Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Banjarnegara

Indahnya Embun Upas di Dieng Saat PPKM Darurat, Wisatawan hanya Bisa Gigit Jari

Jika beruntung, mereka bisa menyaksikan fenomena langka embun es ( bun upas) yang pemandangannya menakjubkan. Saat momentum itu datang, hamparan rerum

Penulis: khoirul muzaki | Editor: m nur huda
Istimewa/UPT Dieng 
Objek wisata Candi Arjuna Dieng diselimuti embun upas atau embun es kemarin, Rabu (7/7/2021). 

TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA - Musim kemarau menjadi mementum yang ditunggu wisatawan untuk berkunjung ke Dieng Banjarnegara, Jawa Tengah.

Di musim kering itu, wisatawan bukan hanya bisa menikmati objek wisata yang selama ini ada. 

Jika beruntung, mereka bisa menyaksikan fenomena langka embun es (bun upas) yang pemandangannya menakjubkan.

Saat momentum itu datang, hamparan rerumputan dan tanaman hijau di komplek Candi Arjuna memutih bak diselimuti salju. 

Baca juga: Suhu Bisa Capai 34 Derajat Celcius, Berikut Prakiraan Cuaca Semarang BMKG Kamis 8 Juli 2021

Di musim kemarau kali ini pun fenomena itu kembali terjadi. Mei 2021 lalu, meski cuaca masih basah, embun es muncul untuk pertama kalinya di tahun ini. 

Lama tak muncul, kemarin Rabu (7/7/2021), warga kembali dihebohkan dengan kemunculan bun upas di komplek Candi Arjuna. 

"Minus 1 derajat celcius, " kata Sri Utami, Kepala UPTD Objek Wisata Dieng Dinas Pariwisata Kabupaten Banjarnegara, Kamis (8/7/2021).

Meski tiap tahun biasa terjadi, fenomena bun upas nyatanya selalu menarik perhatian masyarakat, khususnya wisatawan. 

Sayangnya, pemandangan indah itu tak bisa disaksikan wisatawan secara langsung karena objek wisata Dieng ditutup untuk mendukung PPKM Darurat. 

Ia tak menampik, menyusul kemunculan bun upas kemarin, sejumlah wisatawan berdatangan ke Dieng untuk menyaksikan fenomena langka itu. 

Bahkan, ada yang dari luar kota. Tetapi karena Objek Wisata Dieng, mereka tak bisa masuk komplek Candi Arjuna untuk melihat pemandangan itu. 

Bahkan, pagi ini, Kamis (8/6/2021), meski bun upas tak lagi muncul karena suhu lebih hangat, sejumlah wisatawan masih saja berdatangan ke Dieng.

Tetapi pihaknya tetap bersikukuh melarang mereka masuk objek wisata. 

"Tidak ada wistawan yang melihat. Hanya warga dan petugas UPT Dieng yang melihat, " katanya.

Dataran tinggi Dieng, khususnya di kawasan Candi Arjuna Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur, Banjarnegara kembali diselimuti es. Kemunculan embun es atau bun upas kali ini agak mengejutkan karena disinyalir lebih awal, awal Mei 2021.
Dataran tinggi Dieng, khususnya di kawasan Candi Arjuna Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur, Banjarnegara kembali diselimuti es. Kemunculan embun es atau bun upas kali ini agak mengejutkan karena disinyalir lebih awal, awal Mei 2021. (TribunJateng.com/Khoirul Muzaki)

Fenomena embun es kembali terjadi di dataran tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (6/7/2021).

Di media sosial Twitter, sejumlah akun membagikan unggahan yang memperlihatkan hamparan rumput di Dieng diselimuti oleh kristal es bening.

Kepala UPTD Pengelola Obyek Wisata Banjarnegara, Sri Utami, membenarkan terjadinya fenomena embun es itu.

Uut, begitu ia akrab disapa mengatakan bahwa embun es atau yang biasa disebut embun upas oleh warga lokal, terjadi di area Candi Arjuna.

Dia mengatakan, fenomena itu terjadi pada Rabu (6/7/2021) pagi. 

"Suhu terpantau minus 1 derajat celcius," kata Sri Utami saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (7/7/2021) malam.

Fenomena alam embun es di dataran tinggi Dieng yang terjadi pada musim kemarau merupakan salah satu daya pikat bagi wisatawan untuk berkunjung.

Pada 25 Juli 2020, tercatat wisatawan yang berkunjung ke Dieng untuk menikmati hamparan embun es mencapai 1.200 orang dalam sehari.

Namun, pada momen embun es tahun ini, Uut mengatakan, area wisata Dieng tertutup untuk wisatawan.

Penutupan dilakukan karena saat ini pemerintah tengah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat 3-20 Juli 2021.

"Untuk obyek (wisata) tutup, meskipun embun upas mulai muncul lagi. Karena masa PPKM, wisatawan untuk menunda berkunjung ke Dieng," kata dia. 

Uut mengatakan, pembukaan obyek wisata Dieng masih akan menunggu keputusan dari pihak yang berwenang.

"Terkait hal tersebut, kami pelaksana di lapangan menunggu ketentuan," kata Uut.

Tidak hanya indah dipandang, ternyata embun es yang terjadi di dataran tinggi Dieng juga memengaruhi aktivitas pertanian masyarakat, terutama pada tanaman kentang.

"Kalau untuk petani, memang kalau terjadi berulang kali (embun es) akan berpengaruh terhadap tanaman, khususnya kentang," kata Uut, seperti diberitakan Kompas.com, 26 Juli 2020.

Ia menuturkan bahwa embun es ini bisa menyebabkan gagal panen, dan juga kerugian pada petani kentang.

Namun setelah embun es berlalu, tanah justru menjadi lebih subur dan hasil panen berikutnya menjadi lebih baik.

"Kalau keterangan dari petani sendiri, memang ketika terkena embun upas, itu bisa menyebabkan gagal panen. Tapi pasca-itu, mereka mendapatkan nilai lebih. Panen berikutnya biasanya melipat," kata Uut.

Mengutip Harian Kompas, 9 Agustus 2019, para petani di Dieng mengamati bahwa fenomena embun upas tak ubahnya proses sterilisasi alam.

Dari pengamatan sejumlah petani, diketahui bahwa setelah terserang embun upas, masa tanam berikutnya panen kentang yang dihasilkan bisa berlipat ganda.

Hal itu disebabkan bakteri dan hama penyerang kentang ikut mati akibat dinginnya embun es.

Dalam kondisi normal, kentang yang dapat dipanen berkisar 12-15 ton per hektar.

"Embun upas juga membunuh organisme tanaman pengganggu dan ulat kentang sehingga tanah makin subur dan hasil panen berikutnya bisa berlipat,” kata Saroji, petani kentang yang memiliki warung makan serta penginapan di Dieng.

Hal serupa disampaikan Umar, petani lainnya. Ia memilih membiarkan ladangnya begitu saja sambil menunggu serangan embun upas selesai.

”Ini proses sterilisasi alam karena hama seperti lalat dan jamur ikut mati. Yang penting sabar saja,” ujar Umar yang juga mencari nafkah dengan berjualan minuman dan makanan ringan di kompleks Candi Arjuna.

Penjelasan BMKG Soal Suhu Dingin

Beberapa hari terakhir suhu udara di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mulai terasa dingin.

Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, suhu dingin itu memang jadi tanda masuk musim kemarau setelah melewati masa pancaroba.

Ini penjelasan Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) soal suhu dingin beberapa waktu terakhir.

Dari pantauan suhu pagi hari, Rabu-Kamis (7-8/7/2021) menyentuh angka 19 derajat Celcius.

“Istilahnya itu adalah mbediding,” ungkap Kepala Stasiun Klimatologi (Staklim) Yogyakarta, Reni Kraningtyas kepada Tribun Jogja (Tribun-Network), Rabu (7/7/2021).

Dijelaskannya, fenomena mbediding ini terjadi akibat adanya pergerakan massa udara dingin dan kering dari Australia ke Asia, melewati Indonesia.

Mbediding juga biasanya disebut sebagai Monsoon Australia .

“Tutupan awan relatif sedikit dan pantulan panas dari bumi yang diterima dari sinar matahari tidak tertahan oleh awan. Sehingga, langsung terbuang dan hilang di angkasa,” jelasnya.

Dengan kata lain, mbediding adalah perubahan suhu yang mencolok khususnya di awal musim kemarau.

Suhu udara menjadi sangat dingin menjelang malam hingga pagi, sementara di siang hari suhu melonjak hingga panas menyengat.

“Kandungan air di dalam tanah menipis. Begitupula dengan kandungan uap air di udara juga rendah. Maka, kelembapan udara rendah,” kata Reni.

BMKG memantau, mbediding sudah terjadi dalam lima hari belakangan dengan suhu udara 18-23 derajat Celcius.

Adapun kelembapan udara permukaan minimum 50-58 persen.

“Perkiraannya, kondisi seperti itu bisa terjadi hingga Agustus mendatang,” tambah Reni.

BMKG mengimbau masyarakat agar tetap menjaga imunitas di musim seperti ini.

Cukupi kebutuhan cairan serta makan dan minum yang hangat.

Pada malam hari, dianjurkan untuk menggunakan selimut tebal agar tidak kedinginan.

“Suhu pendingin ruangan juga sebaiknya tidak terlalu rendah karena udara juga masih cukup dingin,” bebernya.

Dilanjutkannya, masyarakat bisa menggunakan krim kulit agar lembap selalu.

“Waspadai potensi penyakit pernafasan yang berasal dari virus atau bakteri. Kulit dan bibir bisa menjadi kering. Hati-hati juga dengan mimisan,” ungkap Reni.ITribun Jateng/Tribun Jogja/Kompas.com)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved