Pilkada Serentak 2020
Soal Pilkada di Tengah Pandemi, Pengamat Politik Undip: Tanda Mana Lagi yang Didustakan
Dimana pilkada berpotensi menjadi klaster penyebaran wabah jika pesta demokrasi dipaksakan diadakan di saat tren penularan meningkat
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: muslimah
Soal Pilkada di Tengah Pandemi, Pengamat Politik Undip: Tanda Mana Lagi yang Didustakan
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Pengamat Politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wijayanto, menuturkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada Desember 2020 bisa menjadi bom atom penularan wabah virus corona Covid-19.
Dimana pilkada berpotensi menjadi klaster penyebaran wabah jika pesta demokrasi dipaksakan diadakan di saat tren penularan meningkat.
"Pilkada ini bisa menjadi skandal demokrasi bunuh diri massal yang dipelopori pemerintah dan elit politik," kata Wijayanto dalam diskusi virtual, Rabu (23/9/2020).
Ia membeberkan data survei nasional yang dilakukan SMRC dimana bahaya penularan covid saat pilkada berpotensi terjadi pada dua tahapan yakni masa kampanye dan hari pencoblosan.
• Detik-detik Pak Kades Kesurupan Setelah Dengar Wangsit Siliwangi, Kejar Penari Jaipong Ambil Keris
• Drama Politik Malaysia, Anwar Ibrahim Gulingkan Muhyiddin, Akan Jadi Perdana Menteri Baru Malaysia?
• Kisah Mbah Waryono Sampai ke Telinga Walikota Semarang, Hendi: Luar Biasa
• Update Virus Corona di Banyumas Rabu 23 September 2020 dan Persebaran di Tiap Kecamatan
Di hari pencoblosan ada satu titik kerumunan orang di tempat pemungutan suara (TPS). Per-TPS maksimal ada 500 pemilih. Total di Indonesia kisaran 304 ribu.
Sedangkan di Jateng dengan perhitungan daftar pemilih sementara (DPS) sebanyak 15.559.287, ada sebanyak 44.077 TPS.
Pengamat yang juga Direktur Center for Media and Democracy LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) ini menyatakan dengan bukti data empirik yang ada terkait peningkatan kasus corona, tidak ada alasan lagi pelaksanaan pilkada ditunda.
"Ini memaksakan pilkada di 2020. Dengan bukti empirik yang ada, tanda mana lagi yang didustakan. Setiap hari rekor (kasus) baru, grafik penularan corona terus naik," ujarnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan siap, ketua partai politik juga optimis dan yakin bisa mengendalikan massa di lapangan. Namun, kata dia, pernyataan itu harus dites dengan data empirik.
"Masalahnya, apakah masyarakat sudah siap, elite partai sudah siap. Hari ini menyatakan siap, tapi kejadian sebelumnya, deklarasi dengan konser seperti kejadian di Gorontalo. Apalah artinya teori dan asumsi kalau data yang berbicara," beber pria penyuka topi fedora ini.
Pelaksanaan pilkada, kata dia, tidak harus dilaksanakan ketika pandemi lenyap, paling tidak, dilaksanakan ketika tren kasus penularan menurun.
Saat kurva penularan menurun, bisa saja penyelenggara pilkada bisa menerapkan proses dan tahapan pilkada berbeda dengan sebelumnya.
Yakni dengan berbagai cara agar pelaksanaan aman dan menekan risiko sekecil mungkin.
Misalnya, dengan pelaksanaan e-voting, kalau perlu tidak ada kampanye konvensional sama sekali.
Lantaran kampanye di lapangan dengan model rapat umum berpotensi ada pelanggaran protokol kesehatan.
Pendekatan kampanye menggunakan teknologi untuk menyampaikan gagasan dan visi misi sebuah keniscayaan.
Semua kontestan dituntut untuk memaksimalkan teknologi untuk sosialisasi virtual menggunakan media online, media sosial, dan lain-lain.
Survei nasional SMRC pada Maret 2020, menemukan pengguna ponsel di Indonesia mencapai 79 persen, dan total itu mayoritas menggunakan ponsel pintar atau smartphone (73 persen) yang bisa digunakan untuk bisa mengakses berita sosial-politik.
"Mimpi saya, untuk melindungi kehidupan warga negara dan keselamatan rakyat, ada solidaritas antarkepala daerah yang sepakat meminta pemerintah menunda pilkada.
Apalah arti kemenangan jika nyawa rakyat dan nyawa sendiri jadi taruhannya," imbuhnya.(mam)