Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Fokus

Fokus : Pura-pura Buta dan Tuli Soal Covid-19

KISAH pedih yang dialami bocah berusia 10 tahun yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan calon adiknya karena terpapar Covid-19

tribunjateng/bram
CATUR WISANGGENI wartawan tribunjateng.com 

Oleh Catur Waskito Edy

Wartawan Tribun Jateng

KISAH pedih yang dialami bocah berusia 10 tahun yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan calon adiknya karena terpapar Covid-19 tentu membuat siapa pun akan trenyuh. Mungkin masih banyak kisah sedih yang dialami keluarga yang ditinggalkan orang yang mereka sayangi.

Kini bocah kelas tiga SD ini harus menjalani isolasi mandiri seorang diri di rumahnya. Sang ibu, Lina Safitri (31) meninggal dalam kondisi hamil 5 bulan pada Senin (19/7) dan sang ayah, Kino Raharjo (31) meninggal keesokan harinya, Selasa (20/7). Orangtua Vino dinyatakan positif Covid-19 dan menjalani perawatan di Rumah Sakit Harapan Insan Sendawar, Kutai Barat karena positif Covid-19.

Kita tidak tahu bagaimana perkembangan Vino ke depan dalam kesendiriannya untuk meneruskan hidupnya ke depan tanpa ayah dan ibunya. Saat diberitahu bahwa ayah dan ibunya sudah meninggal. Responnya menangis dan bertanya kok bisa meninggal, ayah dan ibu kan masih muda.

Mungkin saja, saat ini dia bisa terhibur melihat banyak keluarga dan saudaranya memberi dia makanan dan menemaninya. Kita tidak tahu ke depannya.

Ternyata kisah sedih ini tidak hanya dialami Vino, ada sekitar 15 juta anak telah kehilangan orangtuanya. Diperkirakan 1,5 juta anak di seluruh dunia telah kehilangan orang tua, kakek-nenek, wali atau kerabat yang merawat mereka karena Covid-19.

Hasil penelitian The Lancet dan dipimpin oleh akademisi Imperial menyatakan, data kematian Covid-19 dari Maret 2020 hingga April 2021. Selama 14 bulan pertama pandemi, 1 juta anak kehilangan salah satu orangtua dan lainnya kehilangan pengasuh.

Tentunya, anak-anak yang kehilangan orang tua atau pengasuhnya berisiko mengalami efek buruk jangka pendek dan jangka panjang yang mendalam pada kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan seperti peningkatan risiko penyakit, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kehamilan remaja.

"Pandemi covid-19 berdampak anak menjadi yatim piatu adalah keadaan darurat global, dan kita tidak mampu untuk menunggu sampai besok untuk bertindak," ujar peneliti utama studi tersebut Seth Flaxman dikutip dari Imperial, Jumat (23/7).

Beberapa pihak menyebut kehilangan orangtua atau pengasuh bagi anak sebagai dampak membekas yang amat menyedihkan akibat pandemi ini. Tidak hanya di Indonesia, seperti halnya di India data 5 Juni 2021 lalu, ada 3.632 anak terpaksa menjadi yatim piatu karena kedua orang tuanya meninggal akibat Covid-190, dan 26.176 anak yang kehilangan salah satu orang tuanya karena penyakit ini.

Bahkan angkanya diprediksi lebih tinggi lagi dari itu. Pemerintah India pun menyediakan anggaran amat besar untuk kehidupan anak-anak ini. Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan masyarakat, tetapi juga masalah mendasar kemanusiaan.

Tidak ada salahnya untuk Indonesia mengantisipasi kejadian kemanusiaan ini. Covid-19 harus segera dikendalikan, dan salah satu upayanya adalah memperketat lagi pembatasan sosial secara nyata. Apalagi kasus sudah meningkat beberapa kali lipat, maka kegiatan pembatasan sosial juga harus beberapa kali lipat lebih ketat lagi, tidak bisa hanya meneruskan program yang lama saja.

Apalagi hari Jumat (23/7) kemarin berdasarkan informasi Situasi Covid-19 sebanyak 1,566 orang meninggal dunia karena Covid-19 di Indonesia, angka kematian Covid-19 di Indonesia kembali mencetak rekor baru. Sehari sebelumnya, Kamis (22/7) jumlah kematian Covid-19 secara nasional mencapai 1.449 orang. Dengan demikian secara keseluruhan korban yang telah meninggal akibat Covid-19 mencapai 80.598 orang.

Penambahan kasus positif tersebut tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi DKI Jakarta kini menjadi provinsi dengan jumlah kasus terbanyak. Disusul dengan Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur.

Haruskah kita pura-pura tidak tahu tentang hal ini, atau membutakan mata kita, atau menulikan telinga kita bahwa itu hanya angka-angka. Apakah mereka yang mengharamkan kasus covid-19 didengar atau dibaca atau terlihat di berbagai media adalah tidak ada. Hanya kabar bohong, apakah mereka-mereka itu tidak puasa mendengar, puasa melihat dan puasa-puasa lain, atau malah sakit beneran alat perasanya.

Tidakkah dia mendengar kabar di toa masjid, atau kabar duka di grup-grup sosial media sehingga tidak melihat hal ini? Sudahlah bila kita mengurus jiwa-jiwa bermental seperti itu tidak akan pernah habis dan hanya menguras energi kita. Yang Lebih penting adalah bagaimana dengan meningkatnya angka kematian pasien Covid-19 tentu menambah jumlah keluarga yang kehilangan ayah, ibu, bahkan keduanya.

Sudah saatnya tidak hanya pemerintah tapi juga semua elemen bangsa untuk memitigasi dampaknya sejak sekarang agar tidak menjadi bom waktu di masa mendatang. Pemerintah harus memiliki strategi penanganan anak-anak fatherless atau motherless ini. Apakah sudah disiapkan proses pendampingan mereka? Semoga!

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved