Berita Solo
Kisah Ngatimin Jadi Mata-mata Tentara Indonesia Sembunyi Berhari-hari Tidak Makan, Nasibnya Kini
Ngatimin terus memberikan informasi kepada komandan tentara Indonesia soal keberadaan tentara Belanda. Itu guna mendukung strategi
TRIBUNJATENG.COM, SOLO - Ingatan ayahnya ditembak mati tentara Belanda saat menggandeng dirinya dan sang adik masih terekam jelas dalam ingatannya.
Mereka saat itu tengah berlari di jalanan kampung halamannya, Desa Paulan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar untuk mencari tempat persembunyian.
Pasalnya, ayahnya tengah diburu tentara dan antek Belanda karena dianggap pejuang.
• Ribuan Pendaki Padati Pintu Masuk Jalur Pendakian Gunung Lawu, Kayak Antre Sembako
• Honda Resmi Pastikan Marc Marquez Masih Absen di MotoGP Styria 2020
• Hasil Liga Europa Tadi Malam: Manchester United Tersingkir di Semifinal
• Motor Terbang Nyaris Kena Kepala Valentino Rossi di MotoGP Austria 2020, Hampir Jadi Hari Terburuk
Ayahnya langsung tersungkur dan meninggalkannya dan sang adik sendirian di tengah jalanan kampung.
Begitulah memoar kematian sang ayah yang masih terpatri dalam ingatan Ngatimin Citro Wiyono (87), seorang pejuang.
Nadanya begitu emosional dan meninggi tatkala menceritakan kematian sang ayah saat Agresi Militer II tahun 1948.
Ayah Ngatimin muda dicap penjuang lantaran sering membantu membangun parit perangkap tank di jalan-jalan kampung.
Terlebih lagi, kediaman Ngatimin tak jauh dari pangkalan udara tentara belanda 'Panasan' atau yang kini dikenal dengan Landasan Udara (Lanud) Adi Soemarmo.
"Pada waktu itu pukul 24.00 WIB, ayahku ikut gotong royong membuat jebakan tank di jalan kampung. Dibikin lubang selebar dan sepanjang tank dengan kedalaman 1,5 meter," kata Ngatimin, Minggu (16/8/2020).
Antek-antek Belanda, lanjut Ngatimin, ikut serta dalam gotong royong itu sembari mendata orang yang terlibat.
Itupun langsung dilaporkan kepada tentara Belanda.
"Antek-antek Belanda menyamar pakai ikat merah putih ikut-ikutan di dalamnya," tuturnya.
Tentara Belanda mulai memburu para pejuang yang ada di kampung halaman Ngatimin muda dengan bekal data antek mereka.
Ayah Ngatimin, menjadi satu yang diburu dan berujung pada kematian.
Mayat-mayat warga bergelimpangan di jalanan kampung pada pukul 06.00 WIB.