Berita Feature
Perapal Kisah Para Nabi itu Bernama Yanuri: Saya Yakin Sukma Bapak Hadir saat Saya Ngentrung
“Dulu waktu bapak tampil saat saya mendengar suara bapak, saya nangis. Berarti kelak saya harus bisa ngentrung,” kata dia.
Penulis: Rifqi Gozali | Editor: muslimah
TRIBUNJATENG.COM, BLORA – Matanya terpejam. Mulutnya merapalkan kisah nan melodius. Tangan kirinya memegang terbang berdiameter 40 sentimeter yang berdiri berlandaskan paha kiri, sedangkan tangan kanannya menabuh terbang menyesuaikan ritme kisah yang dilantunkan. Di depannya terdapat dua terbang lain yang diameternya lebih kecil.
Begitulah sosok Yanuri Sutrisno saat bermain kentrung. Lelaki yang sehari-hari tinggal di rumah berdinding kayu beralaskan tanah di Desa Sendanggayam RT 5 RW 1, Kecamatan Banjarejo, Blora itu menganggap kentrung tidak sekadar kesenian. Namun, kentrung adalah satu kesatuan yang telah menjadi darah dan daging dalam dirinya.
Kemahiran lelaki kelahiran 1963 dalam bermain kentrung diwarisi dari ayahnya, Sutrisno, yang juga sebagai seniman kentrung. Mendiang ayahnya yang berasal dari Mintreng, sekarang masuk wilayah Kebonagung Demak, sudah pandai kentrung sejak belia. Dari kisah yang didapat Yanuri, ayahnya adalah seorang santri dari kiai di Kalituri Demak. Sejak saat berguru, selain mengaji ayahnya juga diajari kesenian kentrung.
Yanuri sendiri mulai aktif bermain kentrung setelah ayahnya wafat pada 2003, meskipun sebelumnya dia sudah mahir kentrung hanya karena senantiasa mendengarkan sang ayah saat tampil.
“Bapak Sutrisno, meninggal pada 2003, setelah itu saya baru meneruskan,” ujar Yanuri saat ditemui di kediamannya, Rabu (7/4/2021).
Mendengar dan mengamati sang ayah saat bermain kentrung adalah cara Yanuri belajar kesenian tersebut. Dulu, setiap mendiang ayahnya tampil, Yanuri acap kali menemani. Lantunan kisah yang didendangkan sang ayah diiringi tabuhan terbang tidak jarang membuat Yanuri menitikan air mata.
“Dulu waktu bapak tampil saat saya mendengar suara bapak, saya nangis. Berarti kelak saya harus bisa ngentrung,” kata dia.
Lebih dari sekadar mewarisi kemahiran ayahnya, Yanuri rupanya telah dipilih ayahnya agar setelah meninggal dialah yang mewarisi kesenian tradisional yang sarat akan nilai luhur.
“Bapak pernah berpesan, kelak kamu ngentrung. Nek ngentrung saya tunggui di belakangmu. Saya yakin, saat saya ngentrung sukma bapak hadir di belakang saya,” ujar dia.
Perapal Kisah Para Nabi
Dalam sekali ngentrung, Yanuri bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Biasanya dia memulainya sekitar pukul 20.30 WIB dan baru berakhir pada pukul 03.30 WIB.
“Setiap satu jam sekali tetap istirahat. Minum dulu. Rahasia kuat sampai pagi sudah diajari bapak. Ada doanya sebelumnya,” kata dia.
Kisah-kisah yang dirapalkan saat Yanuri bermain kentrung bersumber dari Serat Ambiya atau Tapel Adam. Serat tersebut merupakan karya Yasadipura II atau juga dikenal R. T. Ronggawarsita I atau R. T. Sastranegara. Karya tersebut, menurut Nancy K. Florida, adalah buku berisi kisah para nabi atau sejarah tebal yang tergolong sejarah sakral Islam. Karya itu berisi tentang penciptaan semesta sampai dengan kisah-kisah nabi.
Semula Yanuri memiliki salinan Serat Ambiya warisan ayahnya. Namun kini telah tiada setelah dipinjam oleh kiai setempat, dan kemudian dipinjamkan lagi ke orang lain. Bagi Yanuri tidak ada masalah, karena dia sendiri telah hafal kandungan kisah di dalam serat tersebut.
“Saya sudah pernah berusaha mencari (salinan Serat Ambiya), tapi tidak ketemu,” kata Yanuri.
Dari kisah-kisah nabi, kisah kelahiran Nabi Ibrahim adalah kisah yang paling sering dilantunkan Yanuri. Bukan tanpa alasan, seringkali Yanuri tampil atas undangan syukuran atau hajatan yang memang pemilik hajat menginginkan kisah itu yang disampaikan.
“Kelahiran Nabi Ibrahim itu biasanya juga diminta saat syukuran kelahiran anak,” kata dia.
Kini, saat pandemi, Yanuri mulai jarang diundang. Sebelumnya, dalam sebulan dia bisa tampil 10 kali. Bahkan sesekali juga diundang di sejumlah perguruan tinggi di Solo, Yogya, atau Semarang untuk sekadar tampil barang satu atau dua jam.
"Musim penyakit seperti saat ini kalau diundang paling selesai jam 11.00 WIB. Tidak sampai pagi. Sebulan pun paling banyak lima kali," katanya.
Kesenian kentrung ini memang terbilang langka. Saat ini, jarang sekali ditemui senimannya. Karena hal tersebut, Yanuri berani mendaku bahwa dirinyalah satu-satunya seniman kentrung di Blora. Meski demikian, Yanuri tidak mau kentrung musnah. Dia telah menyiapkan penerusnya. Harapan besar itu disandarkan pada keponakannya, anak dari kakak perempuannya yang kini masih berusia 30 tahunan, namanya Susilo Hadi Kusnoto. (*)