Resensi Buku
Resensi Buku Anjing yang Mencintai Bunga, Antologi Puisi yang Kaya Rasa dari Lima Penyair
Kesan pucat langsung tertangkap ketika menghadapi buku Anjing yang Mencintai Bunga: Antologi Puisi Lima Penyair.
TRIBUNJATENG.COM - Kesan pucat langsung tertangkap ketika menghadapi buku Anjing yang Mencintai Bunga: Antologi Puisi Lima Penyair.
Mungkin kesan itu hadir karena font judul yang meski berwarna merah tapi terlalu ramping, agak kalah oleh latar belakang lukisan yang cenderung bernuansa abu gelap.
Apakah puisi-puisi dalam antologi ini sepucat sampul bukunya?
Antologi Anjing yang Mencintai Bunga, yang diluncurkan di Kendal, pada 5 November 2021 silam, berisi puisi-puisi lima penyair, yakni Achiar M Permana, Beno Siang Pamungkas, Slamet Priyatin, Soekamto, dan Timur Sinar Suprabana. Buku puisi ini dibuka oleh 17 puisi Achiar M Permana dan seturut abjad ditutup oleh 15 puisi Timur Sinar Suprabana.
Baca juga: Cara Warga Nonton Balapan Gratis di Sirkuit Mandalika: Pergi ke Bukit, Panjat Pohon Hingga Naik Truk
Baca juga: Syahrini Pilih Temani Reino Barack Bisnis, Sekali Jalan Dapat Komisi 3 Kali Lipat Manggung
Saya sangat mengamini judul kata pengantar Gunawan Budi Susanto yang menyatakan bahwa “Mereka Penyair, Sebenar-benar penyair”.
Proses kelima penyair Anjing yang Mencintai Bunga dalam dunia kepenyairan yang tidak instan menjadikan syair-syair yang mereka tulis mempunyai roh sehingga kata-kata yang tertulis tidak hanya menjadi kata yang sekadar terbaca, namun mampu membawa pembaca merasakan apa yang dirasakan dan disaksikan pencipta syairnya.
Puisi- puisi Achiar M Permana --seperti biasa-- kaya dengan diksi, yang jika pembaca tak mempunyai kosakata cukup, harus meluangkan waktu untuk mencari padanan kata tersebut dalam kamus, baik kamus berbahasa Indonesia maupun kamus berbahasa Jawa.
Penyair yang memenangi Penghargaan Prasidatama 2020 untuk kategori antologi puisi terbaik dari Balai Bahasa Jawa Tengah ini sering menghadirkan kata-kata berbahasa Jawa dan berbahasa Indonesia, yang kadang terasa asing bagi pembaca.
Tak jarang pula terselip kutipan dialog berbahasa daerah dan asing, dalam puisi karya penyair yang pernah membuka Kelas Menulis Puisi di Kedai Kopi Kang Putu, Gebyog, Gunungpati, Kota Semarang ini.
Dalam puisi tentang Bung Hatta, misalnya, Achiar menukil pertanyaan Bung Karno saat Bung Hatta menjenguknya, ‘Hoe Gaat Het Met Jou”, sebagai judul puisi.
Puisi “Hoe Gaat Het Met Jou” ini sebetulnya tak berisi peristiwa Bung Hatta menjenguk Bung Karno, tapi lebih kepada kegelisahan penyair yang mengadu kepada Bung Hatta tentang karut-marut zaman saat puisi itu ditulis. Kegelisahan penyair tentang ganasnya pandemi Covid-19 yang membuat rakyat pontang-panting menyelamatkan nasibnya tertuang pada bait yang berbunyi; “//sejak pagebluk menunjang/serupa babi hutan luka tembiang/ganas merampang/kami jatuh terjengkang/rubuh membungkang/:kehilangan pegang//”, ditulis dengan cantik menggunakan kata yang “memaksa” pembaca harus membuka kamus untuk lebih bisa mengerti isi puisi.
Begitu pula dengan 16 puisi Achiar lainnya.
Pembaca yang tidak malas akan belajar banyak kosakata baru lewat puisi-puisi penulis kumpulan puisi Sepasang Amandava (2019) ini, sekaligus dibawa menjelajahi rasa sang penyair dalam memandang sebuah peristiwa.
Berbeda dari 20 puisi Beno Siang Pamungkas, yang lebih banyak menggunakan kata gampang dimengerti dan tidak terlalu mengejar rima.
Tapi, bukan berarti puisi-puisi Beno kalah indah.