Berita Jawa Tengah
Kisah Perempuan Semarang yang Jalani Pernikahan Anak tak Mudah Menjalani Bahtera Rumah Tangga
Sebanyak 360 kasus pernikahan dini terjadi di Kota Semarang sepanjang tahun lalu. Berdasarkan data Kanwil Kemenag Jateng
Penulis: iwan Arifianto | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -- Sebanyak 360 kasus pernikahan dini terjadi di Kota Semarang sepanjang tahun lalu. Berdasarkan data Kanwil Kemenag Jateng, Semarang berada di peringkat 15 dari seluruh kabupaten/kota di Jateng terkait kasus pernikahan dini.
Sepanjang 2020, terdapat 12.972 kasus pernikahan dini di Jateng dimana posisi pertama ditempati Kabupaten Cilacap dengan 1.019 kasus.
Sementara di 2021 ini, Kota Semarang juga menempati posisi 15. Berdasarkan data serupa, jumlah pernikahan dini di Kota Lunpia pada 2021 di angka 126 kasus. Satu di antara pelaku pernikahan dini di Kota Semarang, sebut saja Bunga.
Dia menikah pada 2018 lalu saat masih duduk di bangku SMA.
Sementara sang suami, juga baru akan lulus SMA. Kala itu, usia Bunga baru 17 tahun. Akibatnya, ia pun harus berhenti sekolah.
Bunga menceritakan, bukan perkara mudah menjalani bahtera rumah tangga dalam usia belia.
Menurutnya, banyak kendala yang harus dihadapi. Bahkan sejak awal menyatakan keinginannya untuk menikah, Bunga mendapat tentangan dari keluarganya.
Ia mengatakan, orangtuanya tak menerima keputusannya untuk menikah muda. Namun pada akhirnya keluarga mendukung bahkan membantu proses pernikahannya.
"Teman-teman ketika tahu awalnya kaget tetapi mereka tetap dengan keputusan saya ketika itu.
Mereka juga seringkali tanya bagaimana kehidupan pengantin muda itu," ungkapnya, Sabtu (5/6).
Kendala lain, lanjut dia, muncul saat mengurus administrasi pernikahan karena usianya tak cukup sesuai aturan negara. Berdasarkan hasil musyarawah bersama diputuskan untuk melaksanakan pernikahan secara agama.
"Mengurus administrasi negara ribet karena umur tidak cukup. Kami lalu pilih pernikahan secara agama saja," sambungnya.
Ia menambahkan, seperti halnya keputusan apapun lainnya, selalu diiringi dampak positif dan negatif. Sisi positifnya, ucap dia, ia bisa mengenal pasangannya lebih baik.
Bunga dan suaminya bersama membangun sikap dewasa dan merencanakan masa depan bersama.
Di sisi lain, ia mengakui banyak permasalahan yang dihadapi dengan menikah muda.
"Banyak masalah timbul karena mungkin sama-sama mengedepankan ego masing-masing," ujar dia.
Meski telah memilih menikah dini, Bunga tak menyarankan orang lain mengikuti jejaknya.
Menurut Bunga, ada beberapa alasan mengapa ia tak menyarankan pernikahan dini.
Di antaranya persoalan finansial. Sebab, usia remaja umumnya belum mapan dan masih punya keinginan kuat membahagiakan diri sendiri.
Selain itu, usia muda juga belum didukung sistem reproduksi yang baik sehingga dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi.
"Jika ada yang ingin menikah muda harus dipertimbangkan lagi apakah sudah ada tempat tinggal, pakaian, dan makanan yang layak?.
Sudahkah dapat mengontrol emosi dengan baik? Punya penghasilan tetap yang mencukupi?," lanjutnya.
Menyoroti hal itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko mengatakan, perkawinan anak termasuk kekerasan terhadap anak dan sangat berpotensi terjadi kekerasan terhadap perempuan.
Pihaknya mencatat, tahun lalu menerima pengaduan mengenai perkawinan anak sebanyak 55 kasus.
Mayoritas aduan kasus karena perempuan mengalami kekerasan seksual dari pelaku sehingga disarankan untuk penyelesaian permasalahannya dengan cara menikah.
"Kami sangat menolak penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan menikahkan pelaku dengan korban. Jika itu dilakukan sama artinya mendorong korban masuk lebih dalam ke lingkaran kekerasan pelaku," ujarnya.
Menurutnya, pernikahan seperti itu tidak melindungi hak korban namun lebih melindungi pelaku. Bahkan pelaku rentan akan melakukan pengulangan kekerasan tidak hanya dengan korban namun dapat melakukan dengan anak-anak yang lain.
Dengan demikian, pihak yang melakukan dan memberikan saran pada kasus kekerasan seksual terhadap anak untuk menikahkan dengan pelaku juga termasuk pelaku kekerasan.
"Penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, dengan tetap melakukan dan/atau memberikan saran menikahkan pelaku dengan korban termasuk melanggengkan kekerasan seksual terhadap anak," ucapnya.
LBH APIK Semarang, dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan akan mendorong negara lebih responsif. Terutama dalam memberikan hak-hak korban di antaranya hak restitusi, hak pendidikan, hak rehabilitasi, dan hak anak korban.
Untuk kasus kekerasan seksual yang dialami korban harus diproses hukum dengan memberikan sanksi hukuman maksimal terhadap pelaku guna memberikan efek jera. (iwn)
Baca juga: Pisah Ranjang, Wanita Muda Tewas dengan Wajah Tertutup Bantal, Suami Curiga Korban Sulit Dihubungi
Baca juga: Peruntungan Shio Hari Ini Senin 7 Juni 2021
Baca juga: Capres 2024 : Benarkah Ada Pesan Koalisi PDIP-Gerindra dalam Peresmian Patung Bung Karno?
Baca juga: Jadwal TV Televisi Hari Ini Senin 7 Juni 2021 di Trans TV RCTI Trans7 GTV SCTV dan Lainnya