Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Pria Ini Merasa Tertipu, Rumah yang Dibeli Ternyata Dibangun di Atas Ruang Terbuka Hijau

Nasib apes dialami Valden Van Houten Sipahutar usai membeli sebuah rumah di Perumahan Gombel Elok Raya, Kota Semarang.

Penulis: m zaenal arifin | Editor: sujarwo
Tribun Jateng/M Zainal Arifin
Walden Van Houten Sipahutar (kiri) didampingi kuasa hukumnya, Febrian Prima (tengah), menjelaskan kasus yang dialaminya, Senin (30/11/2020). 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Nasib apes dialami Valden Van Houten Sipahutar usai membeli sebuah rumah di Perumahan Gombel Elok Raya, Kota Semarang.

Tanah dan rumah yang dibelinya ternyata kawasan ruang terbuka hijau (RTH) yang seharusnya tak boleh ada bangunan apapun.

Karena merasa tertipu, Walden melaporkan penjual rumah ke Polda Jawa Tengah.

Laporan telah disampaikan pada 23 November kemarin.

"Untuk pidana penipuan, sudah kami laporkan ke Polda Jawa Tengah," kata Walden, didampingi kuasa hukumnya dari Law Office Hendra Wijaya dan Partners yang beralamat di Jl Erlangga Raya No 41C, Semarang, Febrian Prima, Senin (30/11/2020).

Walden menceritakan, rumah seluas 96 meter persegi yang dimaksud dibelinya pada 2018 lalu.

Dari harga Rp 600 juta ditawarkan, akhirnya disepakati harga Rp 450 juta.

Saat itu, Walden memberikan uang muka sebesar Rp 270 juta yang diberikan dua tahap yaitu Rp 90 juta dan Rp 180 juta.

"Saat menyerahkan uang muka kedua itu, saya sempat ingin membatalkan pembelian rumah itu.

Tapi penjual meyakinkan kalau rumahnya tak ada masalah apapun," tuturnya.

Setelah percaya, Walden kemudian menyerahkan uang muka keduanya.

Sisanya kemudian dicicil selama 3 tahun kepada penjual.

Setiap bulan, Walden membayar menggunakan cek dari dua bank milik pemerintah.

"Awalnya tidak ada masalah, cicilan saya lancar.

Namun pada 2019, saya akan merehab rumah.

Saat itu saya mengajukan IMB dan perubahan KRK namun tidak bisa karena lokasi rumah merupakan kawasan hijau dan diperuntukkan bagi RTH," jelasnya.

Untuk meyakinkan diri, ia kemudian meminta keterangan pada Dinas Penataan Ruang (Distaru) Kota Semarang.

Walden mendapat jawaban bahwa rumah yang dimaksud berada di bawah saluran Sutet dan di atas kawasan hijau.

"Saya mencoba menghubungi penjual tapi selalu menghindar.

Sehingga saya putuskan untuk melaporkan ke Polda," ucapnya.

Kuasa hukum Walden dari Law Office Hendra Wijaya dan Partners, Febrian Prima mengungkapkan, selain menempuh upaya pidana, juga berupaya menempuh upaya perdata agar kerugian kliennya bisa dikembalikan.

Diketahui, pembayaran rumah sudah 21 kali dan masih kurang 15 kali.

Namun, dari pembayaran menggunakan cek yang dilakukan, diketahui ada beberapa cek yang belum dicairkan.

"Karena tak ingin disalahgunakan, kami mencoba memblokir cek yang belum dicairkan.

Namun dari bank menolak dengan alasan melindungi nasabah.

Blokir bisa dilakukan kalau cek rusak atau hilang," tambahnya.

Kekecewaan semakin bertambah usai mendengarkan saran dari pihak bank.

Walden sebagai pelapor diminta membuat keterangan cek hilang atau rusak agar bisa diblokir.

Padahal faktanya, cek yang akan diblokir masih ada.

"Seolah orang bank ingin menjebak klien saya.

Jika sarannya dijalankan, bisa jadi klien saya justru dilaporkan penipuan karena memberikan cek kosong," herannya.

Febrian mempertanyakan upaya perlindungan konsumen yang dilakukan pihak bank.

Pasalnya, tidak ada antisipasi hukum ketika ada nasabahnya yang terindikasi jadi korban penipuan.

Karena saran yang justru menjerumuskan kliennya itu, Febrian akan mengadukan pihak bank ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ombudsman.

Selain itu, ia juga berencana mengadu ke DPRD Kota Semarang dan Jawa Tengah. (Nal) 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved