PPKM Jawa-Bali Berdampak Negatif pada Perekonomian, Apindo: UKM bakal Tumbang
dampak ekonomi dari PPKM diyakini sangat besar, karena aktivitas ekonomi dibatasi secara ketat.
JAKARTA, TRIBUN - Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di beberapa wilayah Jawa dan Bali diperkirakan bakal berdampak negatif pada perekonomian, terutama aktivitas para pelaku usaha.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Agung Pambudi. Menurut dia, dampak ekonomi dari PPKM tentu besar, karena aktivitas ekonomi dibatasi secara ketat.
"Secara umum lintas sektor, penurunan pendapatan sudah pasti, bagi perusahaan skala kecil akan banyak yang tumbang. Sementara, yang skala menengah juga potensial di ambang bangkrut," ujarnya, melalui pesan WhatsApp kepada Tribunnews, Jumat (8/1).
Selain itu, Agung menuturkan, untuk pelaku usaha skala besar kemungkinan masih dapat bertahan di tengah pembatasan kegiatan.
"Hanya sekadar bertahan. Namun, pasti berimplikasi ke tenaga kerja, pekerja non-permanen tidak diperpanjang kontraknya, pekerja tetap akan banyak dirumahkan dan menerima penghasilan tidak penuh," katanya.
Dengan kondisi itu, Agung menyatakan, dunia usaha mengharapkan pemerintah konsisten dalam menerapkan pembatasan kegiatan terhadap masyarakat luas dengan 3M atau mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak yang selama ini sangat longgar.
"Padahal, pengawasan di perusahaan sudah ketat. Namun, tidak bisa optimal jika tetap berpotensi terpapar di luar lingkungan perusahaan yang tidak dalam kontrol manajemen," tukasnya.
Adapun, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) juga meminta pemerintah agar konsisten mengevaluasi PPKM ketat di Jawa dan Bali, agar tidak mematikan industri itu, dan pelaku usaha di dalamnya.
Ketua Umum Aprindo, Roy N Mandey mengatakan, pelaku usaha dipastikan siap mendukung kebijakan pemerintah mencegah gelombang kedua kasus covid-19. Tetapi jangan sampai kebijakan itu justru mematikan para pelaku usaha.
”Pemerintah juga semestinya membuat kebijakan yang tidak sampai kembali menggerus dan mematikan pelaku usaha ritel, supplier dan UMKM yang menitipkan dan menjualkan produknya melalui gerai-gerai ritel dan mal. Selama ini, peritel dan mal bukan klaster penyebaran covid-19,” tuturnya, dalam keterangan, Jumat (8/1).
Bukan klaster
Dia beralasan, mal dan ritel bukan klaster pandemi, karena volume pengunjung masih sangat terbatas selama pandemi, serta protokol kesehatan dijalankan secara konsisten.
Roy mengungkapkan, peritel modern dan mal selama ini berperan menyediakan kebutuhan pokok dan sehari-hari masyarakat.
”Kedisiplinan seluruh lapisan masyarakat perlu ditingkatkan tanpa kecuali dan kompromi siapa pun juga, di berbagai daerah khususnya wilayah Jawa-Bali,” tandasnya.
Dengan pembatasan ketat di beberapa daerah, ia berujar, bantuan langsung tunai (BLT) bagi masyarakat golongan ekomomi lemah dapat dijalankan segera, tepat waktu, konsisten, dan didukung dengan data yang sangat akurat kepada masyarakat penerima. Hal itu dinilai perlu untuk dapat meningkatkan daya beli masyarakat.