Opini
OPINI: Dosen dan Mahasiswa Kritis, Apakah Pemerintah Siap?
Apa yang disampaikan Nadiem Makarim masih dalam konteks program Kampus Merdeka
Penulis: cecep burdansyah | Editor: abduh imanulhaq
Oleh: Cecep Burdansyah SH MH, Wartawan dan Pengamat Hukum
HARI Kamis 23 September 2021 ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim mengeluarkan pernyataan tertulis yang bagus dan menarik untuk dibahas. Pernyataannya, "Sudah tidak zamannya, mahasiswa dapat ceramah di kelas lalu ujian. Partisipasi dalam proyek bisa menjadi identitas universitas tersebut, karena kita ingin sebanyak mungkin industri hijrah ke kampus."
Apa yang disampaikan Nadiem masih dalam konteks program Kampus Merdeka. Memaknai pernyataannya, saya kira mirip dengan program link and match yang digelindingkan Menristek BJ Habibie pada era Soeharto, yang kemudian didebat keras oleh Menteri Pendidikan Fuad Hassan yang menjabat pada kabinet Pembangunan IV 1985-1983. Fuad sebetulnya menggantikan Nugroho Notosusanto yang meninggal dunia.

Perdebatan link and match itu menarik perhatian publik, terutama dari dunia pendidikan, dan berkepanjangan. Sampai-sampai Majalah Editor memuatnya sebagai liputan utama – yang menurut saya sangat bagus dan berimbang.
Kemudian Ignas Kleden mewawancai secara khusus ketidaksetujuan Menteri Pendidikan Fuad Hassan pada program link and match yang dimuat di majalah kaum intelektual, Prisma. Perdebatan link and match antara Habibie dan Fuad Hassan berakhir setelah Kabinet Pembangunan IV berakhir.
Soeharto yang kembali terpilih sebagai presiden, menunjuk Wardiman Djojonegoro sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Wardiman merupakan lulusan Jerman dan sahabatnya BJ Habibie.
Kalau berembus isu terpilihnya Wardiman sebagai Mendikbud datang dari usulan Habibie, bukan isu yang berlebihan. Karena begitu dilantik, program utama Mendikbud yang baru adalah link and match. Sejak itu, sekolah kejuruan menjadi favorit masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah kejuruan.
Sekarang Nadiem Makarim satu visi dengan Presiden Jokowi bahwa mahasiswa itu harus nyambung dengan dunia luar. Bisa diartikan, lulusan perguruan tinggi itu harus langsung siap menghadapi era industri yang sudah begitu canggih; baik dari sisi teknologi, ekonomi, birokrat dan bidang lainnya seperti jadi intelektual publik.
Program Kampus Merdeka jauh lebih maju dibanding program link and match, karena pada waktu itu Wardiman fokus ke sekolah kejuruan tingkat atas (sekarang SMK). Hasilnya pun tidak begitu nyata.
Sedangkan program Nadiem Makarim lebih mirip dengan apa yang digagas oleh Daeod Joesoep di surat kabar Kompas saat ia sudah pensiun dari jabatan Menteri Pendidikan pada kabinet pembangunan III (1979-1984). Ia mengatakan, dosen dan mahasiswa jangan terkurung di dalam ruangan berdinding tembok yang sempit, tapi harus berani keluar ke masyarakat.
Pernyataan Daoed Joesoep ini bukan berarti mahasiswa dan dosen harus masuk ke dunia politik praktis. Justru dia membuat program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang disingkat NKK/BKK. Program ini menuai kontroversi karena tujuannya mencegah para mahasiswa aktif berpolitik, seperti mendemo pemerintah. NKK/BKK merupakan titipan Soeharto.
Maksud pernyataan Daoed Joesoep pasca ia pensiun, para dosen dan mahasiswa jangan melulu ngomong soal teori di kelas tetapi abai dengan fakta yang terjadi di masyarakat. Ia berharap ilmu para dosen yang disampaikan ke mahasiswa bisa diterapkan membantu masyarakat dalam memecahkan masalah yang dihadapi, termasuk soal teknologi dan industri.
Lalu dibiasakan terjadi perdebatan kritis antara mahasiswa dan dosen di kelas, karena bagaimana pun dosen itu bukan manusia serba tahu. Daoed berharap setelah lulus, para mahasiswa jadi intelektual sebagai pemandu masyarakat dalam meniti kehidupan yang lebih baik.
Nadiem dalam pernyataannya menyebutkan, bukan zamannya lagi mahasiswa mendengar ceramah dosen. Visinya mirip dengan Daoed Joesoef, agar mahasiswa terlatih kritis, terutama ketika sudah terjun ke masyarakat.
Selain mempunyai skill yang tinggi, para mahasiswa bisa membantu memecahkan masalah yang melilit masyarakat di lingkungannya, dan terutama sudah terbiasa berdebat, sehingga ketika lulus, tidak tertutup kemungkinan ia jadi intelektual publik seperti diharapkan Daoed Joesoef.