Berita Jateng

Telur Asin Brebes Ditetapkan Warisan Budaya Tak Benda, Ada Kisah Pilu Etnis Tionghoa di Dalamnya

Telur asin Brebes ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTb) Indonesia dalam sidang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada 6-9

Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: m nur huda
Tribun Kaltim
Resep telur asin pedas gurih yang mudah dan praktis membuatnya 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Telur asin Brebes ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTb) Indonesia dalam sidang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada 6-9 Oktober 2020 kemarin.

Siapa sangka dalam sejarah telur asin ada cerita pilu serta perjuangan warga etnis Tionghoa di Brebes.

Sejarawan Pantura, Wijanarto, menuturkan telur asin pertama dibuat tidak lepas dari sejarah panjang dan kelam di daerah Brebes dan Tegal.

Dulu, telur asin hanya bagian dari ritus ritual sembahyang yang ditujukan pada Dewa Bumi.

Bermula dari sesaji sejit dewa bumi, kemudian masyarakat Tionghoa menjadikan telur asin ini sebagai bagian dari kekuatan untuk bertahan hidup pada masa transisi pasca-Kemerdekaan.

Baca juga: Soal Kabar Intimidasi Ke Mahasiswa, Sekretaris DPRD Banyumas: Tak Ada Wakil Ketua Komisi Tingkat I

Baca juga: KSPI Nyatakan Tak Ikut Demo Hari Ini, Ada Apa? Ini Penjelasan Said Iqbal

Baca juga: UU Cipta Kerja, Mahfud MD Akui Jumlah Pesangon Buruh Hanya 25 Kali Tapi Ada Jaminan Hukum

Baca juga: Kisah Santri Cirebon Dirikan Perusahaan Dedy Jaya Group, Pernah Jadi Kondektur & Jualan Bambu

"Selepas revolusi, pada masa transisi periode 1945- 1949, terjadi dekolonisasi. Secara politik, masyarakat memiliki problem bidang ekonomi. Karut marut ekonomi terjadi akibat konflik minoritas terutama peranakan Tionghoa," kata Wijanarto ketika dihubungi Tribun Jateng, Selasa (20/10/2020).

Ia membeberkan, konflik politik di tiga daerah (Brebes, Kota Tegal, Kabupaten Tegal) disebut juga masa 'cocolan' yakni alat semacam bambu runcing untuk membunuh orang.

Peranakan Tionghoa banyak yang menjadi korban, ditangkap dan dibunuh, terutama di daerah Brebes kota dan Bumiayu (daerah Brebes bagian selatan).

Hingga akhirnya, beberapa dari mereka melarikan diri dari Brebes kota ke daerah Cirebon dan Indramayu. Sedangkan Tionghoa dari Bumiayu melarikan diri ke daerah Majenang Cilacap.

Beberapa yang bertahan harus bersembunyi dan bertahan hidup. Nah, telur asin dijadikan pangan untuk mereka bertahan hidup.

"Mereka memiliki keterampilan tradisional untuk mengawetkan makanan dengan cara diasinkan. Dengan diasinkan, makanan jadi bisa bertahan lama," beber pria yang juga Kepala Bidang Budaya Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Brebes ini.

Meskipun situasi kondusif, namun perekonomian belum pulih betul.
Saat itu telur asin mulai dikomersialkan dari satu warga peranakan Tionghoa dijual ke warga lain hingga saat ini.

Menurutnya, ada tiga aspek masa itu yang mempengaruhi adanya telur asin. Yakni filosofi gotong royong, teknologi pangan, dan pengetahuan tradisional masyarakat Tionghoa.

Peranakan Tionghoa selalu mengawetkan bahan makanan bila akan bepergian jauh sebagai bekal. Bukan hanya telur, jenis makanan lain juga diasinkan agar awet.

"Telur asin ini merupakan simbol dari resistensi ekonomi luar biasa. Dipakai untuk bertahan hidup. Setelah itu, baru diperkenalkan ke keluarga, perluasan jaringan, perkembangan itu menjadikan telur asin komersial. Sejarah ini hampir persis wingko babat," terangnya.

Beberapa makanan lain yang merupakan tinggalan pengetahuan tradisional etnis Tionghoa yakni tauco di Tegal dan Brebes.(mam)

Sumber: Tribun Jateng
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved