PPKM Level 4
Dampak Pandemi dan PPKM : Dari Omzet Pringsewu Anjlok 80% hingga Bisnis Kopi Kemasan
Bisnis restoran dan kafe merupakan satu di antara sektor usaha yang paling terdampak pandemi covid-19. Kebijakan pemberlakuan pembatasan
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -- Bisnis restoran dan kafe merupakan satu di antara sektor usaha yang paling terdampak pandemi covid-19.
Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 4 yang kini kembali diperpanjang membuat aktivitas usaha ini semakin memprihatinkan.
Dampak tersebut diakui sejumlah pelaku usaha resto dan kafe di kawasan Kota Lama Semarang. Pembatasan jam operasional dan batas okupansi dine-in atau makan di tempat yang masih diberlakukan hingga kini dinilai memberatkan bagi pertumbuhan bisnis.
"Adanya kelonggaran PPKM ini (makan di tempat-Red), kami melihat kemarin tanggal 4 (Rabu-Red) kondisi masih sama sepinya," kata Dani, Pimpinan Cabang Pringsewu Kota Lama Semarang, saat dihubungi Tribun Jateng, Kamis (5/8).
Menurut dia, selama pandemi covid-19 dan PPKM, omzet di resto Pringsewu Kota Lama Semarang mengalami penurunan drastis mencapai 80 persen. Hal itu dipengaruhi sepinya pengunjung di kawasan wisata itu.
Selain itu, Dani menuturkan, banyaknya lampu penerangan jalan yang masih dimatikan di kawasan itu membuat banyak orang enggan untuk mampir ke resto.
"Grafik menukik tajam sekali, karena memang harian kami didominasi oleh para wisatawan Kota Lama. Saat ini orang tidak bisa dine-in, dan jam operasional dipangkas, yang awalnya dari pukul 08.00-23.00, sekarang pukul 18.00 harus sudah closing," jelasnya.
"Kami sendiri belum menerima Perwal keputusan baru. Cuma kalau kami lihat tanggal 4 kemarin (Rabu-Red), penyekatan di Kota Lama sempat dibuka dari Jalan Letjen Suprapto, cuma setelah beberapa jam langsung ditutup kembali.
Sementara untuk lampu penerangan jalan, beberapa ruas memang sudah menyala. Namun di depan Pringsewu masih gelap gulita saat malam. Mungkin pengunjung takut dengan kondisi yang gelap itu," lanjutnya.
Dengan kondisi tidak memungkinkan di tengah PPKM tersebut, Dani mengaku terpaksa memangkas sebagian karyawan resto, sebab tak mampu lagi menutup biaya operasional dengan jumlah karyawan yang sama. Dari total 30 karyawan Pringsewu, kini hanya tersisa 10 karyawan.
"Kami harus menyesuaikan biaya operasional, karena di sini jam 6 sore (18.00) sudah ditutup, dalam artian lampu Kota Lama sudah tidak menyala merupakan kendala.
Apalagi jalan utama yang di Jalan Letjen Suprapto memang selama PPKM dari awal banget tanggal 3 Juli ditutup tidak bisa diakses sama sekali. Jadi orang kalau ke Pringsewu hanya bisa lewat Jalan Agus Salim dan Pasar Johar. Itu memang pukulan berat buat kami," ungkapnya.
Beberapa strategi dilakukan untuk menutup biaya operasional, di antaranya yakni dengan delivery order, atau pesan antar makanan.
Meski mengakui presentase pendapatan melalui pesan antar makanan tersebut tidak sebanyak makan di tempat, Dani berujar, strategi itu dirasa cukup membantu untuk menutup biaya operasional.
"Delivery order lumayan membantu, karena kami variasinya di menu. Di resto juga ada catering yang Alhamdulillah banget membantu, karena beberapa instansi yang masih WFO mengambil catering, dan berusaha semaksimal mungkin bisa menutup operasional resto dengan 10 karyawan itu. Kami harus membayar gajinya, ya selang-seling dengan omzetnya," terangnya.
Selain itu, Dani mengungkapkan, berbagai promo juga coba ditawarkan untuk menarik minat pembeli. "Kita kami sempat tebus-murahkan menu karena PPKM hadir saat kami lagi naik-naiknya, dan sudah stok menu banyak, jadi sebagian garap untuk melangsungkan tebus murah, seperti gurame yang cuma Rp 90 ribu menjadi Rp 49 ribu, yang penting keluar dulu dan gak basi," paparnya.
Dilematis
Hal senada juga terjadi di Hero Coffee. Manager Hero Coffee Semarang, Bagas menyebut, dampak pandemi dirasa berat. Sebab, selama ini Hero Coffee menyasar pasar offline.
Hal itu membuat pihaknya dilematis.
Di satu sisi wisata Kota Lama ditutup, sementara di sisi lain ada pembatasan makan di tempat. Hal itupun menyebabkan penurunan omzet secara drastis di Hero Coffee hingga 70 persen.
"Sejak tanggal 3 Juli sudah mengalami penurunan besar bahkan pendapatan yang biasanya kisaran per harinya jutaan rupiah, hingga Rp 5 juta ke atas, ini kami malah langsung drop banget di bawah Rp 1 juta.
Efeknya besar banget. Selain kami memang belum bisa melayani pre-order karena kami belum pegang pasar online. Kami pegang pasar offline, terima dine-in. Cuma karena pembatasan itu, sepanjang jalan area Kota Lama sangat sepi, kerugian kami sampai 70 persen," ungkapnya.
Bagas mengaku telah mencoba merambah pasar secara daring. Namun, hal itu hanya mampu menyumbang sebagian kecil dari penjualan keseluruhan. Menyiasati hal itu, pihaknya kini menawarkan promo kepada pelanggan untuk menutup biaya operasional dan menggaji karyawan.
"Pasar online memang sudah banyak yang kami saingi, tapi memang tidak bisa. Di satu sisi konsep kami resto, bukan tempat makan yang memang lingkupnya lebih kecil. Mungkin melawan pasar kecil dengan kondisi perekonomian yang lagi turun otomatis orderan sedikit.
Dampaknya memang besar. Setelah diperbolehkan dine-in, ada customer sudah senang sekali. Promo kami buat dengan memberikan harga murah, semacam balik modal buat belanja besok," ungkapnya.
Di tengah PPKM yang membuat banyak pengusaha memilih menutup resto maupun kafe miliknya, Bagas menuturkan, pihaknya mau tidak mau mengambil risiko di tengah tidak menentunya pengunjung.
"Positif thinking saja, kami tetap berusaha dengan risiko baik besar maupun kecil, karena kalau tutup banyak internal kami yang merasa kekurangan ke depannya. Intinya kesejahteraan. Kami tidak ingin membunuh rezeki orang, jadi prioritas karyawan terutama saat pandemi ini sangat berpengaruh," ucapnya.
"Apalagi kami tidak ada BPJS Ketenagakerjaan (bagi karyawan-Red), otomatis bantuan pemerintah yang harus ada syarat itu kami tidak bisa membantu karyawan. Harapannya, pemerintah sadar akan masyarakat untuk kesejahteraannya, karena dengan jam kerja yang berkurang, otomatis gaji juga berkurang," tukasnya. (idy)
Bisnis Kopi Kemasan Pun Terpengaruh Pandemi
Industri kopi kemasan Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang menjanjikan. Namun, pandemi covid-19 turut mempengaruhi prospek industri tersebut.
Meski tidak disebutkan secara rinci, Ketua Kompartemen Kopi Spesialisasi Industri Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), Moelyono Soesilo mengatakan, sepanjang 2021 berjalan tidak ada perubahan tren yang signifikan terkait dengan penjualan kopi kemasan di Indonesia.
Menurut dia, hal itu seiring dengan efek pandemi covid-19 yang mempengaruhi konsumsi kopi di beberapa kalangan masyarakat. “Tidak ada perubahan tren, masih stagnan,” katanya, Kamis (5/8).
Moelyono menuturkan, pandemi covid-19 membuat ekspor kopi kemasan Indonesia tidak mengalami pertumbuhan yang berarti. Sejauh ini, Indonesia kerap mengekspor kopi kemasan ke Filipina, Malaysia, China, dan beberapa negara Timur Tengah.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, kopi kemasan atau kopi instan menempati posisi kedua ekspor makanan olahan tertinggi Indonesia pada 2020. Ekspor kopi kemasan di tahun lalu mencapai 524,27 juta dollar AS. Posisi kopi kemasan hanya kalah dari udang kemasan yang memiliki nilai ekspor 875 juta dollar AS.
Mayoritas ekspor kopi kemasan Indonesia ditujukan ke Filipina dengan porsi 72,9 persen di tahun lalu. Kemudian diikuti Malaysia sebesar 7,2 persen, Uni Emirat Arab sebesar 3,3 persen, Singapura 1,6 persen, dan China 1,5 persen.
Moelyono menyatakan, tantangan pelaku usaha kopi kemasan ke depan masih seputar pasokan bahan baku yang terancam terbatas, terutama untuk kopi arabika akibat gangguan cuaca.
Sementara terkait dengan kondisi pandemi, dia menambahkan, para pelaku usaha lebih mengutamakan efisiensi sembari mempertahankan penjualannya. “Yang bisa pelaku usaha lakukan adalah bertahan dan tidak terlalu ekspansif, karena masih banyak faktor yang tidak pasti,” tukasnya.
Sejauh ini, terdapat beberapa perusahaan produsen kopi kemasan yang beredar di Indonesia dan memiliki merek kopi kemasan yang cukup familiar di kalangan masyarakat.
Misalnya, PT Santos Jaya Abadi yang memproduksi kopi merek Kapal Api, ABC, Good Day, Excelso, hingga Ceremix. Lalu, ada PT Mayora Indah Tbk yang memiliki merek kopi Torabika. PT Nestle Indonesia yang memproduksi kopi bermerek Nescafe.
Ada pula PT Sari Incofood yang memproduksi kopi merek Indocafe, dan PT Java Prima Abadi yang menghasilkan kopi kemasan merek Luwak White Coffee. Grup Djarum lewat PT Sumber Kopi Prima juga ikut meramaikan persaingan industri kopi kemasan dengan merek Kopi Gadjah dan Caffino. (Kontan/Dimas Andi)
Baca juga: Hendi Pantau Pengisian Oksigen Gratis di Balaikota Semarang, Beberkan Data Covid-19 Terkini
Baca juga: DF Pukul Tetangganya Menggunakan Vapor Hingga Tak Sadarkan Diri, Akibat Cemburu Istinya Digoda
Baca juga: A Tewas Bersimbah Darah di Gubuk Pinggir Jalan, Saksi Lihat Seseorang Bergegas Pergi
Baca juga: Valentino Rossi Umumkan Pensiun dari MotoGP, Ungkap Satu Penyesalan Ini