Resensi Buku
Resensi Buku Anjing yang Mencintai Bunga, Antologi Puisi yang Kaya Rasa dari Lima Penyair
Kesan pucat langsung tertangkap ketika menghadapi buku Anjing yang Mencintai Bunga: Antologi Puisi Lima Penyair.
Jika saya serasa nggetem saat membaca puisi Achiar, saya menemukan kekaleman yang menghanyutkan pada puisi-puisi Beno Siang Pamungkas.
Di balik kata sederhana yang tertulis, saya menemukan pesan tersirat yang tidak sederhana seperti yang terdapat pada puisi berjudul “Bulan”, kepedihan yang mendalam pada puisi “Kayu Bakar”, dan haru seorang anak pada ibunya pada puisi berjudul “Ibu”.
Kegeraman penyair pada carut marut kondisi negara juga tersaji secara apik, lembut namun tidak kehilangan ketajamannya.
Dalam buku antologi ini, pembaca tak melulu menemukan syair-syair yang membabar kahanan.
Bagi penggemar puisi cinta, pembaca akan dimanjakan oleh 15 puisi cinta besutan Slamet Priyatin yang sudah pasti membuat rasa para pembaca terojeng-rojeng.
Dalam puisi-puisi tentang Bukares, ibu kota Rumania, sang penyair seperti membawa pembaca pada perasaan nglangut, yang bahkan tak terobati oleh keindahan Bukares, yang terwakili oleh gedung kuno, tembang klasik, balet, dan lukisan, dan bahkan rindu yang sangat bagi sang penyair bisa lebih memabukkan daripada anggur.
Syair-syair Slamet Priyatin membuat saya bisa melupakan sejenak keruwetan kasunyatan hidup, yang disajikan dua penyair sebelumnya.
Mungkin betul kalau cinta sekali pun itu berupa kegalauan, bisa sedikit mengobati kepahitan.
Saya harus belajar banyak dari Slamet Priyatin untuk hal yang satu ini.
Puisi-puisi selanjutnya milik penyair kelahiran Semarang, 3 November 1965, yang aktif menulis sejak SMP, Soekamto Gullit.
Sebanyak 18 puisi yang lahir pada kisaran 2009 hingga 2018 ini tak diragukan lagi kekuatan keindahannya.
Sayang, kenikmatan saya saat membaca syair-syair Soekamto sedikit terganggu dengan penggunaan kata depan “di” yang seharusnya diletakkan terpisah malah dirangkai, seperti, disepanjang, digerbang, dikejauhan, diperkebunan, dalam puisi berjudul “Wanita Paro Baya” dan beberapa puisi lain.
Saya sempat berpikir, peletakan “di” yang tidak tepat ini memang disengaja.
Namun, saat membaca Sajak di Balik Pertemuan, saya menemukan ketidakkonsistenan penerapan “di” yang sama-sama menyatakan tempat ditulis, tapi dengan cara berbeda.
Kehadiran seorang editor mungkin sangat diperlukan, sekalipun buku yang akan diterbitkan berisi tulisan-tulisan seseorang yang sudah tidak lagi diragukan kepiawaiannya di dunia sastra.