Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Tak Tahan Tiap Hubungan Intim Dipaksa Mbokep dan Baju Dirobek-robek, Perempuan Ini Pilih Cerai Muda

Hal itu karena pelaku atau suami  ketika akan melakukan hubungan seksual dengan korban melakukan pemaksaan dan penyiksaan terhadap korban.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: M Syofri Kurniawan
net
Ilustrasi 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - LBH APIK Semarang merilis laporan  kurun tahun 2016 hingga tahun 2020 telah mendampingi tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga sebanyak 100 kasus. 

Relasi korban dengan pelaku adalah suami, ayah kandung, ayah tiri, kakek, dan majikan. 

Menurut Ketua LBH APIK Raden Rara Ayu Hermawati, pemerkosaan dalam rumah tangga yang didampingi pihaknya mempunyai kesulitan masing-masing dalam penanganan kasus.

Baca juga: Ivermectin, Obat yang Dipercaya Mampu Kalahkan Covid-19 akan Dibagikan di Kudus

Baca juga: 6 Provinsi yang Teridentifikasi Penularan Varian Delta, Jawa Tengah Jumlah Kasus Tertinggi

Baca juga: Virus Corona Varian Delta Ngamuk di Indonesia, 2 Vaksin Ini Dilaporkan Ampuh Mengatasinya

Baca juga: Busyro Muqoddas: Jika Presiden Batalkan Hasil TWK KPK, maka Kita Punya Harapan pada Negara Ini

Antara lain kasus kekerasan seksual suami terhadap istri. 

Dia menyebut, kasus pernah ditanganinya berupa saat korban telah berpacaran dengan pelaku  selama dua tahun. 

Setelah itu mereka memutuskan menikah. 

Pernikahan itu hanya bertahan seumur jagung yakni selama tiga bulan. 

Hal itu karena pelaku atau suami  ketika akan melakukan hubungan seksual dengan korban melakukan pemaksaan dan penyiksaan terhadap korban. 

Caranya dengan meminta korban menonton film porno dan mengikuti setiap gaya di dalam film tersebut.

Tak sampai di situ, pelaku pernah mengikat tangan korban dan merobek-robek pakaian korban sebelum pelaku akan melakukan hubungan seksual dengan korban. 

"Akibat dari perbuatan dengan pelaku tersebut menyebabkan korban mengalami depresi dan kerusakan pada bagian vagina korban," katanya kepada Tribunjateng.com, Sabtu (19/6/2021).

Dia melanjutkan, dalam proses pelaporan ke kepolisian oleh pihak polisi meminta ada saksi yang harus melihat saat pelaku melakukan pemerkosaan terhadap korban.

Hal tersebut membuat korban semakin depresi karena merasa hal yang diceritakan korban oleh kepolisian diragukan. 

"Sehingga korban tidak melanjutkan pelaporan korban dan memilih untuk mengajukan gugatan cerai," ujarnya. 

Merujuk kasus itu, lanjut dia, 
Kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga telah diatur didalam Pasal 8 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved