Berita Internasional
Presiden Rusia Vladimir Putin Disebut Takut Dibunuh seperti Diktator Libya Muammar Khadafi
Vladimir Putin, Presiden Rusia, disebut takut dirinya tewas dibunuh seperti diktator Libya, Muammar Gaddafi.
TRIBUNJATENG.COM, MOSKWA - Vladimir Putin, Presiden Rusia, disebut takut dirinya tewas dibunuh seperti diktator Libya, Muammar Khadafi.
Hal itu disampaikan pakar merespons aksi protes yang berkembang, buntut penahanan figur oposisi Alexei Navalny.
Salah satu tokoh oposisi, Yuri Felshtinsky, berujar, unjuk rasa yang terjadi meyakinkan sang presiden untuk makin keras melakukan penindakan.
• Emosi Diklakson saat Putar Balik Sembarangan, Wanita Ini Sumpahi Pengendara Lain Kena Covid-19
• Ibu Guru Tak Sengaja Naik Mobil Berisi Kawanan Penjahat saat Hendak Berangkat Kerja, Begini Jadinya
• Gading Tak Sengaja Upload Jadwal & Tarif Raffi Ahmad, Andhika Pratama Langsung Minta Naik Harga
• Satpam Magelang Doakan Polisi Tertabrak Truk Akhirnya Minta Maaf: Saya Hanya Iseng-iseng Saja
Selama lebih dari dua dekade kepemimpinannya, Putin akhirnya menghadapi tantangan berat saat unjuk rasa pecah di Rusia.
Aksi protes itu muncul setelah Kremlin memutuskan menahan Navalny, yang pada tahun lalu sempat koma terkena racun saraf Novichok.
Presiden berusia 68 tahun itu disebut sudah menandatangani undang-undang, yang membuat dia berkuasa hingga 2036.
Kepada The Sun, Felshtinsky mengatakan Putin perlu bertindak brutal demi mengenyahkan pembangkang dan melindungi posisinya.
Disebutkan, si presiden "menonton dengans saksama" video saat Muammar Gaddafi dibunuh secara brutal oleh massa pada 2011.
Felshtinsky sepakat jika mantan perdana menteri Rusia itu sampai kehilangan kekuasaan, maka nasibnya bakal berakhir seperti diktator Libya.
"Dia tahu benar jika pakai sistem normal, pemerintahannya bakal kolaps.
Dia bukanlah sosok idealis," papar Felshtinsky.
Dilansir The Sun Kamis (4/2/2021), dia menjelaskan pemimpin Rusia sejak 1999 itu takkan selamat kecuali terus menekan oposisi.
"Pelajaran yang Putin ambil dari perkembangan terbaru adalah dia harus menindas sekeras mungkin. Itulah yang akan kita lihat," jelasnya.
Adapun Felshtinsky merupakan sejarawan sekaligus penulis The Age of Assassins: Putin’s Poisonous War on Democracy in Russia.
Dia membantu pembangkang Rusia, Alexander Litvinenko, mengungsi ke Inggris, yang kemudian dibunuh oleh terduga agen rahasia Kremlin.