Opini
OPINI Bandung Mawardi : Mengenang Bergelimang Buku
Bangsa kita tidak menghargai buku dan Pemerintah RI sejak didirikan sampai sekarang tidak tahu akan pentingnya buku dalam meningkatkan kualitas manusi
Ada kebahagiaan sebagai pembeli buku. Ia berlanjut memesan buku ke penerbit-penerbit di Jakarta: Widjaja dan JB Wolter. Kita mencatat kesibukan Ajip Rosidi sebagai pembaca iklan-iklan buku di surat kabar.
Esai berjudul “Buku dalam Hidup Saya” dimuat dalamBukuku Kakiku(Gramedia Pustaka Utama, 2004) semakin membuktikan hidup “dari” buku dan hidup “demi” buku. Pada masa 1950-an, ia kondang sebagai pengarang di pelbagai majalah dan tampil di pergaulan sastra dengan buku. Ajip Rosidi sudah terhormat dan mulai tebar pengaruh. Misi hidup mungkin melulu buku. Di sastra, ia rajin menulis puisi, cerita pendek, esai, dan novel. Khazanah buku sastra Indonesia mendapat imbuhan melimpah dari Ajip Rosidi. Urusan jumlah ia mengalahkan ratusan pengarang di Indonesia, dari masa ke masa.
Honorarium dari ratusan tulisan dimuat di pelbagai majalah sering digunakan untuk membeli buku. Episode remaja hidup di Jakarta, Ajip Rosidi seperti bertaruh hidup-mati bersama buku. Ia memang “terlalu” dengan buku. Bosan dan merana di Jakarta, Ajip Rosidi memilih tinggal di Sumedang untuk menjadi pengarang (mungkin) absolut.
Tulisan-tulisan semakin sering dimuat dengan mendapatkan honorarium cukup besar. Duit itu dijanjikan habis untuk buku. pengakuan Ajip Rosidi: “Pada waktu itu hampir setiap minggu pergi ke Jakarta atau Bandung dan selalu singgah di toko buku untuk melihat-lihat kalau-kalau ada buku baru yang menarik. Dengan demikian, kalau pulang selalu dengan sejumlah buku menambah koleksi yang sudah ada.”
Ia sering membeli buku-buku sastra. Buku-buku juga diminati adalah sejarah, agama, filsafat, seni rupan, dan biografi. Keampuhan membeli, membaca, dan mengoleksi buku berakibat ia keranjingan menulis buku-buku sastra, kebahasaan, biografi, kamus, dan lain-lain. Sekian buku garapan Ajip Rosidi:Di Tengah Keluarga,Roro Mendut,Anak Tanah Air,Terkenang Topeng Cirebon,Nama dan Makna,Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia,Jante Arkidam,Puisi Indonesia Modern,Pelukis S Sudjojono,Mengenal Kesusastraan Sunda,Manusia Sunda,Sastra dan Budaya,Pelukis Affandi,Kamus Istilah Sastra Indonesia,Hidup Tanpa Ijazah,Yang Datang Telanjang, dan lain-lain.
Ia mengutamakan membeli buku-buku sastra. Ia pun berpihak dan bergairah menulis buku-buku sastra dipersembahkan ke publik, sejak masa 1950-an sampai abad XXI. Pengalaman menulis buku, mengurusi penerbitan buku, dan menggerakkan Ikapi mengesahkan Ajip Rosidi menulis artikel berjudul “Penerbitan Buku Bacaan dan Buku Sastra di Indonesia” dimuat diPrismaedisi April 1979.
Bekerja puluhan tahun di Jepang, Ajip Rosidi tetap berbelanja buku, tak jemu-jemu. Hidup memiliki misi kudus: membeli dan mengoleksi buku. Bepergian ke Eropa, ia tetap saja menukar duit dengan buku. Pada suatu masa, ia sungguh-sungguh mabuk buku. Pembelian di Jepang dan pelbagai negara mencapai belasan ribu judul. Buku-buku sudah termiliki di Jakarta mencapai 10.000 judul. Buku-buku itu memerlukan rumah. Perkara terbesar adalah mendirikan rumah untuk buku-buku. Ajip Rosidi memenuhi hak dan kemanjaan buku.
“Yang jelas, hidup saya sejak awal seperti tak bisa dipisahkan dari buku,” pengakuan terlugu dan terbuktikan. Hidup bersama buku-buku itu menggirangkan meski sadar seribu risiko. Pada saat menua, Ajip Rosidi mengerti: “… buku-buku koleksi saya itu takkan terbaca semua oleh saya sampai saya dipanggil Allah SWT. Umur saya takkan memberi kesempatan.” Waktu untuk membaca buku pun “diganggu” oleh pekerjaan-pekerjaan. Kini, ia pamitan dari kita, dunia, dan buku-buku. Kita menjanjikan terus membaca buku-buku meski tak “terlalu”. (*).
• FOKUS : Kaderisasi Pemimpin Lewat Pelapis
• Sinopsis Drakor The K2 Episode 7, Tayang di Trans TV Hari Ini Jam 09.30 WIB
• Tukang Ojek yang Menikam Rekannya hingga Tewas Itu Akhirnya Tertangkap