam kereta api
Kubaca pusi: turihan-turihan hati
Yang dengan jari-jari besi sang Waktu
Menentukan langkah-langkah Takdir: Menjulur
Ke ruang mimpi yang kuatur
sia-sia.
Aku tahu.
Kau pun tahu. Dalam puisi
Semuanya jelas dan pasti.
1968
10. Bayangan
Bayanganmu terekam pada permukaan piring, pada dinding
Pada langit, awan, ah, ke mana pun aku berpaling:
Dan di atas atap rumah angin pun bangkit berdesir
Menyampaikan bisikmu dalam dunia penuh bisik.
Masihkah dinihari Januari yang renyai
Suatu tempat bagi tanganku membelai?
Telah habis segala kata namun tak terucapkan
Rindu yang berupa suatu kebenaran.
Bayangan, ah, bayanganmu yang menagih selalu
Tidakkah segalanya sudah kusumpahkan demi Waktu?
Tahun-tahun pun akan sepi berlalu, kutahu
Karena dunia resah 'kan diam membisu.
1967.
(iam/tribunjateng.com)