Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

OPINI

OPINI : Menolak Narasi Kekerasan dalam Pendidikan

TERORISME kembali membuncah dan menelan korban di bumi pertiwi. Diberitakan sembilan tenaga kesehatan (nakes), satu anggota aparatur TNI

Net
Ilustrasi. Korban kekerasan anak di Pamulang kerap menangis dan tertawa saat ingat kekejaman sang ayah. 

Oleh Thio Hok Lay, SSi

Guru di Yayasan Citra Berkat Jakarta

TERORISME kembali membuncah dan menelan korban di bumi pertiwi. Diberitakan sembilan tenaga kesehatan (nakes), satu anggota aparatur TNI dan puluhan korban lain yang terdiri atas guru dan buruh menjadi korban akibat penyerangan teroris kelompok kriminal bersenjata di Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua.

Terkait kompleksitas faktor pemicu aksi laten terorisme, tak sedikit pakar yang menyatakan bahwa akar atau penyebab utama dari aksi terorisme terkait erat dengan problematika kekerasan akibat kebodohan dan kemiskinan. Jika benar demikian halnya, maka pendidikan, khususnya melalui penguatan pendidikan karakter merupakan langkah konkret dan efektif guna upaya menangkal tumbuhkembangnya bibit-bibit terorisme.

Aksi laten kekerasan lewat terorisme, senyatanya merupakan lonceng kesadaran bagi dunia pendidikan agar terus menerus berbenah dalam hal kualitas. Merujuk data UNICEF Tahun 2014, delapan dari sepuluh anak mengalami perundungan.

Kasus perundungan di dunia pendidikan ini menempati urutan keempat teratas dari kasus kekerasan pada anak sedunia. Dengan demikian, konsep pendidikan yang membahagiakan (wellbeing) masih jauh panggang dari api; masih menjadi pekerjaan rumah dan impian bersama untuk diwujudnyatakan.

Tiga dosa

Kemendikbud memotret tiga dosa besar dunia pendidikan di tanah air, yakni intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan (bullying) yang marak terjadi di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar dan Menengah. Ketiga dosa tersebut, mengkonfirmasi bahwa implementasi Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan untuk Tingkat Dasar dan Menengah belum berdampak signifikan.

Sebagai catatan dan bahan refleksi serta evaluasi terkait kualitas hasil proses pembelajaran di tanah air, merujuk pada rekaman data kompetisi pelajar antar bangsa dalam ajang PISA (Programme for International Students Assessment), dari tahun 2015 dan 2018, prestasi anak bangsa menunjukkan gejala terus merosot hampir di semua bidang. Kompetensi dan keterampilan anak-anak bangsa dalam membaca (peringkat 72 dari 77 negara), matematika (peringkat 72 dari 78 negara), dan sains (peringkat 70 dari 78 negara).

Lebih lanjut, survei International Center for Research on Women (ICRW) mengungkapkan bahwa berdasar data yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di tahun 2017, sebanyak 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Lebih tinggi dari Vietnam (79 persen), Nepal (79 persen), Kamboja (73 persen), dan Pakistan (43 persen).

Menolak Kekerasan

Fenomena maraknya intoleransi dan perundungan di dunia pendidikan, yang mengemuka di ruang publik – apapun bentuknya; nonverbal (tatapan sinis, ekspresi muka memusuhi) atau verbal (mencela) berpotensi untuk mengarah dan memicu terjadinya aksi kekerasan (kriminal).

Untuk itu intoleransi dan perundungan perlu menjadi skala prioritas dan perlu disikapi secara serius oleh para insan pendidikan. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, intoleransi dan perundungan telah menodai dan menciderai kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berbineka. Sebagai bentuk kebiasaan buruk, intoleransi dan perundungan perlu diwaspadai dan diantisipasi sejak dini karena berpotensi sebagai benih terorisme.

Pesan Neil Kurshan dalam Coloroso (2006), dalam bukunya berjudul “Penindas, Tertindas, dan Penonton” – Resep Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah hingga SMU; perlu mendapatkan perhatian bersama secara serius bahwa tugas terpenting kita sebagai pendidik adalah membesarkan anak-anak yang akan menjadi orang-orang yang baik, bertanggungjawab dan peduli serta membaktikan diri untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih adil dan penuh kasih. Mengingat intisari dari pendidikan (education; educare) adalah menuntun anak murid guna melangkah melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) yang berkualitas, yang dibutuhkan anak murid bukanlah hukuman (kekerasan); melainkan dukungan dan penguatan agar potensi diri dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal.

Sekiranya dalam proses belajar dijumpai adanya gejala penyimpangan oleh anak murid, seperti: lambat belajar, tidak mengerjakan tugas, capaian hasil belajar siswa yang belum optimal, dll maka yang perlu dingat dan diperhatikan oleh orangtua dan guru dalam hal pemberlakuan sanksi adalah bahwa sanksi itu haruslah edukatif; bersifat menertibkan dan menumbuhkembangkan, bukan berupa perundungan dan kekerasan yang berefek traumatis, sekaligus balas dendam.

Dorothy Law Nolte menulis tentang bagaimana sebaiknya mendampingi proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar untuk memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar untuk berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah, dan jika anak dibesarkan dengan iri hati, maka ia belajar tentang kedengkian.

Benih toleransi

Sekolah sebagai tempat perjumpaan dan interaksi murid – guru yang berasal dari beragam latar belakang kultural, diharapkan mampu mewujudnyata sebagai komunitas pem(b)elajar; yang ramah dan bersahabat dalam memupuk dan merawat tumbuh suburnya benih-benih toleransi; saling menghargai dan menghormati.

Ringkasnya, dunia pendidikan menolak adanya narasi dan tindakan kekerasan. Sebaliknya, menjadi katalisator dalam mengorkestrasi harmonisasi pendidikan, yang pada gilirannya nanti akan memberdayakan komunitas sekolah dalam menangkal virus intoleransi dan perundungan yang pada hakekatnya merupakan benih-benih kekerasaan.

Dengan segala kelimpahan energi; produktivitas dan kreativitas yang dimiliki oleh para pemuda anak bangsa yang diwacanakan sebagai bonus (berkah) demografi dalam menyongsong Indonesia Emas (2045); diharapkan keberagaman suku, agama, ras dan antargolongan yang kita miliki merupakan sumber kekuatan dan modal (aset) bangsa.

Perlu diingat bahwa Indonesia Emas bukanlah berarti mempunyai banyak emas sebagai sumber kekayaan fisik material. Melainkan bangsa yang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan bermartabat; berkompeten, terampil, dan berakhlak mulia sehingga tak mudah dihasut dan disesatkan oleh aneka ide radikalime atau aksi provokatif.

Alangkah indahnya apabila suasana belajar di sekolah pasca pandemi nanti dipenuhi dengan aura kegembiraan, dinamis penuh warna yang mencerdaskan dan memberdayakan. Ramah dan bersabahat, dijauhkan dari aksi perundungan yang merupakan benih terorisme. (*)

Baca juga: Prediksi Liga Champions Shakhtar vs Inter Milan, Eks Pemain AS Roma dan Lazio Jadi Kartu AS Inzaghi

Baca juga: Hotline Semarang : Mohon Pak Polisi Makin Tegas Menertibkan Knalpot Brong

Baca juga: Fokus : Manusia Silver

Baca juga: Prediksi Liga Champions PSG vs Manchester City, Guardiola Tahu Benar Cara Hentikan Messi

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved