Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Afghanistan

Pasukan Wanita Ini Siap Hadapi Taliban di Panjshir Garis Akhir Pemerintahan Afghanistan

Kelompok perlawanan anti-Taliban tidak menyerah walau Afghanistan jatuh ke tangan Taliban. Justru kelompok ini semakin berani untuk mengalahkan

Kantor pers gubernur Ghor
Ratusan wanita berkumpul di Firoz Koh, provinsi Ghor, pada 4 Juli untuk mengangkat senjata melawan Taliban dan menyatakan dukungan mereka untuk pasukan keamanan Afghanistan. 

TRIBUNJATENG.COM, KABUL -- Kelompok perlawanan anti-Taliban tidak menyerah walau Afghanistan jatuh ke tangan Taliban.

Justru kelompok ini semakin berani untuk mengalahkan kelompok militan itu setelah Afghanistan jatuh ke tangan Taliban.

Ali Nazary, kepala hubungan luar negeri Front Perlawanan Nasional Afghanistan (NRF), mengatakan kepada BBC pada Selasa (24/8/2021) bahwa mereka ingin melakukan negosiasi damai.

Sementara itu, Taliban mengatakan mereka telah mengepung benteng Lembah Panjshir dan mengepung kelompok itu.

Tapi para tokoh-tokoh perlawanan itu tidak akan mundur.

Bahkan kini Pasukan elite Afghanistan menegaskan, mereka berjanji akan menumpas habis Taliban di tengah persiapan untuk melawan kembali.

Melansir Kompas.com, Jumat (20/8/2021), pernyataan itu muncul setelah pemerintahan yang tersisa menghimpun kekuatan di Lembah Panjshir, sekitar 128 km dari Kabul.

Adalah Wakil Presiden Amirullah Saleh yang menyerukan konsentrasi pasukan di Panjshir, setelah mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin sah.

Selain milisi lokal dan warga yang berniat melawan pemberontak, aliansi gerilya itu diperkuat juga sisa-sisa pasukan khusus Afghanistan.

Milisi Taliban sendiri berhasil merebut dan menguasai ibukota Afghanistan, Kabul, pada Minggu 15 Agustus lalu atau 20 tahun setelah mereka digulingkan Amerika Serikat dan sekutunya dari kekuasaan.

Meski begitu, perjuangan lokal melawan Taliban juga sudah terjadi sebelum-sebelumnya.

Melansir Afghanistan.asia-news.com, Minggu (/7/2021), lebih dari 500 wanita mengangkat senjata melawan Taliban di kota Firoz Koh, ibu kota provinsi Ghor, menyatakan kesiapan mereka untuk pergi ke garis depan dan mendukung pasukan keamanan Afghanistan.

Khadija Sarwari, seorang warga Firoz Koh, mengatakan bahwa dia tidak akan ragu untuk menyerang militan Taliban.

"Saya memutuskan untuk mengangkat senjata bersama dengan saudara perempuan saya untuk berdiri di samping pasukan keamanan kami untuk memerangi Taliban dan membela rakyat dan negara kami," katanya pada waktu itu.

"Kami tidak akan membiarkan Taliban dan kelompok teroris asing lainnya memerintah negara kami dan membunuh orang-orang kami yang tidak bersalah."

Semua wanita siap membela negara mereka bersama pasukan keamanan Afghanistan, kata Zahra Watandost, warga Firoz Koh lainnya.

"Kami tidak akan membiarkan Taliban memasuki kota-kota dan membahayakan warga sipil," katanya, seraya menambahkan bahwa dia akan memerangi Taliban sampai titik darah penghabisan.

“Taliban telah melakukan kejahatan berat terhadap warga sipil tak berdosa – terutama wanita – selama bertahun-tahun."

"Namun, wanita pemberani kami tidak akan lagi diam atau menoleransi kekejaman Taliban.”

Pemberontakan perempuan Ghor melawan Taliban merupakan pemberontakan melawan kebodohan dan kegelapan, kata Masoumeh Anwari, wakil gubernur provins

Pasukan elite Taliban Badri 313 Badri.
Pasukan elite Taliban Badri 313 Badri. (Tribunnews.com/The Sun)

Uni Soviet Ketar-ketir, Amerika Serikat Kelabakan

Setelah hampir 20 tahun terlibat dalam perang di Afghanistan, pasukan asing yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk menarik mundur tentaranya.

Perang yang dimulai sejak 2001 ini telah menewaskan puluhan ribu orang dengan jutaan orang lainnya harus menjadi pengungsi.

Melansir laporan BBC pada Selasa (10/8/2021), AS dan sekutunya memilih untuk menarik pasukannya setelah melalui kesepakatan dengan Taliban.

AS 'hanya' meminta kelompok yang mereka singkirkan dari kekuasaan Aghanistan tersebut untuk tidak lagi berhubungan apalagi bekerja sama dengan kelompok teroris.

Hal ini mengacu pada alasan AS untuk menggempur Afghanistan setelah mengetahui Osama bin Laden bersembunyi di sana dengan perlindungan Taliban.

Syarat yang 'terlalu ringan' dan sangat mudah dilanggar tersebut sebenarnya sudah diketahui intelijen militer AS.

Terbukti kini Taliban kembali menggeliat dan seolah bangkit dari kubur usai militer AS meninggalkan Afghanistan.

Pada Minggu (15/8/2021), Taliban sudah berhasil menaklukkan 23 ibu kota provinsi Afghanistan, dengan beberapa di antaranya nyaris tanpa perlawanan sama sekali.

Hanya saja, AS nampaknya sudah tak sudi lagi jika harus kehilangan pasukannya serta harus mengeluarkan biaya besar untuk membiayai perang di Afghanistan.

Maklum, penelitian Brown University menyebut penyeluar AS selama perang di Afghanistan mencapai 978 miliar dollar AS (Rp14kuadriliun).

Sebuah pengorbanan yang sangat besar dengan hasil yang mereka ketahui tidak akan sampai 'sempurna' berupa lenyapnya Taliban.

Terbukti, Presiden AS Joe Biden tetap akan menetapkan tanggal simbolis 11 September 2021 sebagai batas akhir penarikan pasukannya.

Biden, nampaknya menyadari kesalahan para pendahulunya yang tidak belajar dari Uni Soviet lebih dari tiga dekade silam.

Kala itu, tepatnya pada 15 Mei 1988, Uni Soviet melakukan hal yang dilakukan oleh AS kini, yaitu menarik mundur pasukannya dari Afghanistan.

Setelah berjibaku penuh darah selama 8 tahun, Uni Soviet akhirnya menyadari bahwa upayanya di negara yang berbatasan dengan Pakistan tersebut tidak membuahkan hasil.

Apalagi, perang ini juga telah menelan biaya yang sangat mahal bagi Uni Soviet, baik dari sisi pasukan maupun dari sisi biaya.

Meski tidak pernah dirilis secara resmi, sumber intelijen AS menyebut bahwa lebih dari 15.000 personel militer Uni Soviet tewas di Afghanistan.

Sementara itu, 451 pesawat terbang, 147 tank, 1.314 kendaraan lapis baja, 433 senjata artileri, dan 11.369 truk milik mereka pun hilang.

Lalu seperti yang terjadi kini, keputusan Uni Soviet untuk angkat kaki dari Afghanistan pun tidak membuat pemerintahan yang mereka bentuk bisa bertahan lama.

Setelah perang saudara berkecamuk selama 4 tahun, pemberontak mujahidin yang sebelumnya didepak Uni Soviet, kembali menguasai pemerintahan pada 1992.

Kuburan kerajaan

Lalu, apa sebenarnya yang membuat Afghanistan begitu sulit untuk ditaklukan, bahkan oleh dua negara adidaya seperti AS dan Uni Soviet?

Melansir Business Insider, sejak zaman dulu, Afghanistan memang sulit ditaklukan oleh kerajaan manapun.

Hal inilah yang pada akhirnya membuat mereka mendapatkan julukan mengerikan, "Kuburan Kerajaan".

Pemicunya tidak lain adalah bentang alam alias medan Afghanistan yang membuat lawan kesulitan.

Jika di Vietnam ada rawa-rawa, maka di Afghanistan ada gurun raksasa yang dikelilingi oleh beberapa puncak tertinggi di dunia.

Ketika pasukan Taliban di zaman AS atau Mujahidin di zaman Uni Soviet berada di kota, mereka memang bisa dengan mudah disingkirkan.

Namun, bukan berarti mereka lenyap begitu saja. Mereka justru menghilang di pegunungan sambil sesekali melancarkan serangan.

Bahkan, beberapa dari mereka sanggup untuk berdiam diri lama demi mengumpulkan kekuatan mereka.

Pemicu lainnya adalah identitas penduduk Afghanistan yang sangat beragam yang justru tidak pernah bisa benar-benar bersatu.

Alhasil, ketika AS atau Uni Soviet berhasil menjalin kerja sama dengan satu kelompok, maka kelompok lain akan secara otomatis bersikap sebagai musuh.

Dan ketika dua raksasa ini angkat kaki dari Afghanistan, kelompok-kelompok ini akan sangat mungkin untuk bertempur lagi dalam perang saudara. (Intisari Online)

Baca juga: Ronaldo Tinggalkan Latihan Juventus Lebih Cepat Setelah Kabar Man City Gagal Dapat Harry Kane

Baca juga: 2 Pemotor yang Viral Freestyle di Jalan Raya Ditangkap Polisi

Baca juga: MUI Jateng Minta Jenazah Covid-19 Tidak Perlu Disemprot Disinfektan

Baca juga: Dicobot dari Kapolda Jabar karena Kerumunan Habib Rizieq, Irjen Rudy Sufahriadi Kini Bersinar Lagi

Sumber: Intisari
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved