Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Opini

OPINI Bandung Mawardi : Mengenang Bergelimang Buku

Bangsa kita tidak menghargai buku dan Pemerintah RI sejak didirikan sampai sekarang tidak tahu akan pentingnya buku dalam meningkatkan kualitas manusi

Tribun Jateng
Bandung Mawardi 

Oleh Bandung Mawardi

Kuncen Bilik Literasi

Bangsa kita tidak menghargai buku dan Pemerintah RI sejak didirikan sampai sekarang tidak tahu akan pentingnya buku dalam meningkatkan kualitas manusia Indonesia, kecuali dalam pidato sambutan yang penuh slogan kosong dalam acara-acara yang bertalian dengan buku.

(Ajip Rosidi, 2003)

SELAMA puluhan tahun, Ajip Rosidi rajin menulis obituari. Ia menulis obituari dengan pengenalan tokoh dan pembacaan buku-buku. Obituari terasa khas bila almarhum memiliki kedekatan dalam sastra. Obituari, tulisan menghormati tokoh dan menata ingatan-ingatan.

Album obituari itu terbit menjadi buku berjudulMengenang Hidup Orang Lain(Kepustakaan Populer Gramedia, 2010). Di Indonesia, Ajip Rosidi terbukti mengena perasaan dalam penulisan obituari. Ia tercatat rajin mengerjakan obituari bersama Rosihan Anwar, memiliki kemiripan kecenderungan menghormati para tokoh dalam sastra dan sosial-kultural.

Tulisan-tulisan semula dimuat di pelbagai koran dan majalah. Penerbitan menjadi buku memunculkan kesan-kesan mengenali tokoh, peristiwa, dan tema berlaku pada masa lalu. “Mudah-mudahan dengan diterbitkan sebagai buku, tulisan-tulisan yang berserakan itu akan ada manfaatnya buat pembaca.”

Obituari kadang justru menjadi pengenalan bagi pemula saat ingin mengenali pengarang, pelukis, pendidik, politikus, dan lain-lain. Kini, kita menulis obituari untuk mengenang dan menghormati Ajip Rosidi telah berpamitan dari kita dan dunia: 29 Juli 2020.

Kita mulai mengenang Ajip Rosidi dalam Pekan Buku Indonesia (1954) di Jakarta. Acara perbukuan bersejarah itu teringat saat Ajip Rosidi masih remaja: “Saya menjadi salah seorang penjaga stand dalam pameran itu. Stand di sebelah saya dijaga oleh dua orang wanita kakak-beradik, Maimunah dan Nuraini Thamrin.

” Peristiwa itu ditulis dalam obituari untuk Pramoedya Ananta Toer. Babak pertemuan Pram-Maimunah. Ingatan tokoh tentu menguat pula ke buku-buku digubah Pram dan pilihan Ajip Rosidi memberi kesaksian hidup melalui buku-buku.

Sejak bocah, ia gandrung buku. Pada saat remaja, ia sudah memiliki buku diterbitkan Gunung Agung (1955) meski sering mengalami penolakan dari Balai Pustaka dan Pustaka Rakjat. Ia terlalu ingin menerbitkan buku memuat puisi dan cerita. Ajip Rosidi (1981) pernah meragu dengan masa lalu dan buku. Pada terbitan buku pertama, ia membaca lagi pada masa berbeda: menemukan sekian kelemahan. “Sehingga sekarang saya merasa heran, mengapa HB Jassin – yang menjadi redaktur Gunung Agung – dapat menyetujui naskah itu diterbitkan, mungkin karena simpati yang berlebihan saja,” tulis Ajip Rosidi.

Ajip Rosidi memilih hidup dengan mengarang. Keputusan terlalu berisiko menilik situasi Indonesia masa 1950-an. Ia berani sejak mula: “…hidup dari mengarang bukannya tidak mungkin. Tentu saja hal ini harus diartikan: hidup tanpa standar, menerima seadanya, asal tidak kelaparan.”

Ia tetap hidup setelah berani menikah pada usia muda. Sejak 1955, buku-buku terus terbit menghasilkan rezeki. Ajip Rosidi semakin insaf: “Bukan saja kebutuhan secara ekonomik (untuk mencari nafkah secara halal), melainkan juga rohani (untuk memberi kesaksian pribadi saya tentang hidup ini.” Kita mencatat bahwa buku itu “kesaksian tentang hidup”. Hidup pun bergelimang buku: membaca dan menulis.

Di khazah sastra (berbahasa) Indonesia dan Sunda, puluhan buku gubahan Ajip Rosidi menandakan gairah atau bara tak pernah padam. Ia menulis dan menulis, berlanjut menjadi penggerak penerbitan (Pustaka Jaya) dan memimpin Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia). Biografi sejak bocah berbuku dimulai dengan membeli buku ke toko buku, turut sebagai penjaga dalam pemeran buku, tulisan-tulisan terbit menjadi buku oleh Gunung Agung, dan bergerak terus sampai jauh. Pada masa tua, publik mengenali Ajip Rosidi adalah pemilik puluhan ribu buku. Ia berseru dokumentasi dan perpustakaan. Ia selalu bergelimang buku.

Pada saat berpredikat murid SR (Jatiwangi) keranjingan membaca buku, Ajip Rosidi adalah pembaca koran dan majalah. Sekian rubrik terbaca, tak lupa iklan. Ia membaca iklan buku diIndonesia Raya. Keinginan membeli dan memiliki buku berjudulSedjarah Umumsusunan M Hutahuruk. Peristiwa itu mengawali keberanian membeli buku melalui pemesanan dan pos wesel.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved