Berita Semarang
Kisah Sarimo Pedagang Mainan Tradisional Sudah 30 Tahun Jualan di Semarang : Ora Obah Ora Mamah
Teketeketek, begitu bunyi mainan etek-etek yang dimainkan Sarimo (56) penjual mainan tradisional di Kota Semarang.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: rival al manaf
Pasalnya semua event-event atau kegiatan besar yang selama ini menjadi tumpuan penghasilan terbesarnya dilarang pemerintah digelar.
Dia menyebut, paling tidak setiap event acara semisal di Kota Lama mampu mengdapatkan penghasilan kotor Rp300 ribu hingga Rp400 ribu.
Dia cukup mangkal dan tak perlu berkeliling.
Selain itu, kadangkala berjualan di luar Kota Semarang tiap ada acara besar di daerah lain seperti ke Demak, Kudus, Kendal, Kabupaten Semarang dan sekitarnya.
"Biasanya tiap minggu pasti ada acara besar saya datangi karena di tempat seperti itu barang jualan cepat laku dan ga perlu genjot sepeda," terangnya.
Dia mengatakan, selama pandemi harus bekerja lebih keras dengan berkeliling di perkampungan atau perumahan di Kota Semarang.
Meski banyak perumahan di portal dia tak ambil pusing karena hanya memasuki perumahan yang bisa dilalui saja.
Selama pandemi, pendapatan kotornya perhari paling besar Rp100 ribu.
"Paling kecil dapat Rp50 ribu atau etek-etek laku 5. Itu pendapatan kotor. Bersihnya uang segitu ya dicukupkan untuk makan saja," terangnya.
Di tengah kesulitan mencari sesuap nasi, dia mengaku, kadang kala mendapatkan perlakuan tak mengenakan terutama di tempat wisata.
Lantaran dia harus kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP.
Padahal di tempat wisata seperti Lawang Sewu menjadi tempat jualan potensial yang membuat jualannya lekas laris.
"Saya pernah kena operasi satpol PP tiga kali. Barang dagangan diangkut semua. Sepeda saya pegangin kenceng biar ga dibawa. Kalo dagangan ya harus diikhlasin," katanya.
Tentu selepas kena razia itu dia rugi besar karena seluruh barang dagangannya dibawa Satpol.
Paling tidak tiap kena razia dia merugi Rp1 juta atau setara modal barang dagangannya.