Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

OPINI

OPINI Gunawan : "Follow Back The Source Of Asset" Terbosan Berantas Korupsi

MEMBAHAS masalah korupsi di negeri ini nyaris tak ada habis. Rakyat jelata hingga elit politik sudah tahu kondisi tentang korupsi di Indonesia. S

net
ilustrasi korupsi 

"Follow Back The Source Of Asset" Terbosan Berantas Korupsi
olah Gunawan | Mahasiswa Magister Hukum UNS

MEMBAHAS masalah korupsi di negeri ini nyaris tak ada habis. Rakyat jelata hingga elit politik sudah tahu kondisi tentang korupsi di Indonesia. S

ejarah panjang bangsa Indonesia sebenarnya terekam jelas dalam upaya pemberantasan korupsi. Dilansir dari acch.kpk.go.id, pada tahun 1970, bersamaan dengan Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden Soeharto kala itu meyakinkan rakyat bahwa pemerintahannya serius memberantas korupsi.

Bahkan, ia sendiri yang akan memimpin pemberantasan korupsi. Tiga tahun sebelumnya, juga di era Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres Nomor 28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi.

Dalam pelaksanaannya tim tidak berfungsi. Selain itu masih di era Presiden Soeharto, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mana dalam undang-undang ini telah memberikan pemberatan terhadap ancaman pidananya.

Seiring berjalannya waktu, ide pembentukan lembaga antikorupsi diutarakan pada masa pemerintahan BJ Habibie. Presiden RI ke-3 itu mengeluarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Ia kemudian membentuk Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Berikutnya, Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN lahir pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Gus Dur lantas membentuk badan negara guna mendukung upaya pemberantasan korupsi. Seperti Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), Komisi Ombudsman Nasional, dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara. Namun, melalui judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan.

Sementara pada masa kepemimpinan Megawati, di tengah-tengah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan, dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Komisi inilah yang menjadi cikal bakal KPK yang ada saat ini. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagai dasar pembentukan diselesaikan di era Megawati.

Namun, saat ini pun kita saksikan bersama, KPK RI yang menjadi panglima harapan terakhir untuk melakukan pemberatasan korupsi sedang mengalami kegoncangan internal. Permasalahan ini tentu akan berimbas terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh KPK.

RUU Perampasan Aset

Seperti yang sudah kita pahami, tujuan utama para pelaku tindak pidana korupsi adalah bermotif ekonomi untuk mendapatkan harta kekayaan yang sebanyak-banyaknya. Harta kekayaan bagi koruptor merupakan darah yang menghidupinya, sehingga cara yang paling efektif untuk melakukan pemberantasan dan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi adalah dengan menelusuri sumber darahnya apakah sumber tersebut sah atau tidak sah.

Upaya untuk membentuk RUU Perampasan Aset telah dilakukan, namun RUU ini justru ditelantarkan oleh pemerintah dan DPR. RUU Prolegnas Prioritas 2021 tidak tercantum RUU Perampasan Aset. Namun kita tidak boleh menyerah, upaya penggunaan hukum yang progresif masih bisa dilakukan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Penguatan Komitmen

Mempergunakan penafsiran hukum progresif terhadap substansi hukum serta didukung penguatan komitmen oleh seluruh stakeholder diperlukan dalam upaya memberantas korupsi. Penanganan pemberantasan korupsi dengan upaya pencegahan serta penindakan bernuansa represif serta pemberatan ancaman pidana dengan penerapan TPPU (tindak pidana pencucian uang) rupanya juga belum mampu membuat efek jera terhadap para pelakunya.

Menelisik Sumber Kekayaan

Sebuah metode baru coba ditawarkan oleh penulis. Metode ini penulis namakan Follow Back The Source Of Asset. Jika di terjemahkan secara bebas maka berarti metode mengikuti atau menelisik ke belakang sumber kekayaan. Metode ini berusaha untuk keluar dari kebiasaan metode lama dalam pemberantasan korupsi.

Jika selama ini, metode pemberantasan korupsi selalu diawali dengan pembuktian atas perbuatan korupsi seseorang serta memberikan hukuman terhadap badan, serta melakukan penelusuran dan penyitaan terhadap hasil kejahatan korupsinya, maka metode baru ini mencoba membalik arah dengan mendasarkan kepada pengungkapan hasil korupsi dan “memaksa” pelaku untuk membuktikan bahwa harta bendanya bukan dari hasil korupsi.

Metode ini bisa dilaksanakan dengan melibatkan kontrol sosial dari masyarakat. Yaitu melaporkan informasi itu kepada APH. Berdasar laporang itu APB punya pintu masuk untuk kroscek terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pejabat publik tersebut. Apabila LHKPN ternyata tidak sesuai dengan keadaan faktual, maka ini menjadi petunjuk adanya ketidakwajaran.

Menjerat Pejabat Publik

Adakah instrumen hukum yang dapat menjerat pejabat publik pemilik harta berlebih melebihi profilenya? Bisa dengan pengopersionalan hukum secara progresif UU TPK Pasal 12B UU RI Nomor 31 tahun 1999 yang diamandemen melalui UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang gratifikasi.

Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dan apabila penerima gratifikasi tidak melaporkan dalam 30 hari kepada KPK maka terhadap penerima bisa dikenakan sanksi pidana.

Maka ketika nantinya terdakwa gagal membuktikan bahwa harta bendanya diterima dari pendapatan yang sah maka harta benda tersebut dianggap sebagai hasil dari korupsi. Secara teknis pembuktian, penuntut tetap memiliki kewajiban untuk sampai pada batas tertentu meyakinkan hakim bahwa telah terjadi penambahan aset dari terdakwa yang tidak sesuai dengan lawful income-nya.

Kemudian dengan bantuan presumption of law bahwa pejabat publik yang pertambahan kekayaannya tidak bisa dijelaskan secara hukum akan diasumsikan sebagai illicit enrichment sampai yang bersangkutan mengajukan fakta lainnya yang lebih kuat terkait asal usul penambahan harta tersebut.

Metode “Follow Back The Source Of Asset” mempunyai keunggulan karena meringankan beban pembuktian dan relatif lebih banyak peluang untuk mengungkap tindak pidana korupsi serta pada akhirmya diharapkan mampu memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi dan dapat memberikan solusi terhadap upaya pemberantasan korupsi. Berani memulai? (*)

Baca juga: Hotline Semarang : Apakah RS Jiwa Dr Amino Buka Ruang Isolasi?

Baca juga: Fokus : Delta, Kehadiranmu Sungguh Terlalu

Baca juga: Video Truk Alami Rem Blong di Turunan Silayur Semarang

Baca juga: Video 6 Muda-Mudi Terjaring Razia di Kos-Kosan

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved