Berita Solo
Sari Lerak, Resep Warisan Nenek Moyang untuk Perawatan Tradisonal Kain Batik Tulis dan Cap
Batik memiliki fisolofi dan keunikan yang ada pada setiap goresan coraknya menjadi salah satu daya tarik tersendiri.
Penulis: Muhammad Sholekan | Editor: moh anhar
TRIBUNJATENG.COM, SOLO - Batik merupakan warisan budaya yang dimiliki Indonesia yang sudah diakui dunia.
Batik memiliki fisolofi dan keunikan yang ada pada setiap goresan coraknya menjadi salah satu daya tarik tersendiri.
Ciri khas itulah yang membuat budaya peninggalan leluhur terus menjadi primadona bagi pecinta seni sampai saat ini.
Secara proses pembuatan, yang masih dilakukan secara tradisional membuat batik juga perlu perawatan khusus.
Misalkan dalam proses pencuciannya, batik memerlukan bahan khusus tanpa campuran bahan kimia.
Baca juga: Perkembangan Kasus Covid-19 di Kabupaten Tegal Masih Naik Turun, Dinkes: Kita Harus Tetap Waspada.
Baca juga: Dr Aqua Dwipayana Bicara Peran Pemuda di Masa Pandemi
Baca juga: Menu Diet Tentara, Berat Badan Turun dalam 7 Hari, Hari Keempat sudah Bebas Makan Apa Saja
Baca juga: Wali Kota Semarang Hentikan Pelayanan Vaksinasi: Stok Vaksin Menipis
Satu bahan yang digunakan untuk mencuci batik ini adalah lerak.
Lerak atau juga disebut soap berries ini merupakan buah yang dimanfaatkan mencuci batik.
Bahan ini ternyata sudah digunakan sejak nenek moyang, di mana batik sudah mulai eksis.
Berangkat dari situlah RM Budiono Kusumo berinisiatif membuat sari lerak.
Dia menjadikan bahan utama lerak sebagai 'deterjen' alami untuk mencuci batik, baik cap maupun batik tulis.
"Saya membuat sari lerak Tiga Daun ini sebenarnya resepnya dari eyang. Dulu eyang juga sudah membuat sari lerak, kemudian diturunkan ke ibu saya dan sekarang saya meneruskan," ucap Budiono, Jumat (30/7/2021).
Dia menambahkan, pembuatan sari lerak ini karena eksistensi batik masih tetap terjaga di era moderen.
Bahkan batik bisa diadaptasikan untuk menjadi busana modern atau kekinian.
"Saya melihat fashion di era modern, batik bisa mengikuti era ini. Lalu saya kepikiran untuk membuat sari lerak sebagai bahan pencuci batik," jelasnya. Sari lerak ini, lanjut dia, sudah diproduksi sejak tahun 2014 bertempat di Jalan Tamtaman 1, RT 2 RW 11, Kelurahan Baluwarti, Pasar Kliwon, Solo.
"Lerak ini mempunyai keunggulan untuk membersihkan batik, bisa menjadikan kain lebih lemas, warna tidak mudah pudar serta tidak merusak kain," ungkapnya.
Sedangkan, untuk mencuci batik menggunakan deterjen sangat tidak disarankan.
Hal ini karena bisa merusak batik dan juga kain itu sendiri.
"Batik itu kan dibuat secara tradisional bahannya lilin atau malam, kalau dicuci menggunakan deterjen berbahan kimia bisa memudarkan batik, warna, dan merusak kainnya," tuturnya.
Menurutnya, batik juga tidak boleh dicuci menggunakan mesin cuci dan dijemur di bawah terik matahari langsung.
"Cukup direndam menggunakan sari lerak, kemudian kucek perlahan. Rendam lagi baru di jemur di tempat yang teduh jangan kena sinar matahari langsung," urainya.
Budiono menjelaskan, pembuatan sari dilakukan melalui beberapa tahapan.
Pertama, memisahkan buah lerak dari bijinya. Setelah itu, buah atau daging lerak direbus menggunakan air untuk mengeluarkan getahnya.
Baca juga: Polsek Juwana Pati Hentikan Acara Resepsi Pernikahan Tanpa Izin
Baca juga: Video Tim Penjemputan Vino Yatim Piatu Akibat Covid-19 Berangkat ke Kutai Barat
Baca juga: Pak Eman Menggengam Uang Rp 5 Ribu, Tersenyum Malu Mau Beli Nasi Padang, Kini Dapat Donasi 105 Juta
"Getah itu yang akan kita proses, kadar air juga perlu diperhitungkan. Kalau tanpa air tidak bisa mengambil sarinya," ungkapnya.
Perebusan dilakukan kurang lebih selama 2 jam untuk mengeluarkan getah lerak.
Setelah dingin, sari lerak dituang ke dalam botol kemasan yang sudah disiapkan.
"Untuk botol kecil ukuran 250 ml harganya Rp10 ribu, yang kemasan 500 ml harganya Rp 20 ribu. Penjualan sudah menjangkau ke seluruh Indonesia, mulai dari Bali, Kalimantan, Sumatera, dan ke berbagai wilayah lainnya," ungkapnya.
Tetapi, di tengah pandemi Covid-19 ini produksinya juga terhambat. Sebelumnya dalam sebulan bisa meraup omzet Rp 150 juta, sekarang hanya berkisar Rp 15 juta sampai Rp 25 juta.
"Adanya pandemi ini batik juga tidak jalan. Dulu karyawan saya 10 orang, sekarang tinggal dua orang. Jadi memang cukup terdampak," tandasnya. (*)