Berita Blora
Kisah Momentum Saat Leluhur Sikep Samin Bertemu Soekarno
Seumlah warga di Dukuh Karangpace, Klopoduwur, Banjarejo, Blora masih memegang teguh ajaran leluhur berupa laku Sikep atau sering disebut Samin
Penulis: Rifqi Gozali | Editor: m nur huda
TRIBUNJATENG.COM, BLORA - Seumlah warga di Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Blora masih memegang teguh ajaran leluhur berupa laku Sikep atau sering disebut Samin.
Ajaran ini secara keseluruhan adalah ajaran kebaikan kepada sesama dan harmonisasi terhadap alam.
Pendopo yang berdiri megah seolah menyambut siapa saja yang datang ke kampung Karangpace.
Siapa saja yang datang pasti akan disambutnya dengan gembira dan ramah.
Baca juga: KH Syaroni Khotib Sholat Jumat Meninggal Saat Salat di Masjid Gresik, Tak Ada Tanda Sakit
Baca juga: Puluhan Ibu Muda di Semarang Kena Tipu Arisan Online, Rugi Hingga Ratusan Juta
Baca juga: Asrama Haji Donohudan Mulai Digunakan Tempat Isolasi Pasien Covid-19 Terpusat di Solo Raya
Baca juga: Kecelakaan di Salatiga Truk Vs Pickup, Relawan Penyeberang Jalan Jadi Korban
Terutama oleh sesepuh Sikep setempat, Mbah Lasiyo. Di sekitarnya berdiri rumah-rumah kayu yang menjadi tempat tinggal sejumlah penganut Sikep.
Kampung yang letaknya persis di samping hutan kini hanya tersisa sekitar 16 warga yang masih setia menjalani ajaran Sikep.
“Seger waras,” begitu Mbah Lasiyo biasa menyapa setiap tamu yang datang.
Mata pencaharian para penganut Sikep adalah bertani atau beternak. Hal inilah yang kemudian menjadikan mereka untuk selalu selaras dengan alam, karena bagi mereka alam adalah kehidupan.
Ajaran ini hanya mengandalkan laku batin. Jadi, secara tertulis tidak ada aturan tertentu bagi penganutnya.
Hanya saja, para penganut Sikep ini sudah mafhum bahwa Sedulur Sikep memiliki Panca Sesanti Sikep Samin berupa seduluran atau persudaraan sesama manusia.
"Semua manusia itu saudara. Saudara dari Bopo Adam dan Ibu Hawa," ujar Mbah Lasiyo saat ditemui di kediamannya.
Kemudian sesanti selanjutnya yakni ora seneng memungsuhan atau tidak mau bermusuhan.
Sebab, hal ini dinilai merugikan antarkedua pihak yang saling bemusuhan.
“Aja tukar padu (jangan saling berantem),” begitu Mbah Lasiyo mengartikan sesanti tersebut.
Ora seneng rewang kang dudu sak mestine merupakan sesanti selanjutnya. Bagi Mbah Lasiyo, Sedulur Sike haruslah bersikap objektif.
“Orang salah tidak boleh dibela, kalau salah ya salah,” begitu jelas Mbah Lasiyo.
Sesanti berikutnya adalah ora ngrenah liyan atau tidak memfitnah sesama dan eling sing kuwasa mengingat Tuhan yang memberi segala.
Bentuk dari mengingat Tuhan direpresentasikan oleh Sedulur Sikep dalam kehidupan sehari-hari.
Hanya saja di Kampung Karangpace ada ritus khusus setiap malam Selasa Kliwon.
Kata Mbah Lasiyo, saat itulah momentum bagi Sedulur Sikep berkumpul dan sekadar menjalin kehangatan persaudaraan.
Menginjak pukul 00.00 menjadi kesempatan bagi mereka untuk berdoa kepada Tuhan.
“Jam 12 malam berdoa. Gitu saja. Kita kan hanya bisa meminta. Meminta seger waras atau bagaimana,” ucapnya.
Sedianya ritus doa yang mereka lakukan itu tidak terpaku atas tempat.
Namun mereka percaya di sebuah perempatan jalan hutan yang tidak jauh dari kampung, di situlah dulu leluhur Sikep mereka Mbah Suro Engkrek bertemu Presiden Soekarno.
Kini perempatan tersebut acap kali jadi tempat untuk sekadar bersemedi atau memanjatkan keinginan.
Tepat di tengah perempatan terdapat sebuah tugu sebagai penanda.
Di sampingnya terdapat bangunan yang, kata Mbah Lasiyo, sebagai tempat semedi bagi mereka yang sedang menghadapi masalah hidup.
“Dulu di perempatan itu Mbah Suro Engkrek bertemu dengan Soekarno. Di situ beliau saling tukar kaweruh,” katanya.
Kepercayaan terjadinya pertemuan kedua tokoh tersebut masih melekat di masing-masing ingatan penganut Sikep Karangpace. Kesempatan pertemuan itu, diceritakan Mbah Lasiyo, menjadi ajang bagi Mbah Suro Engkrek untuk menitipkan pesan pada Soekarno.
“Kowe dadio Presiden sak umur bayem (Kamu (Soekarno) jadilah presiden seumur bayam),” kata Mbah Lasiyo menirukan pesan Mbah Suro Engkrek pada Soekarno.
Isyarat seumur bayam inilah yang masih menjadi teka-teki. Mbah Lasiyo sebagai sesepuh pun tidak mau berasumsi.
“Saya tidak tahu pastinya apa maksud seumur bayam,” ujar Mbah Lasiyo.
Memang secara historis Sedulur Sikep tecatat sebagai satu di antara kelompok yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Di sinilah benang merah antara Sikep dengan Soekarno.
Dari ajaran yang diturunkan oleh Mbah Suro Engkrek, ujar Lasiyo, perlawanan yang dilakukan terhadap kolonial dengan mengguakan bahasa.
“Misal ditanya (kolonial) mau ke mana? Jawabnya mau ke depan. Mau ditarik duit pajak ya tidak mau. Soale tidak bisa buat duit,” kata Mbah Lasiyo.(*)
TONTON JUGA DAN SUBSCRIBE :