Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Rumah Sakit Telogorejo Bersedia Melakukan Mediasi Atas Meninggalnya Samuel Reven

Rumah Sakit Telogorejo akan lakukan mediasi terhadap keluarga pasiennya Samuel Reven (26) yang meninggal.

Penulis: rahdyan trijoko pamungkas | Editor: sujarwo
TRIBUN JATENG/RAHDYAN TRIJOKO PAMUNGKAS
Manajemen Rumah Sakit SMC Telogorejo memberikan keterangan pers pada awak media terkait meninggalnya Samuel. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Rumah Sakit Telogorejo akan melakukan mediasi terhadap keluarga pasiennya Samuel Reven (26) yang meninggal diduga akibat malapraktik pada 3 November 2020.

Perkara ini berawal Samuel Reven meninggal tanpa dihadiri keluarga di ruang isolasi Covid-19.

Ibu Samuel Reven, Erni Marsaulina, menuturkan awal mulanya Samuel mengunjungi adiknya yang sedang menjalani Pendidikan di Akademi Militer pada 27 Oktober.

Kemudian adiknya diajak berlibur ke Semarang.

"Kondisi kesehatan tidak mengalami masalah. Kondisi fisiknya bagus. Di Semarang kami hanya tinggal di hotel saja," ujarnya, Rabu (27/1/2021).

Kemudian hari berikutnya, kata dia, Samuel mengeluhkan asam lambungnya naik.

Karena bukan orang Semarang, dia mencari rumah sakit dan ditemukanlah SMC RS Telogorejo.

"Saya melihat rumah sakit ini besar dan saya masukkan ke Intalasi Gawat Darurat (IGD) karena mengeluh sakit asam lambung pada 28 Oktober," ujar dia.

Karena dirasa badan Samuel sudah enak, kata dia, dokter IGD memperbolehkan pulang.

Namun keesokan harinya  Samuel kembali merasakan tidak enak badan.

"Saya ajak lagi untuk periksa dan saya mencari dokter spesialis penyakit dalam,"tutur dia.

Menurut dia, saat masuk ke polis spesialis, dokter memerintahkan untuk dilakukan perawatan dan segera masuk ke HCU.

Saat itu anaknya tersebut dibawa ke IGD untuk dilakukan pemeriksaan dan pemasangan infus.

"Setelah di IGD dari pukul 19.00 hingga pukul 22.00 tidak langsung mendapatkan kamar. Saya pun tidak boleh masuk ke IGD dan menunggu di luar,"tuturnya.

Dia mencoba menanyakan kamar perawat IGD.

Namun dia disarankan untuk ke bagian pendaftaran. 

"Saya tanyakan mana kamarnya. Kalau tidak saya pindah rumah sakit," tuturnya.

Dia katakan, anaknya itu dilakukan screening dan keluar hasilnya reaktif.

Dirinya menanyakan hal tersebut ke dokter IGD.

"Dokter itu bilang karena Samuel ada infeksi. Mungkin infeksinya yang reaktif. Ditunjukkan hasil paru-parunya dan  thoraxnya (Rontgen). Saya tunggu juga sampai pukul 23.00. Saya marah-marah dan minta pindah,"ujar dia.

Tidak berselang lama, menurutnya, petugas bagian pendaftaran datang dan meminta untuk menandatangani berkas.

Hal tersebut dimaksudkan agar anaknya cepat mendapat kamar perawatan.

"Saya tanya apa ini. Katanya yang bayar Menteri Kesehatan (Menkes). Saya jawab ngapain pakai Menkes bayar pribadi bisa. Katanya biar cepat dapat kamar," jelasnya.

Kata dia, perawat meminta untuk mendatangani berkas itu dan meminta memberikan kartu keluarga (KK).

Hal itu membuatnya semakin bertanya-tanya.

"Kartu keluarga itu katanya agar biayanya dicover oleh Menkes. Saya pusing dan kasihan dengan anak akhirnya saya tanda tangan dan langsung dapat kamar serta masuk di ruang isolasi," kata dia.

Baginya hal itu tidak senada dengan dokter perintah dokter spesialis yang meminta ke ruang HCU.

Namun hal itu disangkal oleh perawat bahwa sebelum masuk ke HCU harus ke ruang isolasi terlebih dahulu.

"Karena sudah pukul 23.30 saya tidak masalah. Tapi saya tanya swabnya kapan dan dijawab keesokan paginya. Tapi saya minta swabnya bayar. Karena kalau gratis hasilnya keluarnya lamanya minta ampun,"jelasnya.

Erni tidak tahu bagaimana di dalam kamar isolasi itu dan tidak diberi informasi.

Setelah tahu anaknya telah di ruang isolasi dirinya langsung pulang untuk mengambil baju.

"Saat mau pulang saya selalu diingatkan untuk membawa kartu keluarga. Saya jawab bukan orang Semarang tapi saya diminta untuk membawa kartu keluarga," tuturnya.

Lanjutnya, anaknya diswab keesokan harinya.

Namun dia tidak tahu di mana dilakukan pengetesan swab tersebut.

"Seni pagi kembali ke rumah sakit dan bertanya ke dokter ditunjukkan thoraxnya bersih tidak ada Covid dan hasil swabnya negatif,"ujarnya.

Meski hasil swab pertama negatif, anaknya tidak boleh pulang dan harus melakukan swab kedua. 

Anaknya menghubungi meminta untuk dibawakan air mineral dan susu kaleng.

"Anak saya hubungi saya katanya suster di sini brengsek semua. Tidak bisa bantu saya membalikkan badan dan tidak mau peduli. Besoknya saya datang membawakan permintaan anak saya," ujar dia.

Kemudian anaknya telepon memberitahukan telah menerima pesanannya.

Namun 15 menit, kemudian perawat menghubunginya dan  memberitahukan bahwa anaknya kritis.

"Hah kritis barusan anak saya telepon. Saya saat itu sudah di hotel dan lari ke rumah sakit,"ujarnya.

Sesampainya di Telogorejo, Erni tidak boleh masuk menemui anaknya.

Dia diminta duduk di ruang tunggu.

"Ibu duduk di ruang tunggu dan sekarang lagi ditangani. Kemudian saya tanya dokter tidak boleh menemui karena ada dokter jaganya,"ujar dia.

Pihaknya menghubungi dokter jaga dan katanya sedang dibawa ke ICU.

Namun 15 menit kemudian dokter itu mengatakan bahwa Samuel telah tiada.

"Mendengar kabar itu saya seperti disamber geledek. Terus saya tanya anak saya bagaimana disuruh masuk," imbuhnya.

Dia semakin geram karena di awal tidak boleh masuk dan jika akan masuk harus mengenakan alat pelindung diri (APD).

Namun setelah meninggal boleh masuk tanpa mengenal APD.

"Saya langsung masuk tanpa APD, karena mereka (pihak rumah sakit) tidak menyarankan mengenakan APD.  Saya mendapat surat keterangan penyakit tidak menular,"paparnya.

Ia menuturkan anaknya meninggal pada 3 November dini hari.

Anaknya diminta dibawa ke kamar jenazah dan hari itu juga dibawa ke Jakarta.

"Anak saya masuk pada 30 Oktober, empat hari berselang meninggal dunia. Empat hari kami tidak bisa melihat bagaimana pengobatannya,"ujar dia.

Kuasa hukum keluarga pasien, Artha Uli mengatakan dari dua kali pertemuan dengan rumah sakit selalu ditawari agar diselesaikan secara kekeluargaan namun belum tahu apa wujudnya.

Pada perkara ini keluarga sebenarnya minta kejelasan penyakit apa yang sebenarnya dialami pasien

"Damai seperti apa? Tidak pernah diberitahu. Akhirnya kami buat somasi dengan dugaan malapraktik. Dijawab dengan tetap diselesaikan secara damai,"ujar dia.

Pada akhirnya, dia bersama keluarga korban melakukan pengaduan ke Polda Jawa Tengah.

Kemudian diarahkan ke Direktorat Kriminal Khusus Polda Jateng.

Aduan itu sudah tercatat dengan nomor register STPA/46/I/2021/Reskrimsus tertanggal 25 Januari 2021. 

Pihak keluarga masih terbuka jika pihak rumah sakit kembali ingin bertemu. 

Dia bersama keluarga korban menginginkan kejelasan soal anaknya dan berharap kejadian yang menimpa Samuel tidak terulang. 

"Semoga ini tidak sampai terulang ke orang lain," katanya. 

Terpisah, Direktur Pemasaran SMC RS Telogorejo yang juga membawahi humas, dr. Gracia Rutyana H  menuturkan setiap pasien yang datang ke rumah sakitnya ditangani sebaik-baiknya sesuai prosedur dan standar medis. 

"Namun setiap usaha kami ada kalanya Tuhan berkehendak lain. Setiap usaha kami meski sudah memberikan yang terbaik kadang-kadang tidak sesuai harapan," jelasnya.

Menurutnya, seluruh proses medis dan kronologis telah disampaikan ke pihak keluarga Samuel secara proposional dan sesuai standar organisasi profesi.

Pihaknya bersedia melakukan mediasi dengan keluarga bersama organisasi profesi dan instansi terkait. 

"Demikian jawaban kami. Saya harap ke depannya bisa membuahkan yang terbaik juga," tuturnya.

Ia menuturkan pihak Telogorejo terbuka untuk melakukan mediasi.

Namun masih ada proses-proses yang harus dilalui.

"Mediasi ini akan diputuskan oleh pihak manajemen," jelasnya. (rtp)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved